Hal yang paling menyakitkan adalah kehilangan, di saat semua berada dalam genggaman dan di saat itu juga di paksa harus menerima salah satu yang paling berharga hilang tanpa ada persiapan sebelumnya. Separuh jiwa William ikut hilang seiring dengan perginya sang kakak dalam upacara kematian yang di lakukan oleh pihak keluarga, famili juga rekan serta teman-teman sekolah mendiang Aris. Kepergiannya sungguh sangat mendadak sekali, bahkan paginya mereka sempat berangkat sekolah bareng seperti hari-hari biasanya. Satu yang tidak di sadari William maupun nyonya Victoria bahwa sikap aneh yang di tunjukan Aris pagi itu adalah sebagai tanda perpisahan atau saat terakhir kalinya mereka bertemu dengan pria baik hatinya, lemah lembut, penyabar, murah senyum juga kebanggaan orang tua maupun sekolahnya.
"Kira-kira kamu tahu tidak kenapa Aris tiba-tiba bunuh diri? Kita semua kan tahu kalau dia sama sekali tidak punya musuh. Terlibat masalah saja tidak pernah, dia pria yang baik hati. Sungguh tragis sekali harus mati mengenaskan seperti itu."
"Tidak tahu, bukan hanya kita yang terkejut dengan kejadian ini. Satu sekolah pun sama, bahkan pertanyaan ini juga terlontar dari pihak kepolisian saat tiba di lokasi kejadian, dan kita semua memberi keterangan jika Aris memang anak yang baik dan tidak pernah terlibat masalah dengan siapapun, jadi kita tidak bisa menebak-nebak apa penyebabnya."
Bisik-bisik itu terdengar dari siswa dapat sekolah Aris, memang benar saat kejadian pihak kepolisian langsung tiba di lokasi dan memeriksa beberapa saksi sebelum Aris di temukan tewas terjun dari atap sekolah. Dan baik dari pihak sekolah maupun keluarga mengatakan hal yang sama, maka dari itulah polisi mengentikan penyelidikan atas permintaan keluarga korban. Agar bisa tenang dan tidak menganggu saat upacara duka.
"Makan dulu ya, Bu. Sejak kemarin ibu hanya minum sedikit air saja,"
William membawa nampan ke iamar ibunya, sejak melihat langsung bagaimana kondisi Aris yang tergeletak bersimbah darah di lantas sekolahnya, saat itu juga kondisi psikis nyonya Victoria mulai mengalami gangguan. Sering berteriak, lalu menangis histeris. Meracu, memanggil nama Aris setelah lelah lalu tertidur. Hal itu menganggu kesehatannya.
"Aku tidak lapar, bangunkan kakakmu. Kasih tahu dia untuk secepatnya makan, baru lanjut lagi belajar." Lirih nyonya Victoria. Dia masih belum menerima kepergian Aris yang sudah hari ke empat.
Semua pihak keluarga satu persatu telah kembali ke rumahnya masing-masing setelah acara pemakaman selesai, Ayah William tidak banyak bicara saat mengetahui jika anak sulungnya tewas bunuh diri. Kabar tersebut sampai menggegerkan dan masuk ke dalam link berita media cetak maupun media sosial. Hati pria itu tentu sakit dengan kepergian putranya.
"Ibu masih tidak mau makan, bagaimana ini. ayah?"
William menghampiri ayahnya yang sedang duduk di ruang tamu seorang diri, hubungan William dengan ayahnya tidak terlalu dekat karena dia sering berselisih paham. Tapi di saat seperti ini mau tidak mau William harus mengubur egonya dan membahas tentang kondisi ibunya.
"Biarkan saja, nanti kalau lapar juga dia makan dengan sendirinya. Sekarang Aris sudah tidak ada, jadi kamulah yang harus menggantikan posisinya dalam segala hal. Termasuk prestasi di sekolah, agar nama baikku tetap terjaga."
Pria itu lalu berlalu meninggalkan William sendirian dengan menahan segala gejolak amarahnya, dia masih berduka atas kepergian Aris, di tambah kondisi ibunya yang depresi. Sekarang William di hadapkan dengan satu kenyataan bahwa Ayahnya tidak bersimpati atas musibah ini, Yang pria itu pikirkan hanyalah reputasi juga nama baiknya saja. Tanpa memperdulikan kondisi perempuan yang sekarang tengah tidak baik-baik saja.
"Masih juga belum berubah, keras kepala. Apa masih belum cukup kehilangan satu putra."
William menggerutu setelah ayahnya pergi, pria itu menginginkan anak bungsunya menggantikan posisi Aris. Menjadi juara kelas, anak yang penurut dan juga punya prestasi membanggakan baik secara akademis maupun dalam kesehariannya.
Waktu bergulir begitu cepat, tapi kondisi nyonya Victoria belum juga ada perubahan. Dia tidak lagi mau ke luar rumah, menarik diri dari pergaulan sesama tetangga maupun kegiatan yang dia gemari. Kehilangan Aris sontak menghancurkan segalanya, nyonya Victoria mulai abai pada William, tidak ada lagi pagi yang ceria menyambut dengan senyuman hangatnya. Dia menghabiskan waktunya hanya dengan berdiam diri di kamar memeluk figura foto Aria, menangis juga bergumam sendiri lalu tertidur ketika sudah lelah menangis.
"Kenapa nilai ualanganmu buruk seperti ini? Apa selama ini kamu tidak pernah belajar? Sudah ayah bilang bukan, kalau kamu harus menggantikan posisi Aris menjadi anak yang pandai, juara kelas juga penurut. Apa susahnya melakukan itu?"
Bentakan suara pria yang sebagian rambutnya sudah berwarna putih, menggema dari dalam ruang kerjanya. Dia murka karena nilai ulangan yang di dapatkan William sangat jauh sekali dari ekspektasinya.
"Aku bukan kak Aris, berhenti menelanku agar bisa seperti dia."
Jawab William dengan menantang menatap mata ayahnya.
"Berani sekali kamu menentangku, lupa siapa yang telah membiyaimu selama ini. Apa kurang terang didikan yang aku ajarkan padamu?"
Matanya nyalang seolah siap menerkam siapa saja yang ada di hadapannya, seketika nyali William menciut. Dia teringat akan pesan mendiang Aris jika tidak boleh bersikap demikian pada orang tua.
"Maaf." Hanya satu kalimat yang akhirnya William katakan pada ayahnya.
"Pergi ke kamarmu sekarang juga, dan belajarlah dengan rajin. Aku tidak ingin lagi melihat nilainya buruk, menurutkan pada aturan yang ada di rumah ini." Gertak pria itu lalu memalingkan tubunya membelakangi William.
William keluar dari ruang kerja ayahnya, sementara nyonya Victoria tengah menunggu putra bungsunya di ruang tengah dengan wajah khawatir. Dia menghampiri William saat berjalan menuju ke kamarnya.
"Kamu tidak apa-apa, nak? Apa ada yang terluka?" Dengan nada cemas nyonya Victoria memerika seluruh tubuh putranya, dia tidak ingin jika suaminya melakukan kekerasan pada William.
"Aku baik-baik saja, Bu. Sekarang ibu ke kamar ya , istirahat. Aku mau belajar biar besok dapat nilai bagus dan bisa membuat ayah bangga kalau aku juga bisa seperti kak Aris."
William menuntun ibunya menuju ke kamar, menyelimuti lalu dia pergi ke kamarnya sendiri. Untuk belajar, mulai sekarang tekadnya sudah kuat kalau dia harus belajar lebih giat lagi. Demi ibunya, sebab William tidak ingin jika menambah kesedihan dari perempuan yang telah melahirkannya.
"Aku tetap harus menjadi apa yang seperti ayah inginkan, jika menolak maka dampaknya akan membuat ibu bertambah sedih. Kamu pasti bisa William, semangat."
Maka sejak saat itulah, William berusaha merubah dirinya agar bisa menjadi seperti Aris. Siswa yang berprestasi, penurut, lemah lembut, murah senyum dan juga tidak macam-macam.