1. Pantai

2071 Words
Embusan semilir angin yang menerpa wajah cantiknya tak mampu membuat gadis itu menurunkan lengkungan garis bibirnya yang terangkat ke atas. Sepanjang menelusuri bibir pantai ia terus terusan tertawa lebar. Helaian surai panjangnya yang berwarna hitam legam tampak berkibar-kibar menambah kesan estetik pada diri gadis tersebut. Ara dengan begitu lincahnya berlari kesana kemari mengejar gulungan ombak kecil yang tampak menerpa kulit telanjangnya. Kaki mulusnya yang tak terbalut sepatu sekolah lagi kini menginjaki pasir pantai yang sewarna putih, namun tak membuat kontras di antara keduanya. Pakaiannya kini telah berubah, tidak lagi mengenakan seragam sekolah yang sebelumnya dia pakai sewaktu datang ke kantor Calvin. Tak sedikit para laki-laki yang menatap kagum akan pesona yang dimiliki Ara. Dengan kulit mulus bak porselen, tubuh mungil setinggi 158cm, pakaian berumbai yang tertiup angin hingga membuatnya tampak menjadi sorotan. Juga celana pendek berwarna putih yang menampilkan kaki mulusnya yang jenjang. Dalam sekali pandang, maka orang-orang akan meluangkan waktu lebih untuk melihat gadis itu selama beberapa saat. Pesona gadis itu terlalu kuat untuk diabaikan, dengan kelembutan garis rahang yang dimilikinya seakan mampu memikat siapapun yang ada di sekitarnya untuk terfokus padanya. Namun ia tak memedulikan hal itu, ia mengabaikan tatapan orang-orang di sekelilingnya dan lebih fokus bermain dengan ombak yang menyentuh telapak kaki telanjangnya. Dalam hidup Ara, ada dua hal yang dia sukai di dunia ini. Yang pertama adalah Calvin dan yang kedua adalah pantai. Meskipun Calvin dan pantai memang bukanlah perpaduan yang cukup bagus. Lihat saja saat ini ketika pria itu hanya berdiri menjulang dengan kokohnya di bawah pohon kelapa yang tak jauh darinya. Yang dilakukan pria itu sedari tadi hanya diam dan mengamatinya dari kejauhan, tanpa ada niatan untuk ikut serta menemaninya bermain di pantai. Terkadang, Ara sering kali merasa kesal karena sifat kaku pria itu yang seakan mendiamkannya. Tapi jelas Ara mengetahui, bahwa Calvin sangat mencintainya sedalam atau bahkan lebih dari pada yang Ara kira. Pria itu sesibuk apapun akan selalu ada untuk Ara, membuat gadis itu tersenyum dalam pemikirannya. Bagi Ara, Calvin adalah hidupnya. Sedangkan bagi Calvin, Ara adalah segalanya. Mereka saling melengkapi, tak peduli jarak usia mereka yang terpaut cukup jauh. Menurut Ara, perbedaan usia yang cukup jauh tak membuatnya merasa terbebani. 10 tahun bukannlah penghalang bagi mereka untuk tetap bersama, meski pria itu tak pernah mengungkapkan dengan gamblang mengenai perasaannya. Tapi Ara tau kalau perasaanya tidak akan pernah bertepuk sebelah tangan. Saat tengah asik bermain di bibir pantai, gadis itu dibuat terkejut ketika mendapati seorang pria yang tengah menepuk pundaknya dari arah belakang. Gadis itu menoleh, kedua matanya yang besar berkedip dua kali membuat pria yang saat ini menatapnya hanya bisa dibuat semakin terkagum akan kecantikan alami yang dimiliki gadis itu. "Bolehkah kita berkenalan, namaku Giovani." Ara berkedip sekali lagi, menengok pada sosok Calvin yang berada tak jauh darinya. Melihat tak ada respon yang diberikan Calvin, membuat Ara balas menerima uluran tangan pria bernama Giovani tersebut untuk berkenalan, "Ara." "Kau sendirian? Mau kutemani?" tampak Giovani tersebut tengah menampilkan senyum terbaiknya, hidungnya yang terukir dengan sempurna disertai dengan garis rahang yang kuat membuat pria tersebut terlihat begitu tampan berada di bawah teriknya sinar matahari di sore hari. Baru saja Ara hendak menjawab ajakan tak kasat mata dari sulung Giovani itu, dia langsung urung melanjutkan ketika seorang laki-laki dengan begitu tiba-tiba langsung menyembunyikan badan mungilnya di balik punggungnya yang lebar dan kokoh. Ara tersenyum, merasa senang ketika Calvin pada akhirnya bereaksi padanya. Pria itu, tak akan pernah membiarkan Ara bersama dengan pria asing yang baru dikenalnya. Bisa dikatakan, Calvin adalah pria yang cukup possesif. Tapi Ara tidak mempermasalahkan hal itu, ia malah senang dengan kenyataan itu. Begitu pula sebaliknya, gadis itu juga tidak akan membiarkan Calvin untuk dekat dengan wanita manapun selain dirinya. Dalam keterdiaman mereka, keduanya jelas paham bahwa mereka saling memiliki dan saling menjaga satu sama lain. Calvin dan Ara tidak ada yang bisa memisahkan mereka, terkecuali maut yang tidak bisa mereka prediksi. Mengingatnya, menbuat Ara sedikit merubah raut mukanya yang sebelumnya cerah. "Dia datang ke sini bersamaku, lebih baik kau pergi dari hadapannya." dengan nada angkuh Calvin mengusir Giovani, dapat dilihatnya kedua rahang pria tersebut yang mengeras menahan amarah. Sulung Giovani tersebut berlalu dari hadapan Calvin masih dengan kedua tangan terkepal, dalam hatinya dia tidak akan membiarkan hal ini terjadi. Dia, adalah sulung Giovani. Dia akan mencari tahu gadis itu dan berusaha mendapatkannya. Setelah kepergian pria bernama Giovani tersebut, Calvin kini membalikkan badannya menghadap pada Ara yang tampak masih mengembangkan senyum manisnya. "Daddy cemburu?" Tanpa menjawab pertanyaan Ara, Calvin membawa tubuh mungil gadis itu agar melesak ke dalam pelukannya. Ia memeluk Ara dengan kuat, dia tidak akan pernah membiarkan gadisnya didekati oleh pria lain, tidak terkecuali dirinya sendiri. "Ayo pulang." Ara yang mendengar perkataan Calvin hanya bisa merengut sebal, sudah menjadi kebiasaan pria itu jika mendapati hal yang tak disukainya maka ia akan selalu mengajaknya pulang. Sungguh menyebalkan. "Aku nggak mau pulang Dad.." dengan kedua mata berkaca-kaca Ara menatap pada Calvin yang masih berekspresi datar. Ara dengan segala kecintaannya pada pantai, membuat gadis itu terlalu enggan untuk meninggalkan pantai. Apa lagi, sebentar lagi adalah waktunya bagi matahari untuk tenggelam di peraduannya. Membuat Ara semakin enggan untuk melewatkan fenomena alam yang sangat ditunggu-tunggu olehnya. "Dad.." tak menyerah, Ara kembali menarik-narik ujung kemeja Calvin hingga keluar dari celananya. "Hmm.." mendengarnya membuat Ara berteriak senang dan dengan spontan melompat te arah Calvin sambil memeluk lehernya erat, meskipun hal itu harus dilakukan Ara dengan menjinjitkan ujung kakinya gar bisa memeluk tubuh jakung Calvin yang menurutnya terlalu tinggi. Atau memang tubuh gadis itu yang terlalu mungil. Ara kembali memeluk lengan Calvin agar lebih mendekat ke arah bibir pantai, meski dengan sedikit enggan. Hingga akhirnya kaki telanjang pria itu dapat merasakan deburan ombak kecil yang mengenai kakinya, membuat celana bagian bawahnya basah karena ia tidak menggulungnya. "Dad, harusnya kau menggulung celanamu agar tidak basah." Ketika Ara hendak berjongkok untuk menggulung celana panjang yang dikenakan Calvin, pria itu dengan segera menghentikan Ara dan menariknya agar kembali berdiri. "Biarkan saja." "Tapi Dad.." tak mau mendengar penolakan Ara, Calvin segera merangkul pundak gadis mungil itu untuk ikut menyaksikan sunset di ujung pantai. Ara kembali terpukau untuk yang kesekian kalinya, ia tidak akan pernah melupakan bagaimana sunset terlihat begitu indah untuk dipandang. Suatu keajaiban dunia kalau Ara boleh menggambarkannya. Ara memeluk perut Calvin dengan kedua tangan mungilnya, masih dengan tatapan matanya yang terfokus kagum pada proses bagaimana ketika matahari perlahan mulai tenggelam di ujung pantai. Sementara Calvin yang melihat raut berbinar dari Ara, hanya bisa melengkungkan sedikit bibirnya ke atas. Meskipun tak ada perbedaan yang berarti dan masih terlihat datar. Pria itu mencium kening Ara dengan sayang, kembali mempererat rangkulan tangannya pada sosok Ara yang ada di sampingnya. __ Hari sudah beranjak malam, Ara kini tengah berada di toilet yang ada di vila yang berada ak jauh dari pantai. Gadis itu kini tampak mengusap cairan merah yang keluar dari hidungnya menggunakan air dari wastefel. Ia sengaja beralibi pada Calvin untuk pergi ke toilet karena kebelet pipis, meski kenyataanya gadis itu hanya tidak ingin membuat Calvin merasa cemas jika mendapati Ara kembali mimisan seperti ini. Setelah beberapa kali menengadahkan kepalanya ke atas agar darah tidak lagi keluar dari hidungnya, kini Ara kembali mengambil tisu dan berjalan menuju meja makan yang berada di vila tersebut. Setelah selesai dengan urusannya di toilet, Ara kembali menghampiri Calvin dengan senyuman lebar seolah tidak pernah terjadi apapun pada dirinya. Ketika Ara duduk, rupanya pesanan mereka sudah datang. Calvin memang selalu tau apa yang menjadi makanan favoritnya. Dengan lahap Ara memakan makanan seafood yang sangat digemarinya, bahkan mukanya sampai belepotan layaknya anak kecil karena gadis itu makan tanpa ada rasa gengsi di depan Calvin. Gadis itu terlalu polos, selalu tampil dengan apa adanya. Tidak pandang bulu dalam hal berteman, namun kendalanya dia akan selalu possesif pada siapapun wanita yang berusaha mendekatinya. Calvin mengambil tisu untuk mengelap bibir Ara yang belepotan, sudah menjadi kebiasaannya semenjak gadis itu masih kecil. "Dad, apa setelah ini kita langsung pulang?" Calvin hanya mengangguk sebagai jawaban, dia tidak mungkin mengajak Ara menginap di tempat ini. Tidak, karena dia tau itu akan buruk untuknya. Dia akan menjaga Ara dengan segala kemampuannya, justru yang dia takuti adalah kalau dia sampai berbuat yang tidak-tidak pada gadis itu. Tentu Calvin tidak akan pernah bisa memaafkan dirinya sendiri jika hal itu sampai terjadi. Setelah selesai dengan makan malam mereka, kini Ara dan Calvin berjalan menuju tempat parkir dimana pria itu memarkirkan mobilnya. Udara malam yang terasa menusuk kulit, membuat Ara berulang kali menggosokkan kedua tangannya untuk menetralisir hawa dingin yang menyergap tubuhnya. Padahal dia sudah berganti mengenakan celana panjang dan juga jaket, jangan lupakan scraf cokelat yang melingkari leher jenjangnya. Siapa lagi yang menyiapkan semua pakaian gantinya jika buka Calvin, Ara tau kalau Calvin akan selalu menjaganya. Melihat Ara yang merasa kedinginan meskipun gadis itu sudah memakai jaket tebal, membuat Calvin memegang kedua tangan Ara dengan kedua tangan besarnya. 'Hangat.' itu yang dirasakan Ara. Gadis itu tersenyum sekali lagi, kedua mata besar Ara menyipit masih dengan manatap Calvin hangat. "Aku sayang Daddy." mereka kini kembali melanjutkan perjalanan dengan saling merapatkan diri satu sama lain untuk berbagi kehangatan. Atau lebih tepatnya Ara yang lebih mendekatkan tubuhnya pada tubuh jakung Calvin yang berada di sampingnya. __ Dalam perjalanan pulang, Ara tampak tertidur pulas di samping kursi kemudi yang dikendrai Calvin. Pria itu membiarkannya, meski sering kali Calvin berusaha mencuri pandang pada Ara yang terlihat begitu damai dalam tidur lelapnya. Suara dengkuran halus dari napas gadis itu seolah menjadi melodi penenang yang membuat Calvin merasa nyaman berada di dalam mobilnya. Tak lama kemudian, deru suara mobil Calvin mulai memelan hingga pada saat pria itu menghentikan mobilnya di depan sebuah gerbang yang menjulang tinggi dengan kokohnya. Seorang satpam dengan pakaian serba hitam tampak bergegas membukakan pintu untuk Calvin masuk ke dalam rumah besar tersebut. Dengan pelan mobil Calvin melaju hingga sampai di depan kediaman Ara. Sesaat, Calvin terdiam memandangi wajah damai gadisnya. Tatapannya datar, namun mengandung kehangatan yang hanya ia tujukan pada gadis di hadapannya kini. Perlahan Calvin mendekat, mengecup sekilas bibir merah merona milik Ara yang masih tertidur lelap. Calvin tentu tidak akan pernah berani melakukannya pada Ara, ketika gadis itu terjaga. Karena dia tidak ingin kelepasan. Apa lagi dia tau dengan jelas bahwa Ara tidak akan pernah menolaknya, Calvin tidak akan pernah membiarkan jiwa primitifnya sampai menyakiti gadis ini. Dia akan tetap kukuh dengan pendiriannya, paling tidak sampai tiba pada waktunya. Yang jelas Calvin tau kalau masa depan gadis ini masih panjang, dia tidak akan menjadi penghalang atau mempersulit Ara dalam masih mimpi dan cita-citanya, meski hal itu cukup menyakiti dirinya sendiri secara tidak langsung. Karena dia kembali harus menunggu. Calvin keluar dari kemudi mobilnya dan berjalan memutar untuk membawa tubuh mungil Ara dalam gendongannya. Ia dengan pelan melepaskan seatbelt yang melingkari badannya, lalu melingkarkan kedua tangan mungil Ara pada lehernya sendiri. Seolah tanpa beban Calvin mengangkat tubuh gadis itu dalam gendongannya, tubuh Ara terlalu ringan menurut Calvin. Padahal makan gadis itu tidak begitu sedikit, dia cukup lahap dalam makan dan juga tidak pilih-pilih makanan. Saat masuk ke dalam rumah, dia disambut oleh Tuan Reno -Ayah dari Ara- yang tampak dengan sengaja menunggu kedatangannya. Calvin hanya menatap sekilas sebagai izin bahwa ia akan membawa Ara masuk ke dalam kamar gadis itu. Ayah Ara hanya mengangguk mengiyakan isyarat tak langsung dari Calvin. Dia tidak perlu khawatir jika putrinya ada pada Calvin, keluarga Ara sangat mempercayai Calvin untuk menjaga putrinya. Calvin menaiki satu persatu anak tangga yang menghubungkannya ke lantai dua dimana kamar Ara berada. Pria itu membuka kamar Ara yang dihiasi aksesoris berwarna biru muda, dia meletakkan tubuh mungil Ara dan menyelimutinya hingga sampai pada leher gadis itu. Tak lupa sebelumnya Calvin juga sudah melepaskan sepatu yang membalut kaki Ara agar gadis itu merasa nyaman dalam tidurnya. Calvin juga turut melepaskan jaket dan scraf yang dipakai Ara. Sekali lagi, Calvin mencium bibir dan kening Ara pelan sebelum pergi keluar dari kamar bernuansa serba biru muda itu. Tak lama kemudian setelah kamar tertutup rapat, Ara membuka kedua matanya pelan. Gadis itu bangun terduduk, merasakan bahwa hidungnya terasa menghangat. Ia memegangi hidungnya sambil menengadah ke atas, lalu segera bergegas ke kamar mandinya untuk membasuh wajahnya. Cairan merah kembali menghiasi telapak tangan pucat Ara, ia tau bahwa ini sudah sering dialaminya dalam diam. Dia tidak bisa terus terusan seperti ini, Ara berpikir bahwa dia harus bertindak tegas. Sekali lagi dia mengamati pantulan wajahnya di depan cermin. Wajahnya tampak terlihat pucat dari biasanya, karena memang ia tidak memakai apapun. Tanpa bisa ditahannya setitik air mata menetes melewati pipinya yang putih bersih, gadis itu tidak bisa berbuat apa-apa.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD