Chapter 1

990 Words
"Bunda Mimi. Saya sudah selesai beberes, boleh pulang?" tanya Kamini seraya meletakkan mangkuk terakhir cuciannya di dapur. Almira membalikkan badan seraya menyerahkan bungkusan untuk di bawa pulang oleh Kamini. "Boleh dong, ini buat makan malam sama Abah, ya Nak," jawab Almira seraya mengusap puncak kepala Kamini dengan rasa sayang. Almira menyayangi gadis ini seperti putrinya sendiri. Maklum kedua anak kembarnya sekolah di luar negeri, jadi dengan adanya Kamini yang membantunya sekarang di rumah perkebunan menjadi salah seorang ART sedikit memberi hiburan dihatinya. Kamini menerima pemberian Almira dengan suka cita. Ia selalu senang dibelai dengan penuh kasih sayang oleh Almira dia yang seorang anak piatu sangat rindu belaian kasih seorang ibu, terlebih saat ini ayahnya sedang sakit. "Oh ya Nak, kamu nggak pingin gitu bantu di perkebunan? Kamu jago lho," ajak Almira. "Untuk saat ini mungkin belum dulu Nda, kasihan Abah. Sebisanya Ami deh Bun pegang kerjaan," sahut Kamini. "Ya udah deh kalau gitu," jawab Almira. Davka masuk ke dapur menatap kedua wanita di depannya dan bertanya, "Lho, Nak kamu masih di sini?" "Iya Yah," jawab Almira. "Di rumahmu banyak kendaraan lho. Sepertinya ada tamu, keluarga Bibimu juga ada," terang Davka. Kamini melongo menatap Davka ia sama sekali tidak tahu menahu soal akan kedatangan tamu. "Tamu dari mana ya, Yah?" Pertanyaan lirih yang sepertinya ia tujukan untuk dirinya sendiri dari pada untuk ditanyakan kepada orang lain. "Ayah nggak tahu pasti sih. Tapi sepertinya dari kota Nak. Ayah buru-buru tadi udah lapar banget." Davka meringis setelah berkata begitu. Kamini tersenyum simpul pada pria tampan yang sudah ia anggap seperti ayahnya sendiri itu. "Iya deh Ami pulang sekarang ya." Setelah mengucapkan salam dan dibalas oleh keduanya iapun berlalu. *** Kamini mengayuh sepedanya memasuki halaman rumahnya dengan kening berkerut. Benar yang dikatakan Ayah Davka ada 2 mobil bagus banget seperti punya Ayah parkir di depan rumah. Siapa mereka ya? Batinnya. Ia kemudian memarkir sepedanya di sebelah bale yang terletak di samping rumah. Kemudian berjalan memasuki rumah lewat pintu samping dan sayup-sayup ia mendengar suara penghulu mengatakan sesuatu kemudian diikuti suara bariton seorang pria yang tidak ia kenal. "Saya terima nikah dan kawinnya Kamini Citra Kirana binti Sudarwanto dengan mas kawin tersebut dibayar tunai." "Bagaimana bapak ibu semuanya sah?" "SAH!!" jawab semua orang yang berada di ruang tamu rumah ayahnya. "Abah, Bibi ada-" seru Kamini terpotong saat sang bibi kemudian mendorong tubuhnya masuk ke arah dapur. Tetapi sebelumnya ia sempat menatap sang pria yang tadi mengucap ijab kabul di depan sang ayah, ada juga wali hakim serta penghulu dan ia sempat melirik seorang wanita cantik ia tahu wanita itu bernama Yolanda Suparjo, wanita yang sering membeli kue buatannya. Setelah berada di dapur ia segera menanyakan apa yang sedang terjadi. "Bi, ada apa ini?" tanya Kamini dengan keheranan. "Kamu teh udah nikah sekarang. Itu tadi suamimu," terang Mina sembari tersenyum bahagia. "Apa! Kok bisa sih? Ami nggak kenal lho sama itu bapak-bapak," sahut Kamini, seraya mengerutkan dahinya. "Hush ..., bukan bapak-bapak tauk. Orang keren begitu namanya Dirandra Ekadanta tahukan itu orang kaya, suaminya ibu Yolanda Suparjo," terang Mina lagi. "Nah itu dia udah nikah, kenapa nikahin Ami?" Kamini sungguh bingung dengan situasi ini. Kepalanya tak berhenti berkali-kali menoleh ke arah ruang tamu. Ia sempat bersitatap dengan Yolanda yang tersenyum sangat cantik kepadanya. "Dengar Ami sayang, gadis baik hati. Kamu tahukan Abahmu perlu biaya banyak untuk operasi kankernya. Nah Ibu Yolanda setuju bayar semuanya asalkan kamu mau dimadu dan memberi mereka keturunan. Nanti setelah anakmu lahir, kamu bebas deh mau ngapain nggak terikat lagi dengan mereka begitu," tukas Mina. Kamini sedih, ia merasa dunia seakan bermusuhan dengannya sungguh dilema yang tak ada habisnya. Disatu sisi ia memang membutuhkan biaya untuk sang ayah sedangkan disisi lain ia harus merelakan diri dimadu dan menyerahkan buah hatinya nanti. Sanggupkah ia?Andai saja ia cukup memiliki uang saat ini untuk biaya sang ayah berobat, dikarenakan usia sang ayah yang renta sehingga tindakan pengobatan tidak bisa ditunda lagi. Sedangkan modal usahanya tidak mencukupi untuk menutup semuanya. Apa lacur semua sudah terlanjur terjadi, kecewapun tak ada gunanya lagi. Saat ia menunduk menatap lantai yang berada didepannya. Suara bariton yang tadi terdengar mengucap ijab kabul beserta sosoknya sudah berdiri di sebelahnya. "Saat ini kamu sudah resmi menjadi istri saya jadi tidak ada kesempatanmu untuk menolak. Saya tahu sekali kamu sudah berkali-kali menolak bujukan istriku. Kita hanya menikah siri dan setelah kamu memberikanku anak kamu bebas pergi. Saya tidak akan mencampuri urusanmu," tegas Dirandra tanpa basa-basi begitu berdiri berhadapan dengan Kamini. Kamini memandang nanar wajah Dirandra yang sedatar tembok balai desa, tanpa mimik muka yang berarti cenderung dingin malah. Kamini sadar ia sama sekali sudah tidak bisa menolak lagi. Ia teringat beberapa kali Yolanda memang memintanya untuk menjadi madunya. Ia sudah pasrah kini entah bagaimana kedepannya yang terpenting sekarang ia bisa membiayai sang ayah untuk berobat. Yolanda datang menghampiri dan memeluk bahunya seraya tersenyum. "Sekarang kamu udah jadi maduku, siap-siap gih. Selesaikan prosesi kemudian beresin bajumu, kita kembali ke rumah," ujar Yolanda. "Tapi Abah gimana?" tanya Kamini khawatir dengan sang ayah. "Udah kamu teh tenang aja biar bibi yang urus Abah yah? Udah sana cepet siap-siap," sela Mina. Kamini hanya menurut dan memasuki kamarnya yang kebetulan memang berada tepat di samping dapur. Setelahnya ia mencium tangan sang ayah dan berpamitan ia jelas tak bisa membendung tangisan harunya. Sungguh berat hatinya meninggalkan sang ayah. Sang ayah memeluknya erat dan mencium keningnya. "Saatnya kamu berbahagia ya Nak," pesan sang ayah Kamini terharu dan merasa dadanya berat. Sang ayah memang sungguh sangat menyayanginya. Kamini berjalan bersisian dengan Yolanda dan keluarga Dirandra, sebelum ia membuka pintu mobil terdengar beberapa perkataan tetangganya. "Nah gitu dong tau diri kalau anak pungut itu," sindir salah seorang tetangga. "Syukur ada orang kaya mau jadikan istri kedua yah. Padahal Ami mah nggak jelas anak siapa. Untung teh Abah nemu dia di pinggir empang," kata yang lain. "Eh bukan empang tau tapi di emperan toko," sahut yang lainnya juga. Kamini mengerutkan kening tak paham apa yang sebenernya terjadi tetapi ia tak punya banyak waktu untuk merespon ucapan tetangganya itu karena punggungnya sudah didorong oleh Yolanda untuk masuk ke mobil mewah itu. Kehidupannya yang awalnya tenang dan sederhana berubah sekarang, dengan menguatkan hati ia menerima kenyataan pahit ini. Orang yang kuat bukanlah yang selalu menang, tetapi ia yang selalu bisa bertahan dan bisa melalui kerasnya badai kehidupan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD