Memoriam VII: Tahta

1380 Words
Sesuai dugaan kami, tumor itu memang kembali. Tak hanya di tempat yang sama, tapi juga ada dua yang lain. Masih di dalam lambung juga, namun di sisi yang berbeda. Tak heran keadaan Mas Hasbi jauh lebih mengkhawatirkan dibanding saat itu.        Solusi dari Dokter Hanan, ada dua. Dilakukan pembedahan lagi untuk menghilangkan tumor itu. Dan juga ... dengan radio terapi.        Kami masih belum memutuskan untuk memilih solusi yang mana. Karena keduanya sama - sama memiliki risiko fatal.       Untuk sementara, Dokter Hanan akan tetap merawat Mas Hasbi sampai keadaannya lebih baik dari sekarang. Karena untuk melakukan dua pilihan yang ada,kondisi pasien harus baik. Percuma dilakukan pembedahan -- apalagi radio terapi -- jika keadaan tidak baik. Justru akan membahayakan keselamatan yang bersangkutan.      "Udah minta tolong Mas Choirul buat jemput Ayah sama Ibu?" tanyaku.        "Sudah." Wajah Mas Hasbi terlihat murung. Ia merasa tak enak karena terlalu sering merepotkan teman - temannya.       "Ayah sama Ibu udah sampek mana sekarang, Mas?" tanyaku lagi. Pertanyaan yang kuajukan tak hanya sekadar ingin tahu. Tapi juga untuk mengisi kekosongan. Dari tadi kami hanya diam, lelah karena belum juga mendapat solusi.        Kami menunggu Ayah dan Ibu sampai. Menunggu solusi dari mereka. Insyaa Allah, keputusan yang diambil orang tua akan lebih berkah dan diridhoi.       ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~        Sekarang.        Ibu baru saja masuk kamar. Aku tersenyum menatapnya melangkah ke mari. Ia lalu berbaring di sebelahku. "Ntar kalo udah mulai kerasa kenceng - kenceng bilang, lho, Dar!" katanya sembari mengelus perutku.        "Iya, Bu." Suaraku masih terdengar serak sehabis menangis cukup lama. Ibu sepertinya tahu, tapi tidak berkomentar apa - apa. Pasti takut jika aku kembali menangis. Dan ia sendiri takut akan ikut menangisi kepergian putranya lagi.        "Ayah sama Tahta nggak mau tidur di kamar sebelah. Katanya mau tidur di depan televisi aja," kata Ibu lagi. Tahta adalah adik sematawayang Mas Hasbi.       "Di depan televisi nggak ada kasurnya, Bu. Nanti badan Ayah sama Dek Tahta sakit semua."       "Biarin aja, deh. Salah mereka sendiri milih tidur di sana."       Aku akhirnya diam, tak lagi menanggapi. Sebenarnya aku tahu mengapa Ayah dan Tahta memutuskan tidur di depan televisi. Itu adalah kebiasaan mereka tiap kali main ke mari. Mereka selalu begadang nonton bola bertiga -- Ayah, Tahta, dan Mas Hasbi.       Ayah dan Tahta pasti ingin menikmati saat - saat terakhir di sini -- dengan kenangan mereka bersama Mas Hasbi -- sebelum kembali ke Bandung.        "Dar ...," panggil Ibu.       "Iya, Bu?"        Ibu menatapku dengan mata berkaca - kaca. "Setelah kamu melahirkan, kita balik aja ke Bandung, yuk!"       Mataku kembali memanas setelah mendengar ucapan Ibu. Hatiku rasanya sakit. Ibu baru saja menghapus air mataku yang jatuh menuruni pelipis.       "Kenapa, Dar?"        Aku masih bergeming. Setelah beberapa saat baru aku menggeleng. Ibu kembali menghapus air mataku.       "Kamu nggak mau balik ke Bandung?" tanya Ibu akhirnya.       "Maafin Dara, Bu."       "Tapi di sini nggak ada siapa - siapa, Dara. Nanti kalo ada apa - apa gimana? Apalagi kalo Haidar udah lahir. Pasti kerepotan banget."        Aku kembali menggeleng. "Ibu, bukannya Dara nggak mau. Tapi ... Dara emang nggak bisa pergi dari sini. Rumah ini memang rumah dinas. Tapi rumah ini sudah menjadi milik Mas Hasbi. Kami tinggal di sini sejak menikah, menghabiskan banyak waktu bersama di rumah ini, menghadapi banyak hal bersama pula di sini. Dan ... Mas Hasbi ... Mas Hasbi dimakamkan di sini. Jadi Dara ...."        "Ssstt ...." Ibu menghentikan bicaraku. "Maaf, ya, Sayang. Udah, Ibu nggak akan berusaha ngajak kamu balik ke Bandung lagi. Sebenernya Ibu udah bicarain hal ini sama Ayah. Kami hanya takut kamu merasa sendirian. Tapi sekarang Ibu sadar, dengan ngajak kamu pulang ke Bandung, sama artinya dengan kami bersikap egois. Padahal ada opsi lain agar kamu tidak sendiri. Mungkin nanti Ibu akan kirim Salwa ke sini, biar nemenin kamu." Salwa adalah salah satu sepupu Mas Hasbi.       "Makasih, Bu. Terima kasih!" Aku merengkuh tubuh Ibu. Tangisku benar - benar pecah dalam peluknya.       "Atau nanti kamu bisa meni - ...." Ibu tak melanjutkan kata - katanya.        Ibu terlihat terkejut dengan ucapannya sendiri. Dan meski ia telah berhenti bicara, aku sudah tahu apa yang akan dikatakannya.      Tidak. Aku tidak akan menikah lagi. Sesulit apa pun kehidupanku setelah ini, aku akan menghadapi semuanya dengan Haidar.       Aku benar - benar bergeming, tak memberi tanggapan apa pun pada Ibu. Aku merasa ... Ibu telah mencampakan aku dengan menyarankan untuk menikah lagi. Karena, dengan menikah lagi, aku tak akan ada hubungan dengan keluarga mereka. Mengingat aku hanya seorang menantu.       Hanya Haidar saja yang kelak akan memiliki hubungan dengan mereka.        Kemudian aku kembali menjadi seorang yang sebatang kara. Seorang wanita yang dibesarkan di panti asuhan, lalu dinikahi seorang lelaki nyaris sempurna yang begitu dicintai Allah hingga ia sangat cepat dipanggil, lalu aku kembali menjadi seseorang yang tak punya siapa - siapa.        Hanya Haidar. Hanya Haidar yang tersisa setelah ini.       "Maafin, Ibu, Nak. Ibu nggak bermaksud." Ibu menangis mengatakannya. "Bukan maksud Ibu untuk memutuskan hubungan keluarga sama kamu. Nggak, Sayang!"       Aku masih diam. Kali ini aku mengalihkan pandangan dari Ibu. Hatiku terlalu sakit, sampai aku tak mempedulikan kesopanan sama sekali. Aku tahu ini salah. Tapi sekali lagi, hatiku sangat sakit. Terlalu sakit hingga aku tak dapat mengontrol emosi.        "Sungguh, bukan begitu maksud Ibu, Sayang." Ibu berusaha meyakinkanku. "Beneran! Sebenarnya, selain berencana membawa kamu kembali ke Bandung, Ibu sama Ayah juga sudah merencanakan hal lain. Mungkin tidak dalam waktu dekat. Kami berencana mengatakannya ke kamu nanti, setelah Haidar cukup besar.        "Tapi karena tadi Ibu salah bicara dan Ibu nggak mau bikin kamu semakin salah paham, Ibu terpaksa mengatakannya sekarang. Ini demi kebaikan kamu, agar kita tetap menjadi keluarga, dan agar kamu nggak sendirian." Ibu terlihat sangat terbebani untuk mengatakannya. Sangat takut jika aku tak dapat menerima rencana mereka -- seperti tadi. "Ibu minta tolong dengerin baik - baik, ya, Sayang! Dan tolong mengerti, jangan salah paham dengan rencana kami ini." Ibu terisak hebat. "Kami ... kami ingin Tahta menikahi kamu."        Ya Allah, apa lagi ini? Ya Allah, kenapa hamba harus mendengar berita seperti ini hanya beberapa saat setelah suami hamba berpulang?        "Dara, Ibu tahu pasti ini sangat mengejutkan untuk kamu. Makanya kami berencana mengatakannya nanti. Tapi ... seperti yang Ibu jelaskan tadi, kami melakukannya karena kami menyayangi kamu. Kami harap, kamu mengerti."        Hal ini benar - benar mengejutkan hingga aku tak dapat bereaksi apa pun lagi. Aku bahkan telah berhenti menangis. Aku masih belum mau menatap Ibu.        Perutku diserang kontraksi hebat, sangat menyakitkan. Namun seakan tak kurasa karena hatiku terasa jauh lebih sakit sekarang.        Benar - benar sakit.       ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~         Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD