Part 1- Onde-onde

1078 Words
Fajar di ufuk timur terlihat malu, mbah Asih telah berkutat di dapurnya, menyiapkan segala keperluan membuat kue onde-onde, di pasar yang tak jauh dari rumahnya. Sebelum ayam berkokok si Mbah sudah membuka mata dari tidur malamnya, mulai mengaduk 1 kg tepung ketan, tepung maizena, kentang rebus, gula pasir dan memberikan garam secukupnya. Setelah semua tercampur si Mbah bersiap menyiapkan isian adonan kue onde-onde yang terbuat dari kacang hijau, santan, gula pasir dan wijen. Si Mbah mengolah semua dengan tangan handalnya. Mbah Asih, perempuan tua yang sudah berumur lebih dari setengah abad, tepatnya memasuki usia 60 tahun. Hidup sederhana, di rumahnya tak ada sedikit pun barang mewah, rumah yang berlantaikan tanah, dinding terbuat dari bambu, tak ada AC bahkan kipas angin sekali pun. Tak ada kursi di ruang tamu, hanya satu tempat tidur dengan meja bulat di sampingnya. Sedang di dapur itu hanya ada tungku untuk memasak, satu meja dan rak yang sudah lapuk, beberapa tumpukan kayu bakar tertata dengan rapi. Rumah sederhana itu berada di tengah ladang, jauh dari keramaian kota. Sejak suaminya meninggal 25 tahun yang lalu, kue onde-onde menjadi tumpuan baginya dalam menjalani hidup. Dalam benak si Mbah tak ada kata mengeluh, baginya hidup pas-pasan bukan berarti tak bisa makan, ayam yang tak punya akal saja bisa mencari makan, apalagi dia manusia, itulah yang selalu tertancap pada relung jiwanya. Semangat juang dipertontonkan pada orang yang kadang tak menghargai akan usahanya. Tapi bagi si Mbah semua tak berarti apa pun, hanya kebaikan diri yang mampu membawa si Mbah bertahan dalam pahitnya hidup karena kemiskinan. *** Di sebuah kamar berukuran 2x2 meter, terlihat seorang gadis yang masih membungkus dirinya pulas, menikmati pelukan mesra sang malam dengan berjuta kehangatan yang dirasa. Dia sama sekali tak mendengar apa pun yang telah dilakukan si Mbah di dapur, tetap terpejam dan masih terlelap, mimpinya seakan membuyarkan dunia, dialah Rana, cucu si mbah yang dirawat sejak masih belum mengerti apa pun tentang dunia. Tak lama sebelum sinar mentari memamerkan senyum yang merekah, si Mbah sudah siap dengan bahan dagangannya, berbekal semangat langkah seribu, dia pergi berjalan kaki menuju pasar, ramai dengan para pedagang. Suara ingar-bingar menyusuri seisi pasar, hiruk pikuk kendaraan pun berlalu-lalang, diaturnya dengan rapi dan tertib oleh tukang parkir dengan peluit merahnya. Rana, baru saja membuka matanya, segera mempersiapkan diri untuk menyusul si Mbah ke pasar. Dibukanya lemari kecil di dekat meja kamarnya, dia sedang memilih pakaian yang akan dikenakan, tak ada banyak isi di dalamnya, hanya beberapa helai yang menjadi penghias lemarinya, dengan hitungan detik kaos berwarna merah dengan rok hitam itu diraihnya. Segera dia lari tunggang langgang agar bisa cepat sampai di pasar. *** “Mbah, itu cucunya kok pintar sekali gak nyasar ke sini, padahal satu matanya kan juling” Suara itu membuyarkan konsentrasi Rana, yang baru duduk di kursi kayu berwarna coklat, si Mbah menyuruh Rana diam tanpa menggubris perkataan Joko, si penjual ayam potong yang berada di samping gerobak si Mbah. Laki-laki berbadan kurus itu selalu sinis dengan keberadaan Rana, baginya Rana adalah musibah, mata juling dan dihiasi tompel di dekat hidungnya, membuat Joko terasa ingin membuang wajah Rana jauh dari pandangannya. Menunduk diam, celoteh Joko menyelubungi rasa rendah diri yang menyelami hatinya. Dia hanya menatap adonan kue onde-onde itu dan tetap terfokus untuk membantu si Mbah melayani para pembeli. “Mbah...cucunya sudah waktunya kawin loh, tapi apa ada laki-laki yang mau sama si juling dengan tompel hitam kayak dia?” Suara Joko terus menggelegar dengan tawa menggumpal, Rana kesal, lalu dibantingnya sendok yang ada di mejanya, matanya melotot ke arah Joko, ingin rasanya menyumpal mulut sampah itu. Pandangan Rana tak lepas dari wajah Joko yang nyengir seperti tak merasa bersalah sedikit pun. Si mbah menenangkan dengan belai mesra tangannya. “uwes nduk....tenaaang” Kue onde-onde mbah Asih memang terkenal sangat enak, sekitar pukul 10 pagi semua sudah terjajakan dan tidak tersisa. Rana dan si Mbah bersiap untuk pulang, tapi Joko, si pemuda usil itu selalu membuat Rana naik darah. Setiap perkataannya seperti api berkobar tiada bisa dipadamkan, pemuda pecicilan itu tak beretika, kepada siapa pun yang terlihat aneh di mata Joko akan disindir habis-habisan seperti komentator di acara televisi, tidak terkecuali Rana dengan satu mata julingnya. “Tuhan masih memberi kita makan, nduk” kata si mbah. Mata Rana memandang si Mbah dengan segera, batinnya merasa ada sesuatu yang ingin terlontar, tapi dia tak mengerti tentang itu, sesuatu yang menggumpal terlalu dalam di benaknya. Si Mbah masih berkutat menghitung hasil berjualan kue onde-onde. Tak henti bibirnya bertahmid arif, senyum mengembang dalam wajah keriputnya, menjelma dalam sebuah asa, menghampiri dalam kata syukur tiada terukur. Rana masih tetap duduk di samping si Mbah tanpa melakukan apa pun, dia tetap memandang wajah si Mbah tanpa lepas. Beberapa uang koin itu sempat terjatuh dan Rana pun mengambilnya, si Mbah kelimpungan bila harus mencari kemana koin itu menggelinding. Lembaran uang kertas tertata rapi, lalu dimasukkannya ke dalam dompet kecil, si Mbah menyisakan sedikit untuk makan esok dan selebihnya kembali harus dibelanjakan untuk membuat adonan kue onde-onde. “Sampai kapan kita jualan onde-onde ini, Mbah?” “Sampai Tuhan memberikan kemampuan pada tubuh kita, Gusti Maha Kuasa, misal raga gak kuat, gak bakalan gawe onde-onde maneh, nduk” *** Rana melenggang pergi, tak dijawabnya apa yang dikatakan si Mbah padanya. Dipandangnya hamparan sawah dengan angin sepoi menembus kulit, berdiri di samping pintu dapur, kemudian kakinya maju beberapa langkah, memandang jauh ke arah gunung yang berdiri kokoh di ujung mata. Hatinya berbisik, Rana sedang merasakan sesuatu yang tak bisa dia katakan sepenuhnya pada si Mbah. Matanya berkunang-kunang, sedetik bola kristal itu pun seperti hujan yang menetes perlahan, mengalir di sela pipinya. “Tuhan, aku bosan bila harus berjualan onde-onde terus, kapan aku bisa menikmati hidup layak? kapan aku bisa makan enak tanpa harus bangun setiap pagi untuk pergi ke pasar?. Tuhan, kau mendengarkanku bukan?, berapa tahun kami berjualan onde-onde, tapi tak pernah Mbah bisa membelikan aku ayam, tak pernah juga Mbah bisa membelikan aku baju baru, setiap hari aku harus berhadapan dengan laki-laki yang terus menghinaku, adakah jalan lain selain berjualan onde-onde, Tuhan?, aku sungguh sangat bosan,” kata Rana. Rana mencoba berdiskusi dengan Tuhannya, lewat rumput yang bergoyang, melalui lambaian daun pisang yang menari, serta kepakan sayap burung yang terbang kesana-kemari. Rana terduduk kaku, masih saja dia menggerutu pada Tuhannya, sedang di belakangnya si Mbah berdiri di depan pintu, menyaksikan semua keluh kesah yang Rana katakan dari bibirnya. Si Mbah hanya diam, berharap agar Rana tak mengetahui keberadaan dirinya, lalu kembali masuk ke dalam rumah, hatinya sedikit tersayat. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD