Di sinilah sekarang Hana. Depan bandara yang akan mengantarnya pergi menjauh dari sosok sang mantan suami. Bisa dibilang kesedihan tentunya masih ada pada diri wanita ini. Kata talak yang Fahri katakan tentu membuat Hana menjadi seorang janda. Setelah kata talak telah dikeluarkan, Hana memutuskan untuk pergi.
“Nak. Sekarang kamu sudah menikah. Tunaikan kewajibanmu kepada suami. Jangan pernah membantahnya. Bawalah keluarga kalian ke jalan yang baik.”
Hana tak memiliki muka untuk pulang ke rumah orang tuanya. Dia adalah anak ketiga dan terakhir. Jika ia pulang, maka orang tuanya akan berpikir jika ia tak melayani Fahri dengan baik. Bahkan ini baru satu bulan pernikahan.
Hana menatap tiket yang berada di tangannya. Paris akan menjadi tujuan hidupnya sekarang. Hana akan memulai menata hidupnya lagi. Dan perlahan ia akan mencoba melupakan kenangannya bersama Fahri.
Wanita ini kembali menatap potret foto pernikahan yang ia simpan di dalam galeri ponselnya.
“Mas. Tolong beri aku penjelasan mengenai ini semua, Mas. Aku tidak bisa menerima perceraian ini tanpa adanya alasan,” kata Hana kepada Fahri yang baru saja sampai rumah. Pria itu terlihat tak peduli, bahkan ia melewati tempat Hana begitu saja.
Hana menyentuh tangan sang suami yang mana langsung Fahri tepis saat itu juga. Hal tersebut membuat hati Hana kecewa. “Mas ….” Bahkan wanita ini tak sanggup berkata-kata. Ini adalah kali pertama Fahri memperlakukannya seperti itu di pernikahan mereka yang masih muda.
“Kenapa kau masih ada di sini? Kata talak sudah aku katakan, seharusnya kau kembali ke rumah orang tuamu,” ucap Fahri yang mana seperti sebuah pengusiran bagi Hana.
“Mas. Tolong beri aku alasan lebih dulu. Beri aku penjelasan, Mas. Apa salahku di sini? Jika aku salah, mari kita perbaiki ini. Aku tidak bisa pulang ke rumah jika tidak membawa alasan yang tepat untuk orang tuaku,” kata Hana.
Fahri meletakkan gelas yang ia gunakan untuk minum barusan. Pria itu menatap langsung istri yang baru saja ia talak tadi pagi itu. “Aku tidak menyukaimu. Aku tidak mencintaimu. Apakah alasan ini sudah cukup?”
Hana mundur satu langkah ketika mendengar jawaba Fahri. “Jika Mas Fahri tidak menyukaiku, seharusnya Mas Fahri menolak pernikahan sejak awal. Dan pernikahan kita tidak akan terjadi,” ucap Hana dengan nada pedih di sana. Dia tak menyangka akan menjadi seorang janda secepat ini.
“Aku terpaksa menikahimu karena orang tuaku. Bahkan kau juga bukan tipeku. Bagaimana mungkin aku menyukai wanita kaku seperti dirimu yang bahkan tak bisa memuaskanku di ranjang,” tutur Fahri yang sangat jelas menghina Hana.
Hana menutup kedua matanya, dia tak ingin menangis sekarang, namun keadaan ini benar-benar menyiksa batinnya. Fahri menalaknya karena ia tak mencintai Hana sekaligus Hana yang tak jago di atas ranjang.
Dengan air mata yang sudah ia tahan, wanita ini dengan berani menatap Fahri, suami yang jelas-jelas menolaknya. “Mas, sekali lagi aku akan bertanya. Apakah Mas Fahri masih dengan keputusan untuk bercerai? Jujur, Mas. Aku hanya ingin menikah sekali dalam hidupku. Hal yang paling dibenci Allah adalah talak dan perceraian, Mas. Aku tidak ingin dibenci oleh-Nya.”
Fahri tersenyum angkuh, menatap berani wanita yang bahkan hanya ia sentuh sekali dalam pernikahan mereka. “Aku masih tetap dengan keputusanku. Setelah ini kau bisa bebas pergi. Pergi sejauh mungkin dari hidupku dan keluargaku. Karena setelah perceraian itu terjadi, aku akan menikah dengan wanita yang aku cintai.”
Jatuhlah sudah air mata yang sudah Hana tahan-tahan sejak tadi. Jadi, selama ini Fahri telah memiliki pujaan hatinya. Lantas, kenapa pernikahan mereka harus terjadi sebulan lalu? Seharusnya Fahri tak boleh egois dan mengorbankan masa depan Hana.
Wanita itu menutup ponselnya sembari mengusap air mata yang tanpa sengaja turun di pipi. Hana. Dia tak ingin terlihat seperti wanita lemah. Jika memang Fahri ingin menikah dengan wanita yang ia cintai, maka Hana tak memiliki hak untuk menghentikannya. Hana sudah tak menjadi istri Fahri lagi sekarang. Jadi dia tak memiliki hak untuk bersuara lagi.
Hana melangkah kakinya menuju ke lorong yang akan membawanya ke pesawat. Dari luar dia mencoba menanamkan ingatan tentang tanah kelahirannya ini. Dia pasti kembali, tetapi dengan Hana yang jauh lebih baik dan kuat dari ini.
***
Di sebuah mansion besar yang terbilang mewah terdapat seorang pria yang baru saja bangun dari tidur panjangnya. Dengan bertelanjang dadaa, pria itu berjalan menuju ke jendela untuk menyibakkan gorden. Sinar matahari nampak terpancar dengan terang mengenai tubuh sempurna pria ini. Kemudian pria itu berjalan menuju ke kamar mandi.
Sekitar lima belas menit kemudian pria tersebut baru keluar dari kamar mandi dengan keadaan yang benar-benar segar. Dia langsung membuka lemari dan memilih pakaiannya. Pakaian non formal yang dia pakai sebagai penunjang penampilan di hari ini. Oh iya, dia akan ke bandara menjemput kedua orang tuanya yang baru saja tiba dari liburan.
Pria itu segera turun ke bawah di mana nampak para pelayan berlalu lalang sibuk dengan pekerjaan mereka.
“Tuan. Mobil sudah siap,” ucap seorang pria berseragam. Pria itu mengangguk dan langsung menggunakan kacamata hitam miliknya. Dengan gagah pria tampan ini berjalan menuju ke luar rumah dan memasuki mobil kesayangan orang tuanya. Mobil langsung melaju menuju ke bandara.
Hana nampak gelisah di tempat duduknya. Dia merasa kurang nyaman berada di tempat duduknya yang berada di dekat jendela. Sedikit informasi, Hana memiliki serangan panik jika duduk di dekat jendela pesawat.
Seorang wanita yang kebetulan duduk di seberang kursinya langsung menegur Hana saat itu juga. “Apa ada sesuatu yang salah?” tanya wanita yang bisa dibilang mungkin sekitar umur 50 tahunan.
Hana menampilkan senyum hangatnya. “Tidak ada. Hanya saja saya memiliki serangan panik jika duduk di dekat jendela,” terang Hana.
Wanita itu nampak mengangguk paham. “Kamu bisa bertukar posisi dengan orang yang berada di sebelahmu,” kata wanita paruh baya itu. Hana mengangguk, tetapi sayangnya orang yang duduk di sebelahnya sejak tadi bolak balik ke kamar mandi, jadi Hana tak bisa menegurnya. Hana mengalah dan memilih memejamkan matanya agar serangan panik itu cepat hilang.
Seorang pria baru saja turun dari mobilnya. Dia berjalan masuk ke dalam bandara menuju ke lorong kedatangan internasional. Nampak banyak orang yang ada di sana. Sebenarnya ia terlalu malas berdesakan, tetapi kalau bukan karena permintaan orang tuanya, dia tak akan mungkin repot-repot ke bandara.
“Tuan. Pesawatnya baru saja tiba,” lapor salah satu orang rumah yang ikut bersama pria ini. Nampak pria itu langsung berdiri dari tempatnya dan berjalan menuju ke kerumunan untuk menyambut kedua orang tuanya.
Hana baru saja tiba di bandara kota Paris. Namun, karena serangan panik itu, kepalanya sedikit pusing dan ia sepertinya ingin muntah. Untungnya wanita paruh baya yang baik hati itu memberikan Hana bantuan.
“Jika naik pesawat kamu bisa memesan tempat duduk yang bukan di dekat jendela,” kata wanita tersebut.
“Saya sudah meminta hal itu, tetapi mereka mengatakan jika semuanya sudah penuh,” jelas Hana. Oh iya, wanita paruh baya itu ternyata naik pesawat bersama suaminya. Hana juga ikut berkenalan di sana. “Terima kasih untuk bantuannya,” ucap Hana yang tak pernah ia lupakan.
“Sama-sama, Nak. Apakah setelah ini kamu akan baik-baik saja? Atau mau kami antar sekalian?” tawar wanita baik hati itu.
“Terima kasih. Tetapi saya akan pergi ke hotel. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih banyak untuk bantuannya,” kata Hana yang segera mengambil koper miliknya.
Ketiganya bergerak ke pintu keluar. Setelah itu Hana berpamitan untuk pergi lebih dulu. Pasangan suami istri yang membantunya nampak juga pergi ke arah lain.
“Saddam!”
Hana menoleh ketika mendengar suara wanita itu lagi. Terlihat seorang pria berlari menuju ke pasangan yang membantu Hana itu. Hana hanya memperhatikannya dari jauh. Kemudian dia berbalik dan meneruskan langkahnya.
“Akhirnya kalian pulang. Apakah bulan madu kalian sangat menyenangkan?” celetuk Saddam yang langsung mendapat cubitan kecil di perutnya. Siapa lagi pelakunya jika bukan sang ibu.
“Bagaimana tugasmu? Apakah kamu sudah menyelesaikan tugas rumah yang Ibu berikan?” tanya wanita itu. Sang suami nampak berjalan di sisinya. Untuk koper, itu sudah dialihkan pada orang rumah yang sengaja Saddam bawa.
Saddam yang mendapat pertanyaan seperti itu pun hanya bisa mengembuskan napas beratnya. Pasalnya tugas rumah yang ibunya katakan bukanlah tugas rumah pada umumnya. Tugas rumah yang Saddam punya sekarang adalah mencari calon istri yang akan menjadi pendampingnya kelak.
“Ibu. Bukankah Ibu baru saja tiba? Kenapa Ibu menanyakan hal itu?” keluh Saddam. Jujur saja, pekerjaan rumah ini cukup sulit ia lakukan. Dan tak semudah membalikkan telapak tangan.
“Ibu menanyakan hal itu karena umurmu. Umurmu semakin tua, kamu harus segera memiliki pendamping, Saddam. Atau mau Ibu saja yang carikan? Kebetulan sekali Ibu tadi di pesawat bertemu seorang wanita cantik. Ah, sayang sekali Ibu lupa menanyakan siapa namanya.”
Saddam tertawa sembari berjalan. “Ibu. Jangan ngaco. Bagaimana jika wanita itu sudah memiliki keluarga? Tidak baik menjadi orang ketiga.”
“Ibu tidak melihat cincin melingkar di jari tangannya. Itu artinya dia masih single. Ibu berharap bisa bertemu dengan wanita itu lagi,” ucap wanita tersebut sembari mengingat-ingat wajah Hana.
Hana sendiri baru saja menaiki taksi yang mana melewati mobil yang akan Saddam dan keluarganya naiki. Hana sementara akan tinggal di hotel sembari ia mencari apartemen yang cocok untuk dirinya.
Wanita itu menatap luar jendela taksi. Paris benar-benar ramai. Hana berharap dia bisa hidup bahagia dan melupakan kesedihannya. Hana mengusap pipinya yang berlinang air mata. Dia harus kuat. Tak ada lagi kesedihan yang ia bawa. Dia harus memulainya kembali dari nol. Mengubur rasa sakit hatinya di tanah kelahirannya itu.