3. Makan Malam

1330 Words
Senyum manis pada akhirnya muncul di bibir ranum milik Ara, saat Calvin mengatakan hal yang sangat dinanti-nantikannya. Kedua matanya masih berkaca-kaca menahan rasa sesak, rasa yang merupakan perpaduan antara senang, bahagia, dan rasa sedih yang menjadi satu. Tak ingin lagi membuang-buang waktu, segera saja Ara berjalan ke arah Calvin untuk memeluk pria jakung itu erat. "Ayo besok kita menikah," "Ara.." Ayahnya yang sedari tadi menonton kelakuan anak dan calon menantunya itu hanya bisa mengelus dadanya pelan. Kelakuan putrinya kali ini memang benar-benar di luar prediksi. "Iya Pa, Ara bercanda kok. Minggu depan aja gakpapa nikahnya." dengan senyuman lebar yang dibuat tanpa dosa sama sekali, Ara menatap pada Ayahnya yang hanya bisa menghela napas pelan. "Calvin, Om serahkan Ara sama kamu. Jangan pernah membuat putri Om menangis, atau kamu akan tau akibatnya." Calvin yang mendengar wejangan dari calon Ayah mertuanya hanya bisa mengangguk pelan dengan ekspresi muka seperti biasanya, tanpa riak yang menurut Ara justru terlalu kaku. Tapi Ara masih tetap sayang meskipun begitu. "Om saya ingin berbicara berdua dengan Ara." Permintaan izin Calvin hanya dibalas dengan anggukan pelan dari Tuan Reno yang memberikan ruang privasi bagi kedua sejoli ini untuk berbicara. Dengan pelan Calvin menggenggam pergelangan tangan Ara ke arah taman belakang pekarangan rumah gadis itu. "Apa ada yang kamu sembunyikan Ara?" Spontan Ara menundukkan wajahnya dengan kepala yang menggeleng pelan, ia tak sanggup menatap kedua mata Calvin yang kali ini tengah menatapnya dengan begitu intens. Namun lelaki tersebut tak gentar, ia kini mendongakkan dagu gadis itu agar menatapnya. Ibu jari dan telunjuk tangannya yang besar kini berada di dagu Ara, dengan pelan membuat gadis itu mau tak mau harus menatap Calvin yang mengintimidasinya. "Emangnya Daddy gak mau nikah sama aku, Daddy keberatan sama permintaanku?" Ara yang memang ingin menghindari tatapan mata Calvin, kini hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain. Kedua pelupuk matanya telah berkaca-kaca karena perpaduan rasa sesak yang menghimpit dadanya secara perlahan. Mendengar getar suara Ara, membuat Calvin tak tega untuk terus menatap Ara dengan pandangan menyelidik. Mana mungkin dia bisa melihat gadis yang dicintainya dalam kondisi rapuh seperti saat ini, perasaannya terasa tercubit oleh sesuatu tak kasat mata. "Sudah, jangan menangis lagi." "Daddy jahat..," dengan mengerjap-ngerjapkan matanya yang berair, kini Ara hanya bisa pasrah ketika lengan kekar Calvin tengah melingkupi tubuhnya dengan hangat. "Pertanyaan Daddy seolah-olah emang Daddy terpaksa nikahin Ara, kalau emang Daddy gak mau nikahin Ara, mungkin Ara bisa menikah sama pria la__" "Mph.." belum sempat Ara melanjutkan perkataannya, ketika bibirnya telah dipagut dengan mesra oleh Calvin. Sungguh pria itu sangat benci ketika Ara ada pikiran akan bersama dengan pria lain, apalagi sampai menggantikan posisinya di samping Ara. Calvin, tidak akan rela. Sampai matipun, dia tidak akan sudi. "Aku nggak suka kamu ngomong gitu lagi." "Kan kakak duluan yang mulai..." "Tidak ada tapi-tapian!" "Ish arogan," meski dengan nada mengomel, pada nyatanya Ara tetap saja masih menempel manja pada Calvin. Gadis itu seolah menikmati detik demi detik waktu yang dimilikinya bersama Calvin. "Ara mau nikah secepatnya sama kakak." Calvin hanya diam, ia semakin mempererat pelukan Ara yang kini terasa berbeda. Apalagi jika gadis itu sudah menyebut dirinya dengan panggilan 'kakak', sudah jelas kalau ada sesuatu yang tidak beres disini, dan Calvin akan mencari tahu hal itu bagaimanapun caranya. Setelah beberapa lama mereka berpelukan, dengan Ara yang menyesapi aroma musk yang melingkupi tubuh Calvin. Sementara Calvin masih dengan pemikirannya yang menerka-nerka hal apa yang tengah disembunyikan Ara darinya. Bagi Calvin, permintaan mendesak Ara yang ingin segera menikah dengannya seperti suatu hal yang membuat perasaannya tidak tenang. Seolah ada bom waktu yang tengah disiapkan oleh Ara, tapi sialnya dia tidak tau apa yang tengah ia takutkan sekarang. "Ayo masuk Ara, udara dingin tidak baik untukmu." Bukannya menurut, kini Ara malah mendongak dan mengalungkan tangannya pada leher Calvin. Gadis itu kini menatap mata tajam Calvin dengan tatapan mata jenihnya. Pupil matanya membesar, yang menandakan ia tengah memfokuskan dirinya seutuhnya pada pria di hadapannya. Hingga perlahan dengan sedikit menjinjitkan kakinya, Ara semakin memperpendek jarak di antara mereka. Calvin yang mengerti hal tersebut seolah ikut terpana akan pandangan memikat Ara. Ia dengan spontan ikut menundukkan dirinya hingga bibir gadis itu kini dengan sukses menempel pada bibirnya. Lembut, kini Ara memejamkan kedua matanya. Meresapi rasa hangat yang dihantarkan oleh kedua bibir yang tengah menyatu. Perlahan, kini Ara mulai berani menggerakkan bibirnya pelan pada bibir Calvin. Pria tersebut awalnya hanya diam, sebelum kemudian ia ikut terhanyut dalam permainan bibir Ara yang seakan menjadi candu bagi Calvin. Tangan Calvin tak tinggal diam, ia kini mengarahkan tangannya untuk memegang pinggang gadis itu dan sebelah tangan satunya yang berada di tengkuk Ara. Ciuman tersebut semakin intens, dengan Ara yang perlahan mulai kehabisan napas karenanya. Kini Calvin kembali menetralkan napasnya, memejamkan mata saat jiwa primitifnya seolah ingin keluar tiap kali ia melakukan kontak fisik yang intens dengan Ara. "Ayo masuk." Ara yang merasa kakinya terasa lemas karena aksi ciuman intens tadi, kini hanya bisa menyandarkan kepalanya pada d**a bidang Calvin. Kontak fisik mereka selama ini memang hanya sebatas ciuman dan pelukan. Calvin selalu membatasi dirinya, dia tidak ingin merusak Ara. Karena dia merasa akan menjadi b******n paling bodoh jika berani merusak seseorang yang sangat berarti dalam hidupnya. Lagi-lagi kini Calvin berinisiatif menggendong Ara hingga mereka kembali memasuki ruang tamu. Ayah Ara yang melihat betapa Ara sangat menja pada Calvin, hanya bisa menggelengkan kepalanya pelan. Tidak ingin menggangu kebersamaan mereka, Ayah Ara pergi dari ruang tamu ke kamarnya sendiri. Dia tidak akan mempermasalahkan jika Ara bersama dengan Calvin, karena memang dia tau pasti kalau pria itu terlalu menyayangi putrinya, bahkan melebihi dirinya sendiri sebagai seorang Ayah. Calvin mendudukkan Ara di sofa ruang tamu, mereka kini hanya duduk diam dengan Ara yang menyandarkan kepalanya pada lengan pria itu. Kedua tangan Ara tak mau lepas memeluk perut Calvin erat. Karena baginya, kesempatan ini tidak akan datang untuk yang kedua kalinya. Selagi ia masih memiliki waktu untuk bersama dengan Calvin, maka ia akan memanfaatkan waktunya sebaik mungkin. Membuat kebersamaan mereka lebih berarti dan tak terlupakan. "Apa Daddy ingin memiliki anak denganku nanti kalau kita sudah menikah?" entah apa yang ia pikirkan, tiba-tiba pertanyaan itu meluncur dengan mulus dari bibir Ara. "Kenapa bertanya seperti itu?" Ara hanya menggeleng pelan sebagai jawaban, kembali memeluk Calvin erat. "Hanya ingin bertanya, salahkah?" mendongakkan kepala pada Calvin yang kini tengah menatapnya, membuat pria itu mengusap pelan puncak kepala Ara. "Tuntu aku ingin, tapi aku tidak akan memaksa." Ara yang mendengar perkataan Calvin hanya bisa tersenyum manis, kembali menenggelamkan wajahnya pada d**a bidang Calvin. Meski pada kenyataannya ia kembali harus menahan perih. Rasa sesak di dadanya membuat Ara enggan kembali menatap pria itu. Setitik air mata tanpa bisa dikontrol menetes dari pelupuk matanya, Ara dengan segera mengusapnya dan berpura-pura menguap agar Calvin tidak curiga padanya. "Daddy, ngantuk..." "Kalau begitu tidur," dengan pelan Ara mengangguk, sebelum pergi meninggalkan Calvin dengan sebuah kecupan ringan di pipi. Ara berjalan dengan pelan menaiki anak tangga ke arah kamarnya, sementara Calvin masih terus menatap Ara dari ruang tamu sampai gadis itu memasuki kamar. ___ Seusai menutup pintu, Ara dengan segera mengunci kamarnya dan menyandarkan dirinya pada pintu tersebut. Cairan bening kini tak bisa lagi ia tahan, gadis itu menutup mulutnya untuk meredam suara isak tangis yang mungkin akan keluar. Dadanya terasa begitu sesak, ia takut kalau nantinya dia akan mengecewakan pria itu. Tapi Ara juga tidak ingin kehilangan Calvin, apalagi jika harus melepaskan pria itu bersama dengan wanita lain. Tubuhnya perlahan merosot duduk ke bawah seiring dengan suara isak tangis pelan yang melingkupi kamarnya. Gadis itu menelungkupkan wajahnya pada kedua kakinya yang tertekuk, aroma amis dan rasa hangat lagi-lagi dapat dirasakannya di area hidungnya. Ara menyeka hidungnya, dan kembali mendapati cairan merah kental memenuhi hidung dan tangannya. Dengan segera gadis itu mencari tisu untuk menghentikan darah yang keluar dari hidungnya dan menyumpalnya. Lalu dengan sedikit tergesa ia mencari obat yang diberikan oleh dokter, karena ia telah terlambat untuk meminum obatnya. Air mata kembali meleleh, entah sampai kapan ia sanggup menutupi semua ini dari keluarganya. Bahkan Ara tak bisa membayangkan, apa yang akan terjadi ke depannya jika sampai kebohongannya terbongkar. To be Continue...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD