Malam pertama

2110 Words
Namaku Rania. Hidupku selalu penuh dengan luka. Bagaimana tidak, saat kekasihku mengatakan akan melamarku. Kedua orang tuaku tidak menyetujuinya. Kemudian aku mengurung diri. Tidak mau berbicara pada siapa pun. Kemudian orang tuaku menyarankan aku bekerja di tempat Bude. Tempat yang jauh dari si pemilik hatiku berada. Aku tahu, ini adalah cara mereka agar aku bisa melupakan Gilang. Agar aku bisa jauh darinya. Dan tak bertemu dengannya. Aku berangkat di pagi buta. Tak ada satu pun tetangga yang terjaga. Mereka mengirimku ke tempat bude dengan nasihat-nasihat panjang. Aku mengangguk, mengiyakan, dan menurutinya saja. Percuma, tak ada yang bisa aku lakukan. Ya, aku memang baru lulus. Begitu juga Gilang. Bodohnya aku berpikir untuk mengatakan ucapan Gilang yang bahkan tak mempunyai bukti. Dengan surat yang diketemukan oleh Ibu. Sepertinya, Tuhan memberiku sebuah pukulan besar. Menyadarkan aku, tentang sebuah hubungan yang tak bisa dilakukan dengan grasah-grusuh. Aku bekerja di tempat Bude. Sebuah rumah besar dengan segala macam kesibukan di dalamnya. Budeku seorang pengusaha katering. Ia menerima banyak pesanan setiap harinya. Tak ada hari libur yang pasti. Jika tidak ada pesanan. Barulah aku bisa sedikit bersantai. Tapi, dengan begini aku bisa melupakan rasa sakitku. Bisa melupakan sosok yang ada di hatiku. Bisa teralihkan dan tak lagi memikirkan dirinya. Sakitku perlahan-lahan mulai sembuh. Aku terbiasa bekerja dengan giat dan menikmatinya. Di sini, aku banyak belajar. Bagaimana cara memasak yang benar. Bumbu-bumbunya, segala rese baru dan juga cara penyajian dan penyimpanan bahan makanan. Hidupku nyaman dan aku menikmatinya. Sudah satu tahun lebih sejak hari itu. Aku berada di sini jauh dari siapa pun yang aku kenal di sana. Bude dan Pakde menganggapku seperti anak sendiri. Semua sepupu juga memperlakukan Aku dengan baik. Aku merasa semuanya indah. Tak ada lagi luka. Hatiku sembuh, hubungan dengan keluarga semakin membaik. Aku tak lupa mengirimkan uang pada mereka walau sedikit. Hingga pria itu datang. Dia hadir dalam hidupku. Memikat hati orang tuaku. Sehingga mereka menjodohkanku dengannya. Aku yang masih ada di rumah Bude ditelepon. Diminta segera langsung untuk menemui seseorang. Aku tidak bisa menerima hal itu. Aku ingin sekali menolak. Tapi Bude mengingatkan aku. Bahwa perkataan orang tua harusnya diindahkan. Bukan dibantah dengan kata-kata kasar. "Cah ayu, ojo nuruti emosi. Wong tuo ngendi sing pingin anake urip susah? Ra ono! Wis, ojo nangis. Ayo siap-siap budal. Pakde wis siap ngeterake." (Anak cantik, jangan menuruti emosi. Orang tua mana yang ingin anaknya hidup susah? Tidak ada! Sudah, jangan menangis. Ayo siap-siap berangkat. Pakde sudah siap mengantarkan). Suara Bude lembut sekali. Dia menjelaskan dengan tenang. Tanpa bentakan atau pun kata kasar. Dia kemudian memelukku dengan erat. Mengusap punggungku dengan perlahan. Menciumi pucuk kepalaku dengan lembut. Aku mengeratkan pelukan. Isak tangisku semakin menjadi. Walau aku mencoba menahannya dengan menutup mulutku sendiri. "Wis, ojo nangis. Mengko ayune luntur!" Bude terkekeh sambil mengusap air mataku. Aku pun tersenyum tipis. Lalu mencium punggung tangannya. "Nggih Bude," jawabku. Hanya itu yang bisa aku ucapkan. Baru satu tahun bisa hidup dengan damai. Panggilan telepon itu rasanya akan menjadi sebuah awal baru dalam hidupku. Sedikit banyak aku sudah tahu. Apa maksud dari telepon Ibu. Bude berkata padaku. Ada seseorang yang akan melamarku. Walau hanya sekilas ia melihat aku dalam sebuah foto. Hal yang lebih membuatku kesal adalah ternyata orang itu telah melamarku. Bahkan sebelum melihat aku! Aku pun tak tahu seperti apa dia. Tapi, apa mau dikata. Dia lebih lihai memikat hati orang tuaku daripada hatiku. Mereka menyetujui lamarannya padaku. Tanpa seizinku. “Nia, keluar. Ada tamu,” ucap Ibuku sore itu. Suaranya terdengar sangat gembira. Membuatku menjadi penasaran. Siapa yang sedang bertamu di rumahku? “Siapa?” tanyaku dari dalam kamar. Aku sedang merapikan beberapa barang yang belum aku simpan ke lemari. Baru kemarin aku sampai di sini. Terlalu lelah jika langsung merapikan semuanya. Ya, aku membawa semua barangku kembali ke rumah ini. Itu adalah sebuah tanda, bahwa aku tak mungkin kembali ke rumah Bude untuk bekerja lagi. “Keluar dulu, nanti kamu juga tahu,” jawab Ibuku. Aku membuka pintu. Mencoba mengintip ke ruang tamu. Tapi, ibuku menahan kepalaku. “Hush, ndak ilok inceng-inceng. Cepat ganti bajumu!” (Nggak baik intip-intip) perintah Ibuku. Aku menurutinya, aku mengganti baju dan memoles wajahku dengan sedikit bedak. Kemudian, aku menemui Ibu yang sedang sibuk di dapur. “Siapa Bu?” tanyaku. “Temannya Pak Lek Ipoh,” jawab Ibu. “Lalu, kenapa aku disuruh ke sana juga?” tanyaku penasaran. Menurutku, ada yang tidak beres ini. Kalau temannya Lek Ipoh, kenapa harus ke rumah? “Jangan banyak tanya, bawa ini ke depan!” perintah Ibuku, dia memberikan sebuah nampan berisi tiga cangkir kopi. Aku mengekor pada Ibu. Kemudian aku meletakkan cangkir-cangkir kopi itu di meja. Setelah melihatku selesai meletakkan kopi, Ibu langsung memperkenalkan aku pada tamunya. “Namanya Nia, Rania, anak mbarepku,” (anak sulungku) ucap Ibuku. Dia menyuruhku untuk bersalaman dengannya. Aku menurut saja. Lek Ipoh juga kusalami. Lalu aku berlalu pergi, masuk lagi ke dalam. “Piye? Ayu to?” (Gimana? Cantik kan?) ucap seseorang, dari suaranya jelas terdengar, kalau itu adalah Lek Ipoh. Kenapa mereka membahas tentang aku. “Iyo, ayu tenan ponakanmu,” (iya, cantik betul keponakanmu) jawab orang itu. “Jadi bagaimana? Kapan acaranya?” tanya Ibuku. Dia seolah sudah tidak sabar dengan acara tersebut. Sebuah acara yang masih belum aku ketahui, acara apa itu sebenarnya. “Wah, Mbak Yu wis pingin gendong putu ya?” (Wah, Mbak Yu sudah ingin gendong cucu ya?) tanya Pak Lek ku. Terdengar mereka tertawa setelah Pak Lek berkata seperti itu. Hah? Mereka membahas soal cucu? Cucu siapa? Siapa yang akan memberikan cucu pada Ibu? Perasaanku menjadi tidak enak. Aku berdiam diri di dalam kamar. Aku duduk dengan perasaan gusar. Jemariku saling meremas. Aku ingin sekali menyingkirkan perasaan buruk ini. Aku sangat berharap, apa yang ada di pikiranku tidak akan terjadi. Aku menggigit bibir bawahku dengan gusar. Terdengar suara Ibu memanggilku lagi. “Tamunya mau pulang, kamu ke depan sana!” perintah Ibuku. Aku hanya bisa menurut. Aku melangkahkan kakiku ke ruang tamu lagi, walau sebenarnya aku sangat malas. Aku mencium tangan keduanya, Pak Lekku dan temannya. Aku juga tersenyum pada mereka, walaupun itu hannyalah senyuman palsu. “Siapa, Bu?” tanyaku pada Ibu. Saat dia sedang mencuci cangkir bekas kopi tadi. Aku duduk di ruang makan, sambil menunggu jawaban dari Ibu. “Temannya Lek Ipoh, kan Ibu tadi sudah bilang sama kamu,” jawab Ibu. Dia tidak menoleh padaku, dia masih melakukan aktivitasnya hingga selesai. Kemudian dia mengeringkan tangannya dengan lap. Dia menarik kursi di sebelahku dan duduk di sana. “Iya tahu, kenapa kesini? Kan rumah Lek Ipoh di sebelah, kenapa enggak ke rumahnya sendiri?” sindirku. Aku ingin kejelasan, bukan cuma jawaban seperti itu. “Mau kenalan sama kamu,” jawabnya kemudian. Aku melongo, sangat terkejut dengan jawaban Ibu. “Buat apa kenalan sama aku? Sudah tua, kok ngajak kenalan gadis muda,” gerutuku. Aku sengaja mengucapkannya. Biar saja Ibuku mendengar. Aku masih kesal dengan kejadian Gilang waktu itu. Hingga dia menjauhiku, dan aku juga bersikap demikian padanya. Hatiku hancur saat itu, dan sekarang masih belum sembuh. “Wong iku kate njalok awakmu,” (Orang itu, mau melamar kamu) jawab Ibuku. Membuatku melotot seketika. Aku sangat kaget dengan jawaban Ibu. Wajahku terasa panas, aku menghela napas pelan. Mencoba untuk tidak berkata kasar pada Ibuku. Karena itu bukanlah sifatku. “Apa? Enggak ada gadis lain apa? Kenapa harus aku?” bantahku pada Ibu. “Romi iku wes mapan, kerjoane enak dadi juragan. Wes ojok ngecemes ae, Bapak wes setuju,” (Romi itu sudah mapan, kerjanya enak jadi juragan. Sudah jangan ngomel saja, Bapak sudah setuju) ucap Ibuku. Aku berlari menuju kamarku. Aku menutup pintu dengan keras. Aku juga mendengar Ibu berteriak padaku, karena aku membanting pintu. Tapi, aku mengacuhkannya. Aku menelungkupkan badanku di kasur tipisku. Aku menangis sejadi-jadinya. Bagaimana bisa, orang tuaku setega itu. Setelah menjauhkan aku dengan orang yang aku cintai. Sekarang, mereka menjodohkanku dengan seorang om-om. Hanya karena dia kaya. Aku menangis tergugu, aku merasakan hatiku begitu pilu. Orang yang kucintai, di usir dan dilarang menemuiku. Hatiku hampa berbulan-bulan. Hingga akhirnya aku bisa melupakan dia. Lalu dengan seenaknya, mereka menghadirkan seseorang dalam hidupku. Tanpa meminta persetujuanku. Tanpa meminta pendapatku. Tanpa mendengar keluhanku. Aku merasa begitu sakit. Dadaku terasa sangat sesak. Rasanya sulit untuk bernapas. Aku terisak-isak sendiri di dalam kamarku. Hingga akhirnya aku terlelap. * Malam itu, dia datang lagi. Bersama dengan kedua orang tuanya. Mereka terlihat tidak nyaman berada di rumahku yang reot ini. Tampak jelas, dari pandangan mata mereka melihat rumahku, dari ujung hingga ke ujung. Kemudian wanita itu memutar bola matanya. Mereka duduk tepat di depan orang tuaku. Pria bernama Romi itu tersenyum melihatku. Aku malas sekali. Ingin rasanya aku kabur dari tempat ini. Kembali ke tempat Bude secepatnya. Tapi nyatanya, aku tak bisa pergi. Beranjak dari tempat duduk saja aku tak bisa. Malam itu berakhir dengan, dia melingkarkan sebuah cincin di jari manis tangan kiriku. Aku melihat kedua orang tuaku tersenyum bahagia. Begitu pun dia dan orang tuanya. Sepertinya, hanya aku saja yang tidak bahagia dengan acara lamaran itu. Tidak berselang lama dari hari lamaran. Orang tuaku sudah memutuskan tanggal pernikahan kami. Memesan berbagai hidangan juga dekorasi. Hari itu aku dirias dengan begitu sempurna. Aku melihat bayanganku sendiri di cermin. Aku melihat ada seorang perempuan cantik di sana. Tapi tidak ada senyum di wajahnya. Aku menghela napas dengan berat. Aku sendirian di dalam kamar. Menanti orang tuaku akan membawaku keluar. Lalu mempertemukanku dengan pria itu. Aku mendengar dengan lantang dia mengucapkan janji suci. Sebuah janji yang tidak hanya disaksikan oleh para undangan, tapi juga oleh para malaikat. Bahkan langit pun ikut bergetar mendengarnya. “Qabiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur,” ucapnya lantang. Aku menangis, bukan karena haru bahagia. Tapi karena aku harus menerimanya, apa pun yang terjadi selanjutnya. Sekarang, aku adalah seorang istri. Dari seorang pria yang tidak aku cintai. Ibuku menuntunku keluar dari kamar. Dia mengusap air mataku. Lalu dia berbisik. “Kamu adalah seorang istri. Sekarang, surgamu tidak lagi ada pada Ibu. Tapi pada suamimu,” ucapnya tepat di telingaku. Aku hanya bisa mengangguk. Tanpa bisa mengeluarkan sepatah kata. Aku sudah berada di hadapan pria itu, iya suamiku. Aku diminta untuk mencium punggung tangannya. Lalu sang fotografer mulai mengambil foto. Dia mencium keningku, dan memelukku. Saat aku masih dalam pelukannya, aku melihat Gilang. Dia ternyata hadir di pernikahanku. Pernikahan yang tidak aku inginkan. Saat mata kami bertemu, aku melihatnya mengusap wajahnya dengan kasar. Kemudian dia pergi begitu saja. Tanpa mengucapkan apa pun padaku. Para undangan menyalamiku dengan senyum semringah. Aku pun harus tersenyum di hadapan mereka. Aku tidak ingin mengecewakan orang tuaku. Mereka sudah membesarkan dan merawatku. Mungkin ini adalah jalanku, untuk bisa membahagiakan mereka. “Ya Allah, buat hatiku ikhlas menerima semua ini,” ucapku dalam hati. * Malam pertama, malam yang dinantikan oleh para gadis. Menanti orang yang dicintainya menyentuhnya dengan penuh kasih. Tapi, malam pertamaku tidak seperti itu. Aku bahkan merasa takut, dan berharap aku menstruasi saat itu juga. Sayangnya, semua itu tidak terjadi. Romi masuk ke dalam kamar dengan rambut sedikit basah. Aku tidak bertanya, kenapa rambutnya dia basahi. Aku hanya diam membisu. Mendekap selimut yang aku gunakan. “Sudah siap?” tanyanya lembut padaku. Dia sepertinya orang baik. Perkataannya juga selalu lembut. Tapi, hatiku tidak bisa menerimanya. Aku hanya menggeleng, untuk memberinya jawaban. “Kenapa?” tanyanya lagi. Lalu, aku menggeleng lagi. “Takut?” Aku mengangguk. “Kenapa takut?” “Kata temanku, malam pertama itu sakit,” ucapku pelan. Kemudian dia tertawa, tawanya begitu renyah. Aku sampai harus menahan malu, karena sudah mengucapkan perkataan itu. “Aku belum pernah, jadi aku juga enggak tahu. Apa malam pertama itu sakit, menurut kamu sakit ya?” tanya Romi padaku. “Aku juga enggak tahu,” jawabku. “Bagaimana kalau kita cari tahu, benar sakit atau enggak?” ucapnya. Kemudian dia duduk disampingku, lalu menciumku. Tangan kanannya memegang rahangku dengan lembut. Sementara tangan kirinya berada di pundak kananku. Dia mencium bibirku. Melumatnya dengan lembut. Aku tidak pernah pacaran. Jadi, ini adalah ciuman pertamaku. Aku hanya bisa menerimanya saja, dan menikmatinya. Aku memejamkan mataku, seperti di novel yang pernah aku baca. Katanya, ciuman akan lebih nikmat, jika dengan menutup mata. Aku merasakan pegangan di pundakku semakin kencang. Dia melumat bibirku dengan penuh gairah. Aku merasa merinding saat itu. Semuanya adalah yang pertama buatku. Aku merasa seperti melayang dibuatnya. Saat aku melihatnya akan segera melepas celananya. Mataku melotot melihatnya. Lalu aku berteriak. “Jangan!” “Kenapa?” ada raut kecewa yang terpancar di matanya. “Aku belum siap,” ucapku dengan wajah memelas. Aku masih belum siap untuk hal yang lebih dari ciuman. Dia tidak jadi melepasnya. Dia tersenyum padaku. Walau aku tahu, dia kecewa. Tapi aku benar-benar masih takut. Malam itu kami habiskan dengan saling bertanya dan menjawab pertanyaan. Hingga akhirnya kami pun terlelap.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD