chapter : 4

1319 Words
Sial. Agaknya itu kata yang cocok untuk Risa. Sudah terlambat bertemu Javier pula. "Aku tidak suka berada dalam lift yang sama dengan orang lain," ucap pria itu datar. Risa menelan ludah dan mengangguk. Begitu pintu lift tertutup Risa menghela nafas. Dia mengira akan langsung kena pecat. Tak butuh waktu lama untuknya. Dia segera masuk setelah lift disebelah terbuka. "Hampir Saja. Aku bertemu bos didepan." "Sepertinya bos juga baru datang. Aku dengar dari beberapa karyawan, katanya hari ini peringatan kematian adik bos." “Ohh,” Risa manggut-manggut. Jadi ini hari peringatan kematian adiknya. Apa dia baik karena itu? "Ris tolong ini di input ya." "Ya." ... Yang dilakukan Javier sejak lima menit lalu adalah berdiri dengan arah pandangan tertuju pada satu sosok yang kini jadi pusat perhatian. Ya, Risa. Wanita yang sudah dua kali menabraknya. Javier sempat berfikir, apa yang istimewa dari wanita itu? Membuat orang-orang mengelilinginya. Dia bahkan tidak sedikitpun merasa ada yang istimewa atau spesial darinya. Dia terlihat biasa. Hanya saja dia merasa tertarik pada wanita itu. Tanpa alasan yang jelas. ... Risa mengangguk beberapa kali. Dia sepertinya sedang bicara pada seseorang di telfon. “Siapa?” Tanya Hana. Risa menjelaskan kalau itu adalah penjaga Kayhan dan mengatakan kalau dia hanya sedang memeriksa keadaan anaknya itu. Deringan telepon membuat keduanya tersentak. "Bos memanggil. Ada apa ya?" Tanya Risa setelah selesai menerima panggilan. Hana mengendikkan bahunya. Risa diam mematung. Dua menit lalu Javier memanggilnya dan disinilah dia sekarang. Pria itu menarik nafas sebentar, kemudian mengetuk jemarinya di meja. Dipandanginya Risa. "Saya dengar kamu pegawai yang berprestasi." Risa mendengarkan dengan seksama. "Tapi saya tidak suka pegawai yang tidak mematuhi aturan,” kata Vier lagi. "Baiklah nona Risa, aku ada penawaran untukmu." Vier memberi jeda sebentar. Seolah sedang menyusun kata-kata yang akan mudah dimengerti pegawainya ini. "Aku akan beri kamu kesempatan untuk naik jabatan. Aku akan tingkatkan posisi kamu. Tapi dengan satu syarat," Vier menatap Risa. “Aku akan beri kamu kesempatan lima kali. Jika dalam satu bulan ini kamu tidak melanggar lima kali peraturan kantor, aku akan menaikkan jabatanmu. Tapi–" Vier menggantung kalimatnya. Dipandanginya Risa intens. Membuat empunya wajah jadi kikuk. "Jika kamu melanggarnya. Maka tidak perlu datang lagi kekantor. Bagaimana?" Risa terdiam. Penawaran macam apa itu? Tapi bukankah itu mudah? Hanya satu bulan. Lagipula dia bukanlah orang yang hobi melanggar aturan. Beberapa hari ini hanya terpaksa karena Kayhan sakit. Kalau peraturan lain dia sama sekali tak pernah mengganggunya. Tapi untuk apa Vier memberinya kesempatan seperti ini? Tapi akhirnya dia mengangguk karena tidak tau harus member respon apa. "Baiklah nona Risa. Selamat berjuang." Risa mengangguk dan berterimakasih. Lalu dia permisi meninggalkan ruangan Vier. "Ayo kita lihat. Apa kamu bisa bertahan? Aku rasa seminggu saja tidak." Vier mengambil ponselnya dan sibuk bicara entah dengan siapa. Selama perjalanan singkat menuju kubikelnya, Risa memikirkan tentang tawaran itu. Bukankah ini terlalu mudah untuk naik jabatan? Maksudnya bukannya dia mau berburuk sangka pada bos-nya itu. Tapi, untuk apa Vier melakukan itu? "Hei, bos bilang apa?" Risa duduk dikursinya sambil masih berfikir. Kemudian menceritakan apa yang dikatakan Vier. Hana bahkan berlonjak senang mendengarnya dan tidak lupa mengucapkan selamat. Tapi ekspresi wajah Risa membuat Hana mengerutkan keningnya. "Kenapa? Kamu tidak senang. Ayo ke kantin,” ucap Hana sebelum Risa menjawab. Wanita itu mengangguk. Hana manggut-manggut sambil mendengar cerita Risa. Tangannya yang memegang sendok dan garpu sibuk mengaduk bakso dimangkoknya agar kecap dan sausnya menyatu dengan kuah. Risa juga melakukan hal yang sama. Tapi yang membuat Risa tidak tenang adalah apa alasan Vier melakukan semua itu? Dia sama sekali tidak bisa menebaknya. “Sudahlah, positif thinking saja. Mungkin bos memang tahu kinerja kamu bagus.” Perkataan Hana membuat Risa menghela napas. Mungkin Hana benar. ... Vier menarik nafas dalam kemudian menghembuskannya perlahan. Cuaca dirumah mama terasa lebih sejuk hari ini. "Kenapa?" Tanya Diandra. "Apa?" "Wajahmu. Mama lihat kamu senyum-senyum sendiri." Javier mengendikkan bahu. "Apa kamu ke makam Sean tadi?" Tanya Diandra. "Tidak." Jawabnya santai. Sean adalah adik Javier atau lebih tepatnya kembaran Javier yang meninggal lima tahun lalu. Penyebabnya adalah karena kecelakaan mobil. Tapi tidak ada penjelasan lebih lanjut karena keluarga Gomez tidak membuka masalah itu pada umum. "Oh ya, Arkan membawa Melani menjenguk Mama waktu dirumah sakit." "Ya. Aku sudah mendengarnya." "Apa menurutmu dia benar-benar ada hubungan dengan Melani?" Tanya Diandra penuh harap. Pertanyaan Diandra membuat Javier menghela nafas. "Aku tidak tau," katanya. "Tapi jangan mengusiknya dengan rencana-rencana Mama. Jangan berniat melakukan apa yang mama lakukan padaku kepadanya.” Diandra mencibir. "Kamu mulai lagi melindunginya.” "Dia akan melakukan hal yang sama. Aku tau dia selalu membatalkan setiap rencana yang mama siapkan untukku." Diandra menghela nafas. Ya, Javier benar. Arkan memang selalu menggagalkan setiap rencana yang ia susun untuk Vier. Jika rencana yang disiapkannya diketahui oleh Arkan, jangan harap akan berhasil. Diandra tersenyum jika mengingat itu. Terkadang dia menyesal karenanya. Seharusnya dia punya tiga putra jika saja kecelakaan maut itu tidak pernah terjadi. "Berhentilah melakukan hal-hal yang tidak berguna. Mama masih muda. Aku juga baru 31 tahun. Untuk apa cepat-cepat menimang cucu?" kata Vier membuyarkan lamunan Diandra. "Mama kesepian Vier." Vier menghela nafas. Tidak begitu menanggapi ucapan Mamanya. “Mama dan Papa sering-seringlah ke makam Sean, agar dia tidak terlalu kesepian.” “Hm, jangan khawatir.” Diandra tersenyum. Dia tau, di balik sikap dinginnya, Javier masih sangat menyayangi Sean. "Vier. Sudah lama?"    "Pa,” sapa pria itu. Mahesa kemudian ikut duduk. "Papa dan Mama banyak-banyak istirahat dan seringlah liburan atau jalan-jalan. Sudah saatnya menikmati hidup. Hotel dan semuanya biar kami yang mengurusnya. Arkan bukan lagi anak kecil. Dan Rachel juga sudah seharusnya bertanggung jawab dan mengerti tidak msudah untuk hidup senang." Vier menatap ayah dan ibunya bergantian. "Arkan bahkan sudah hampir sepertimu Vier. Papa saja tidak tau sejak kapan dia bekerja sama dengan China." Mahesa geleng-geleng kepala. Vier tersenyum. Inilah yang diinginkanya. Karena dia sangat benci orang-orang yang mengatakan bahwa mereka berhasil karena uang orang tua. "Ini yang Vier inginkan. Biarkan Arkan berdiri diatas kakinya sendiri. Karena dia tidak butuh kita untuk mencari jati dirinya. Bahkan jika suatu saat dia berubah fikiran, Vier tidak akan melarangnya. Jadi Vier berharap Mama dan Papa juga melakukan hal yang sama." Mahesa dan Diandra manggut-manggut. "Nah Vier. Mama dan Papa sudah memenuhi keinginanmu. Kamu kapan akan memenuhi keinginan kami?" Tanya Diandra. Vier menghela nafas. Mulai lagi, batinya. Dia kemudian bangkit. "Vier pergi dulu. Istri Papa mulai lagi." "Kenapa cepat sekali?" Tanya Mahesa. Sementara Diandra merungut kesal. "Vier akan berangkat ke Jepang malam ini. Sebelumnya ada beberapa hal yang harus Vier urus." Diandra membulatkan matanya. Sudah hampir tiga jam dia dan Vier mengobrol disini. Tapi Vier sama sekali tidak mengatakan hal itu. "Kenapa kamu tidak memberitahu Mama?" protesnya. Javier tidak menanggapi. "Akan berapa lama kamu disana?" Tanya Mahesa. "Dua atau tiga hari. Untuk apa lama-lama disana?" Jika ada yang lebih menarik disini, ucapnya didalam hati. Tanpa disadari seulas senyum terukir disudut bibirnya. Mahesa manggut-manggut. "Kenapa kamu senyum?" Tanya Diandra. Vier menggeleng. "Kalau begitu Vier pergi dulu," ia tidak mengacuhkan pertanyaan Diandra. Wanita itu menghela nafas. "Bukankah anakmu luar biasa. Aku heran. Dimana anak-anakmu mendapatkan sifat itu? Aku merasa tidak pernah mengajarkannya," katanya. Mahesa ikut menggeleng. "Aku juga. Tapi baguslah. Tidak ada yang perlu dicemaskan. Itu tandanya mereka tumbuh lebih baik dari apa yang kita harapkan." Diandra mengangguk. "Bahkan kini aku tidak bisa lagi menyusun rencana untuk siapapun. Entah kapan aku akan dapat cucu," kesahnya. "Kenapa bicara seperti itu?" Ia memandangi suaminya. "Javier sudah mengancamku. Arkan selalu melindunginya. Kini, Javier juga akan melindungi Arkan. Bagaimana bisa mereka begitu kompak?" "Entahlah. Meski mereka anakku. Tak satupun aku bisa menebak sifatnya. Tapi yang jelas aku bangga pada mereka. Tidak ada satupun orang yang bisa memiliki anak seperti itu," ucap Mahesa dengan senyuman yang tak pernah hilang diwajahnya. "Mama jadi merindukan Sean," Diandra menatap Mahesa haru. "Javier menyuruh kita agar selalu mengunjungi Sean." "Setidaknya dia masih mengingatnya." Diandra mengangguk setuju. "Bicara soal itu, ada yang ingin aku tanya. Kenapa Rachel mau bertunangan dengan Daviandro?" Diandra mengendikkan bahu. "Mama juga tidak tau. Mereka semua punya begitu banyak rahasia." "Biarlah. Papa rasa apa yang dikatakan Vier ada benarnya. Sudah saatnya kita istirahat dan menikmati hidup. Bagaimana kalau kita jalan-jalan?" "Baiklah. Kemana?" "Bali. Minggu depan?" Diandra mengangguk. "Oke. Pesan saja tiket pesawat. Mama sedang ingin menikmati keramaian." Diandra mengembangkan tangannya. "Baiklah." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD