Menembus Mimpi

1416 Words
Terminal kedatangan di bandar udara Halim Perdanakusuma tidak terlalu ramai. Ray yang baru saja memesan taksi bandara diarahkan untuk naik ke taksi yang sudah parkir berurutan menunggu giliran. Hari sudah menjelang pukul 11 siang ketika taksi mulai berjalan. Perjalanan takkan membutuhkan waktu lama, sekitar setengah jam pasti sudah sampai di kampus yang dituju Ray. Taksi memasuki parkiran program studi Magister Teknologi Informasi. Ray berharap staf sekretariat belum keluar makan siang dan masih bisa mengurusi keperluannya. Ternyata Ray sedang bernasib baik. Harapannya tidak sia-sia. "Siang, Bu," ujar Ray pada Bu Melia, staf sekretariat program studi. "Siang. Ada keperluan apa?" tanya Bu Melia ramah. "Saya mau ngambil legalisir ijazah saya, Bu." "Siapa namamu?" tanyanya lagi. "Farzan Rayshiva," jawab Ray singkat. "Ini, kamu cek di daftar ini namamu ada di nomor berapa," perintah Bu Melia sambil menyerahkan map plastik berisi registrasi legalisir ijazah. Ray lalu menyebutkan nomor registrasi di mana namanya tertulis lalu diberikan berkas legalisir ijazah yang sudah selesai. Ray berjalan dengan senang setelah urusannya selesai di sekretariat. Urusannya cuma butuh waktu sekitar 10 menit karena semua sudah selesai dan tinggal diambil saja. Tinggal satu agenda lagi yang harus diselesaikannya mumpung sedang di Jakarta. Malam ini dia akan ketemu teman kuliahnya untuk membahas suatu urusan. Sambil berjalan, Ray mengenang saat-saat dia kuliah dulu. Ada rasa kangen meski dia sendiri belum terlalu lama lulus dari sana. Kangen dengan berbagai aktivitas perkuliahan dan juga kangen dengan teman-teman kuliah dulu. Tak terasa Ray sudah sampai di depan Guest House tempat dia akan menginap. Ray sengaja memilih tempat itu karena cukup dekat dengan kampusnya dan letaknya sangat strategis.  Ternyata saat itu baru pukul 12 kurang sementara biasanya check-in penginapan adalah pukul 1 siang. Ray menuju resepsionis dan memesan kamar untuk satu malam. Sementara menunggu kamarnya siap, dia makan siang di kafetaria di Guest House itu. "Silahkan, Mas. Ini kamarnya," kata bellboy yang mengantar Ray saat pintu kamar nomor 8 sudah dibukakannya. "Terima kasih," ujar Ray sambil mengangguk sopan. Kamar itu tampak rapi. Ada sebuah tempat tidur ukuran besar dengan dua kabinet kecil di kanan dan kirinya. Di sisi lain, ada sebuah lemari pakaian, meja tulis, dan sebuah cermin tergantung di dinding di tepi meja tulis itu. Harum aroma apel tercium dari pewangi ruangan. Ray meletakkan ranselnya di meja tulis lalu mengeluarkan beberapa potong pakaian yang dibawanya. Disimpannya pakaian tersebut di lemari pakaian lalu membuka kamar mandi untuk melihat bagaimana keadaannya. Sebuah kamar mandi yang bersih dengan bak mandi dan toilet berwarna putih dengan dinding keramik berwarna krem dan lantai coklat muda. Aroma pewangi kamar mandi menyergap hidungnya. Setelah menyelesaikan agendanya tadi dan juga makan siang, Ray berniat tidur sejenak melepas penat. Biar tidurnya enak, dia berniat mandi dulu. Sorenya Ray baru ingin berjalan-jalan di sekitar tempat itu. Badan yang segar setelah mandi dan perut yang sudah kenyang terisi makan siang tadi membuat Ray ingin segera berbaring dan memejamkan matanya. Saat dia baru merebahkan tubuhnya, pandangannya tertuju pada lukisan di dinding yang ada di arah kakinya. Lukisan seorang perempuan yang cantik.  Tampaknya perempuan itu adalah penari Bali. Perempuan itu hanya mengenakan kain yang menutupi bagian pinggang ke bawah. Kedua belah payudaranya yang montok menggantung indah. Lukisan itu tampak hidup dan begitu mempesona dengan tatapan mata dan senyuman yang indah dipandang. Ray hanya terpaku memandangnya lalu perlahan terlelap dalam tidurnya. * * * * * Lagu 'Too Good at Goodbyes' dari Sam Smith mengalun lembut. Beberapa orang tampak mengisi beberapa meja yang tersedia di kafetaria Guest House yang letaknya di pinggir jalan. Aroma sate dari arah dapur tercium samar di hidung Ray. Dia sudah menunggu sekitar 10 menit di sana. "Halo, Bro," sapa Ray pada Dwi teman kuliahnya dulu yang baru saja berjalan masuk dari parkiran depan. "Aduh ... aku sudah kangen sama kamu, Ray." Dwi menyalami Ray lalu memeluknya sambil menepuk-nepuk punggungnya. "Dari tempat kerja langsung ke sini?" tanya Ray. "Iya, kebetulan gak jauh dari sini," jawab Dwi tersenyum senang baru berjumpa lagi dengan kawan lamanya. "Aku sengaja bermalam di Jakarta biar bisa ketemu kamu. Kalo gak, ya kapan lagi mau ketemu. Mumpung ada kesempatan ke sini." ujar Ray. "Wah, terima kasih banyak sudah sengaja menyediakan waktu untuk ketemu," balas Dwi. "Begini, Bro. Aku butuh bantuan nih." Wajah Ray keliatan serius. Mendengar itu, Dwi ikut memperhatikan dengan serius. "Sepupuku si Dino, mau kuliah di sini.  Dia sudah lulus ujian masuk ke Fasilkom. Kamu tau kan aku gak punya keluarga di sini. Aku mau minta tolong kamu supaya dia bisa dibantu cari tempat kost yang cocok. Tempat kost-ku dulu kan sudah gak jadi tempat kost lagi sekarang karena dijual pemiliknya." Ray menjelaskan permintaannya pada kawannya itu. "Kamu ini. Kayak sama orang lain saja. Aku pikir tadi kamu mau minta tolong apa. Kalo urusan itu, gampanglah. Nanti aku cariin dulu supaya kalo dia datang nanti sudah siap," janji Dwi. Mereka berdua terbilang teman dekat. Meski tak selalu bersama saat kuliah tapi di waktu luang, mereka berdua sering jalan bareng dan sama-sama punya hobi bersepeda. Jadinya mereka suka main sepeda bareng. Obrolan pun berlanjut tentang keadaan masing-masing setelah terpisah sejak lulus kuliah. Ray melanjutkan studi di S-2 sedangkan Dwi langsung kerja. Dwi bahkan tak lama lagi akan menikah setelah merasa betah dengan pekerjaannya. Setelah sekitar dua jam ngobrol berdua, Dwi pamit untuk pulang. Kebetulan besoknya dia ada training di kantornya jadi harus berangkat lebih pagi.   Hari belum terlalu malam tapi Ray terasa mulai mengantuk ketika masuk ke kamar tempatnya menginap. Mungkin karena pagi tadi dia bangun lebih pagi karena harus bersiap berangkat agar tiba lebih awal di bandara. Setelah berganti pakaian dengan t-shirt longgar dan celana pendek, Ray mulai membaringkan tubuhnya di tempat tidur. Pandangannya kembali tertuju pada perempuan bertelanjang d**a di dalam lukisan di depannya sampai matanya tak sadar telah terpejam. Ray tertidur pulas. Orang-orang nampak hilir mudik di jalan tanah yang dilalui Ray. Anak-anak kecil berlarian dengan ceria berkejaran. Seorang lelaki menuntun seekor kambing berbulu gondrong yang dikat dengan tali di lehernya. Ray belum pernah melihat kambing yang bulunya gondrong seperti itu. Baru kali ini dia melihat kambing seperti itu. Ada juga pedati yang ditarik oleh seekor kerbau yang mengangkut hasil pertanian di dalamnya.  Tempat itu terasa asing bagi Ray. Dia belum pernah ke tempat itu sebelumnya. Suasananya tampak berbeda. Ray terheran-heran melihat para perempuan berjalan beriring dengan membawa tumpukan buah-buahan di atas kepala mereka. Para perempuan itu bertelanjang d**a dan hanya memakai kain sebagai penutup pinggang sampai di atas mata kaki mereka. Dia berjalan pelan saat berpapasan dengan para perempuan itu dan menatap mereka satu per satu sampai mereka berlalu. Terdengar salah satu dari mereka berbicara dengan bahasa yang Ray tak mengerti. Ray merasa aneh melihat para perempuan itu bertelanjang d**a di jalan umum seperti itu. Nampaknya mereka tak merasa malu dan sudah lazim begitu. Dia menoleh untuk melihat kembali para perempuan yang berjalan beriringan tersebut. Keheranannya belum lagi hilang saat tak jauh dari dirinya berjalan ada seorang perempuan berdiri di halaman yang tanahnya lebih tinggi dari jalan itu. Perempuan itu melambaikan tangan kepada Ray sambil tersenyum. Tampaknya perempuan itu memanggilnya. Dengan agak bingung, Ray mendekati perempuan itu. Seorang perempuan yang cantik yang juga bertelanjang d**a. Senyumnya begitu manis dan ramah. Ray merasa pernah melihat perempuan itu sebelumnya entah di mana. Ray menapaki beberapa anak tangga untuk sampai di hadapan perempuan itu. Langkahnya berhenti sekitar satu meter di depan perempuan itu. "Ni Galuh," kata perempuan itu sambil mengatupkan kedua telapak tangannya dan memajukannya ke arah Ray sambil sedikit membungkukkan badannya. Ray melakukan hal yang sama. "Tit ... tit ... tit ... tit ... tit ...." Bunyi alarm dari ponsel Ray membangunkannya dari tidurnya. Matanya terbuka dan kesadaran mulai hinggap di kepalanya. Diraihnya ponsel yang diletakkannya di atas kabinet kecil di samping tempat tidur untuk mematikan bunyi alarm. Mulutnya menguap sambil tangan kirinya mengucek matanya. Ray masih terbaring di tempat tidur dengan menatap langit-langit kamar. Pasti sudah jam 5 pagi jika alarm-nya berbunyi, pikirnya. Rasanya dia baru tidur sebentar dan sedikit bermimpi tapi hari telah pagi. Ingatannya kembali pada mimpinya yang dilihatnya seperti nyata.  "Siapa perempuan itu?" tanya Ray dalam hati. Dia merasa sudah pernah melihat perempuan itu sebelumnya tapi dia tak tahu di mana. Sosok perempuan itu seolah tak asing baginya. Tatapan matanya, senyumnya, dan....buah dadanya yang montok. Ray masih melamun sambil mengumpulkan tenaganya untuk bangun. Rasanya tubuhnya masih malas dan betah untuk berbaring di kasur empuk itu tapi dia harus mandi agar tak telat ke bandara untuk berangkat pulang. Susah payah dilawannya rasa malas itu dan bangkit untuk mandi. Tatapannya terbentur pada lukisan perempuan bertelanjang d**a di dinding di hadapannya. Matanya terbelalak saat melihat wajah perempuan dalam lukisan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD