Part 14 - Mimpi

1026 Words
    Bekerja dalam rasa yang sulit untuk diterima. Mencinta dalam rasa yang tak bisa terucap dan menerima dengan rasa terpaksa. Hati Rana masih pilu dengan apa yang dialaminya. Setiap hari dia harus melihat orang yang dicintainya bermesraan dengan wanita lain. Rana pun harus mencoba untuk menepis segala bayangan wajah laki-laki yang amat disukainya. Semua terasa sangat sulit jika hati tak bisa mengerti sebuah kenyataan yang terjadi.     Pulang dari tempat bekerja, Rana tak banyak bicara. Sesampaianya di rumah dia segera membersihkan badan dan mengganti pakaian. Sore yang indah biasanya selalu dia gunakan untuk menatap senja. Memandang hamparan cakrawala penuh keindahan, serta pipit-pipit berterbangan dengan ramainya. Tapi kini dia hanya mengurung diri di dalam kamarnya. Tanpa apa pun yang dilakukan. Diam dan pandangan matanya kosong tak ada sedikit semangat untuk melakukan apa pun.     Si Mbah yang melihat keanehan pada cucunya hanya bisa diam tanpa bertanya apa-apa. Dia mencoba untuk menyajikan masakan yang disukai Rana, memasak nasi dan menggoreng tempe berbumbu kriuk. Tak lama sepiring nasi dengan lauk tempe telah menghiasi meja di dapur. Si Mbah yang sudah mengisi perutnya segera diambilnya dan diantarkan ke kamar Rana. Sedari pulang kerja si Mbah tak melihat Rana keluar dari kamarnya. Bergegas dengan langkah yang memang tak begitu cepat. Tangan kanan si Mbah terlihat membawa sepiring nasi sedang tangan kirinya segelas teh hangat siap untuk disuguhkan pada cucunya.    “Nduk, ayo makan dulu,” kata si Mbah Rana yang terbaring dengan guling dipeluknya. Tak sedikit pun dia menatap si Mbah yang telah bersusah payah membawakan makanan untuknya. Si Mbah tak putus asa, makanan dan minuman itu ditaruh di meja dekat ranjang tidur Rana. Lalu didekatinya cucunya itu. Mengusap lembut rambutnya dan dengan ucapan lembutnya menyuruh Rana untuk segera mengisi perutnya.     “Ayo, Nduk...makan dulu”      “Rana tidak lapar Mbah, Rana mau tidur dulu”      “Tapi perutmu harus diisi, Nduk”      “Taruh saja di atas meja, jika Rana lapar nanti pasti akan Rana makan” Si Mbah tak bisa membujuk lagi, Rana menutup wajahnya dengan selimut. Dengan perasaan kecewa si Mbah pun keluar dari kamar Rana dan segera menuju tikarnya yang telah siap menerima rebahan tubuhnya yang sudah renta. Sedangkan pikiran Rana masih tertuju pada wajah Rina yang memiliki kemiripan dengannya, begitu pun dengan rencana pernikahan mereka yang sangat mengganggu Rana. Jeritan pilu dalam d**a tak bisa terkuak dengan mudah. Rana mencoba menyembunyikan sakit yang dirasa.     Malam larut seiring dengan gelap yang semakin mencekam. Tak ada aktivitas apa pun. Semua anak manusia telah lelap. Hanya ada beberapa orang di pos ronda. Menjaga keamanan kampung. Rana pun tertidur, matanya terpejam akan tetapi mulutnya seperti tengah mengucapkan sesuatu. Rana bermimpi dengan mengucap kata-kata yang sulit untuk dicerna. Hingga pada akhirnya matanya terbuka dan peluh menghiasi wajahnya.     “Bagaimana aku bisa bermimpi seperti itu?” ucap Rana pelan Mencoba menenangkan dirinya. Mengambil segelas teh yang tadi dibuatkan si Mbah. Diminumnya segera. Perasaannya pun berubah sedikit lebih tenang. Lalu dia pun berpikir sangat keras dengan mimpi yang telah dialaminya. Rana berdiri dari ranjangnya. Dibukanya jendela dan angin berhembus lirih menusuk kulit. Rana pun kembali menutupnya. Dilihatnya jam dinding menunjukkan pukul 1 pagi. Rana sangat penasaran dengan mimpinya.     Berjuta pertanyaan menghimpun dalam otaknya. Rana masih memikirkan akan mimpinya. Hatinya seolah berkata untuk mengikuti apa yang ada dalam mimpinya itu. Rana membuka pintu kamarnya. Lalu dia berjalan keluar rumah seorang diri. Tak ada sedikit pun rasa takut. Rana berjalan dalam malam yang hitam. Berhiaskan lampu jalan berwarna kuning yang menerangi.      Seribu langkah telah dilalui. Suara jangkrik di sawah bersahutan, laksana musik khas pedesaan. Rana menatap ke depan. Dilihatnya sebuah kolam luas yang tadi ada dalam mimpinya. Kolam itu adalah peninggalan kerajaan Majapahit, orang-orang menyebutnya dengan kolam segaran. Rana ingat betul pelajaran sejarah tentang Majapahit, dia mengingat tentang nama Kolam Segaran yang berasal dari bahasa Jawa segara yang berarti laut. konon baru ditemukan pada tahun 1926 dengan panjang 375 meter dan lebar 175 meter, dibatasi dinding batu bata merah. Kolam ini sebagai hilir sistem air teknologi lokal untuk mengatasi kekeringan di musim kemarau dan banjir saat musim hujan pada masa kerajaan Majapahit.     Rana kembali mengingat, menurut cerita masyarakat sekitar Kolam Segaran sering dimanfaatkan para Maharaja Majapahit untuk bercengkerama dengan permaisuri dan para selir kedatonnya dan tempat penggemblengan para kesatria laut Majapahit. Selain itu para tamu setelah makan dengan piring dari emas, kemudian langsung melemparnya ke kolam. Hal itu untuk memberi kesan kepada para tamu  jika Majapahit adalah kerajaan yang kaya raya.     Kini  Rana telah berdiri tepat di depan kolam segaran. Angin sepoi berhembus dengan mesranya. Pandangan Rana fokus pada satu titik di tengah kolam. Lalu tanpa disadari dia pun terduduk kaku di atas batu merah. Tak ada kata yang diungkapkan. Rana hanya diam dan jauh memandang tanpa melakukan apa pun.     Suasana begitu hening. Tak ada sedikit pun keramaian yang menyapa. Hanya suara angin malam yang berhembus. Rana tak merasa dingin. Dia seperti tersihir. Ketakutan seolah hilang dari benaknya. Hampir setengah jam Rana masih menikmati kolam segaran pada dini hari. Matanya tiba-tiba  seperti tertiup debu, dan Rana pun terjatuh lalu tertidur tanpa sadar.     Mentari muncul di ufuk timur. Menandakan pagi telah datang. Rana spontan membuka matanya. Dirinya telah berada di depan kolam segaran. Bahkan dia melihat ada beberapa orang yang melihat keberadaannya. Mulutnya terbuka dan mengucapkan sebuah kalimat yang berbentuk mantra dengan sangat cepat dan jelas.     Rana segera pulang, akan tetapi pandangannya tak seperti biasa. Seperti ada yang mendorong setiap langkahnya hingga sampai di depan rumahnya. Si Mbah yang merasa kuatir melihat cucunya yang tidak ada di kamar. Melihat Rana berjalan kearah si Mbah membuat perasaan si Mbah lega karena mendapati sang cucu dalam keadaan baik-baik saja.     “Kamu dari mana,nduk?” tanya si Mbah     “Aku bermimpi bertemu dengan seorang nenek tua, dan dia mengajarkanku sebuah mantra. Aku dibawanya ke kolam segaran dan aku pun tak bisa menolaknya,” jawab Rana     “Apa maksudmu, nduk?” jelas si Mbah     “Aku hanya menuruti kata-kata nenek itu, dia bilang aku akan bahagia jika sering mengucapkan mantra itu”     “Mantra apa, nduk?” tukas si Mbah     “Nenek itu bilang tak boleh ada orang yang tahu selain aku,” jawab Rana Mendengar penjelasan Rana, si Mbah hanya diam dengan pikiran yang tak karuan. Dia tak mengerti apa yang tengah terjadi dengan Rana. Sedetik Rana berpaling dan segera masuk ke dalam kamarnya. Si Mbah masih saja berdiri dengan pikiran yang diselimuti banyak pertanyaan.              
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD