Mencoba Menerima Fakta

1067 Words
"Tiya, sebentar lagi di rumah gue akan terjadi gempa! Mungkin juga ledakan nuklir, yang akan menghilangkan eksistensi gue!"  "Hah?" Tiya yang tak mengerti dengan arah dialog Zea, menatap cewek itu dengan bodoh. "Ada apa sama lu? Belum sarapan?" Tiya menyodorkan mendoan yang baru saja ia bawa dari kantin bersama Susan, menawarkannya pada Zea.  "Zea lu kasih, gue lu lupain. Jahat bener!" Susan yang muncul di belakang punggung Zea, segera mengambil dua mendoan dengan cepat, menyelamatkan jatahnya sendiri. Susan meniup mendoan beberapa kali, menghilangkan suhu panas.  Zea menatap kedua teman dekatnya, menggeleng lemah tak berdaya. Zea sama sekali tak memiliki nafsu makan saat ini. Jangankan mendoan. Dikasih bebek panggang kesukaannya pun sekarang dia tak berminat memakannya.  Selera makannya hilang karena Arion.  "Gimana gimana? Tadi lu bilang apa?" Tiya kembali berfokus pada Zea, dengan sungguh-sungguh memposisikan diri sebagai pendengar.  Pagi ini suasana kelas tidak terlalu ramai. Dari empat puluh dua anak, yang datang belum ada sepertiganya. Kebanyakan anak-anak yang sudah datang saat ini sibuk ke kantin untuk membeli sarapan. Banyak dari mereka yang berangkat dari rumah dengan perut kosong.  "Lu tau Arion, kan?" Zea memulai.  "Apa ini pertanyaan prank? Siapa yang nggak tau Arion?" Murid bengal yang sayangnya, menjadi satu-satunya mantan Zea di SMA ini.  "Dia calon saudara ipar gue! Kayaknya sebentar lagi keluarga gue mengalami guncangan mental."  "Ha? Calon ipar? Gimana maksudnya?" Susan yang sibuk makan mendoan, membuka mulutnya tanpa sopan santun, membuat makanan di dalam mulutnya terlihat memalukan. Cewek dengan sentuhan wajah Chines ini meskipun tubuhnya mungil dan parasnya luar biasa imut, tetapi kebiasaan makannya bikin orang geleng-geleng kepala.  "Kakaknya dan kakak gue mau merried. Bukankah itu artinya gue jadi iparan sama Arion? Ini pelajaran dasar. Ke mana aja kalian waktu pelajaran IPS SD dulu?" Kesal oleh respon mereka yang lambat, Zea mencibir kecil.  "Ipar? Siapa yang mau iparan sama Arion?" Rifa, yang mendengar sekilas kalimat terakhir Zea, datang terburu-buru dari luar, mendekati kumpulan teman-temannya.  "Gue!"  Satu kata dari Zea. Singkat, padat, tapi membuat semua orang membelalakkan mata. Rifa, teman yang paling dewasa di antara mereka, segera mengambil kesimpulan dengan baik.  "Serius?" Rifa meletakkan tas selempangnya di sisi kursi Zea, duduk menghimpit Tia yang pada dasarnya tidak punya hak duduk di sini. Bangku Tiya sebenarnya ada di baris belakang Zea.  "Lu sanggup iparan sama Arion?" Rifa lagi-lagi bertanya.  "Bukan hanya iparan. Kemungkianan juga satu rumah!" Zea mengerucutkan bibirnya, merasa teraniaya. Semalam Senia telah mengatakan pada Zea, kemungkinan besar, setelah menikah mereka semua akan tinggal bersama.  Menyedihkan? Sangat. Zea sudah mengasihani dirinya puluhan kali sejak ia mendengar kabar ini. Jangan tanyakan nanti keadaan batin Zea seperti apa. Jelas kacau balau. Siapa yang sudi satu rumah dengan cowok setengil Arion?  "Oke. Zea, gue nggak nyangka akan denger kabar seluar biasa ini!" Susan manggut-manggut, mengambil mendoan milik Tiya yang tinggal satu biji. "Gue bisa bayangin rumah lu bakal jadi ajang perseteruan. Ada baiknya lu siapin amunisi."  "Mantan jadi musuh. Nah begini ini nih contohnya!" Tiya menatap Zea simpati, diikuti oleh kedua teman lainnya.  "Nggak apa-apa, Ze. Be strong, ya. Oke?" Susan menepuk bahu Zea, memberi semangat dan ketenangan. "Untuk menghadapi.cowok seperti Arion, seharusnya lu hanya harus diem dan nggak memancing masalah. Anggap aja dia nggak ada dan kehadirannya transparan!"  Saran Susan memang memiliki banyak benarnya, tetapi sayangnya untuk bersikap pasif dan menganggap keberadaan Arion tidak ada, bisakah Zea? Hei. Cowok itu memiliki kehadiran yang sangat kuat, mendominasi, bahkan mengintimidasi. Siapa yang bisa menganggapnya sebagai udara?  Selain itu, alih-alih mengalah, Zea selalu lebih suka menunjukkan wilayah dan harga diri. Tidak masalah jika mengalah satu dua kali seperti di sekolah saat ini. Jika tetap bersama dan terus mengalah dalam satu rumah? Habislah Zea. Dengan pemikiran Zea yang seperti ini, bisa dipastikan kebersamaan mereka nanti akan melahirkan pertikaian baru.  …  "Aku nggak nyangka Zea dan Arion pernah membentuk hubungan cinta monyet!" Senia menatap Daffa, calon suaminya, yang kini mengenakan pakaian kasual.  Mereka kini duduk di restoran, menunggu janji untuk melakukan pertemuan dengan salah satu agen wedding organizer, melihat beberapa penawaran menarik dari paket yang akan mereka gunakan untuk pernikahan yang rencananya sebulan lagi diadakan.  Daffa tersenyum kecil. Cinta monyet? Dengan karakter Arion yang sulit, Daffa khawatir cinta itu bukan cinta monyet. Bisa jadi lebih dari itu. Hanya saja, tak ingin membuat Senia khawatir, Daffa tak mengungkapkan opininya.  "Namanya juga anak remaja!" respon Daffa ringan, meraih tangan Senia dan memegangnya mesra. "Setiap orang kan punya kenangan sendiri saat mereka masih remaja. Kenangan ini yang akan membentuk mereka hingga mereka dewasa nanti. Zea, adikmu, terlihat baik dan lembut. Tidak masalah jika Arion memiliki kisah bersama dengannya. Toh itu juga demi memperkaya pengalamannya, selama itu bukan hal yang negatif!"  Hidup Arion terlalu kompleks dan memiliki banyak pengalaman kurang baik di masa lalu. Daffa tahu itu dengan baik. Jika Zea pernah hadir dan menjadi salah satu cahaya untuk Arion, Daffa bersyukur untuk ini. Sayangnya hubungan mereka tidak berlanjut. Daffa sedikit menyesalkan tentang ini.  "Adikku itu orangnya keras kepala dan semaunya sendiri. Kalau nanti kita nikah, aku harap kamu jangan membencinya." Daffa mengungkapkan kekhawatirannya.   "Hei. Gimana aku bisa membenci? Bagaimanapun, dia bagian dari dirimu. Masa iya aku benci?" Senia menatap Daffa bingung, tak habis pikir.  "Kamu bilang begitu karena belum tau karakter Arion sebenarnya seperti apa. Kami udah nggak punya orang tua. Cara berpikir Arion semakin ke sini semakin ekstrim dan tindakannya terlalu sembrono!"  Senia diam. Dia menepuk punggung tangan Daffa, mencoba menenangkan kecemasan Daffa yang berlebihan.  "Kamu tau nggak? Dalam satu bulan ini aja, Aku dipanggil empat kali ke BP karena kasus kenakalan Arion. Aku kadang pusing mengatasi itu!" Ada ketidakberdayaan yang nyata di sorot mata Daffa.  Seandainya saja Arion bukan adiknya, Daffa mungkin sudah kehabisan kesabaran merawat anak itu.  "Jangan cemas, Sayang. Bagaimanapun juga, aku seorang kakak dan bisa mengurus Zea dengan baik selama ini. Dengan kehadiran Arion, aku yakin kita bisa menggabungkan kekuatan bersama untuk merawat dia secara layak."  Senyum Daffa merekah sempurna. Dia tak menyangka akhirnya ia mampu menemukan seorang wanita yang mencintai dan menerimanya dengan baik seperti ini.  "Terimakasih, Senia. Tapi ingat, ya. Adikku memiliki karakter yang jauh dari Zea. Jadi jangan terlalu segan untuk mendidiknya nanti. Kalau dia perlu dihukum karena melakukan sesuatu yang buruk, lakukan saja. Ada kalanya bertindak tegas itu perlu. Percayalah! Aku nggak ingin Arion membawa banyak masalah yang nggak perlu!"  Senia tersenyum hangat mendengar semua ini. Meskipun Daffa berusaha bersikap keras dan tegas untuk Arion, tapi sorot matanya menunjukkan cinta dan kasih sayang yang besar. Tak ada kepalsuan sama sekali.  "Tentu. Aku akan jadi kakaknya juga!" Senia meyakinkan. 

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD