Memoriam IX: Ridwan Brothers

1509 Words
Per hari ini, tepat satu bulan setelah aku resmi menjadi istri seorang Muhammad Shaka Hasbi Ridwan. Ibu mertuaku masih bersikap sinis, namun itu tak menghalangi kebahagiaanku menjalani hari - hari sebagai seorang istri. Juga tak mengurangi semangatku untuk meraih hati Ibu mertuaku.        "Bu, biar apelnya aku bawain!" Aku mengadang Ibu yang terlihat kesulitan membawa satu nampan kecil berisi tiga cangkir kopi di tangan kanan, dan satu mangkuk besar berisi buah apel yang sudah dikupas di tangan kirinya.       "Nggak usah!" Nada bicara Ibu terdengar ketus.       Tapi aku tetap tersenyum. "Nggak apa - apa, Bu. Biar aku bawain." Aku segera mengambil mangkuk itu tanpa ragu. Salah satu usahaku mengambil hatinya. Mengabaikan raut Ibu yang terlihat kesal.       Kami menuju ke halaman belakang. Mas Hasbi, Tahta, dan Ayah sedang berada di sana. Akhir minggu seperti ini memang paling tepat digunakan untuk menikmati waktu berharga bersama keluarga.       Kulihat Mas Hasbi dan Tahta sedang bergantian adu juggling di tengah halaman belakang yang rata ditumbuhi rumput taman. Kalau sudah adu juggling begitu, Mas Hasbi pasti kalah telak dari Tahta. Bagaimana tidak?        Zaman sekolah dulu, Mas Hasbi mentok menjadi anggota OSIS. Ia tak pernah tergabung dalam ekstrakurikuler atletik. Berbeda dengan Tahta yang dulunya adalah kapten tim sepak bola di sekolah. Dua kakak beradik itu sangat mirip dalam rupa, namun minat mereka berbanding terbalik.        Ibu sepertinya masih kesal. Ia hanya meletakkan nampan di meja, lalu duduk di sebelah Ayah, tanpa mempersilakan suami dan kedua putranya untuk segera menikmati kopi buatannya.        "Ayah, Mas Hasbi, Dek Tahta ... ini kopi sama apelnya!" Akhirnya aku yang mengatakan.        "Makasih, Dara!" ucap Ayah. "Makasih istriku!" Ayah mengerling pada Ibu yang cemberut di sebelahnya.       Mas Hasbi dan Tahta berjalan beriringan menuju ke mari sembari tertawa. Mereka menertawai bagaimana Ayah menggoda Ibu yang sedang emosi. Mereka bertiga memang selalu seperti itu tiap kali Ibu ngambek seperti ini. Mereka sudah hafal betul dengan tabiat Ibu. Di lain sisi mereka juga mengakui kebaikan hati wanita itu. Ibu hanya perlu waktu lebih untuk menerima sesuatu -- atau seseorang yang baru -- termasuk diriku.       ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~        Beberapa saat yang lalu, kala usia Haidar masih 6 bulan di dalam perutku. Kondisi Mas Hasbi ... baik. Ya, seperti itu sudah termasuk baik dibanding biasanya. Ia bisa berjalan sendiri sampai di teras rumah kami.       Sejak sakit, yang berubah dari suamiku hanya sebatas fisiknya. Ia menjadi jauh lebih kurus, selalu tampak pucat, dan juga rambutnya sangat cepak. Ia dulu sempat botak saat rutin melakukan radio tetapi.       Tidak, bukan botak karena rambutnya rontok. Cerita dalam film atau novel selalu mengatakan kemoterapi dan radio terapi menyebabkan kebotakan. Tapi berdasarkan pengalaman kami tidak. Juga dari pasien kanker dan tumor lain yang kami temui di rumah sakit.       Ya, terapi itu memang membuat rambut rontok. Tapi tidak sampai botak.       Kebotakan disebabkan karena kami memang memutuskan untuk mencukur rambut Mas Hasbi sampai habis. Tujuannya, agar rambut yang rontok tidak tercecer di mana - mana, sehingga membuat kami harus sering membersihkannya.       Huum, hanya itu alasannya.       Setelah rangkaian radio terapi selesai, kami membiarkan rambut Mas Hasbi tumbuh lagi. Sekarang sudah cukup panjang. Sekitar dua senti mungkin.       Satu informasi yang menurutku cukup penting.       Suamiku tetap terlihat sangat tampan.       Suasana hati Mas Hasbi sedang baik. Karena sahabat sekaligus adik kesayangannya sedang ada di sini. Tahta mampir setelah perjalanan bisnis ke Bali. Mungkin ia akan tinggal selama beberapa hari. Sekalian membantuku menjaga Mas Hasbi.       Seperti biasa, tiap dua bersaudara itu bersama, mata dan telingaku selalu dimanjakan dengan pertengkaran kecil dari mereka yang terlihat menggemaskan di mataku. Uhm ... bukan pertengkaran, sih, sebenarnya. Memang seperti itu cara mereka berinteraksi, memperlihatkan keakraban, dan saling menunjukkan bahwa mereka saling menyayangi.       Tahta yang agak nyablak pada sang Aa. Dan Mas Hasbi yang dengan senang hati meladeninya.        "Agak kiri dikit!" seru Mas Hasbi.       Tahta segera menoleh, menatap kakaknya itu. Tahta sedang berada di bagian puncak tangga kayu, tepatnya di bawah susunan atap rumah yang bergeser, dan selalu bocor saat hujan. Mas Hasbi segera minta tolong pada Tahta sejak ia datang semalam. Mengingat ia tak mampu lagi melakukan hal - hal seperti itu sendiri. Dari pada membenarkan hal sekecil itu saja keluar uang dengan menyuruh tukang, lebih baik memanfaatkan Tahta, bukan?        "Gue ke sini niat temu kangen sama saudara, bukan buat jadi tukang!" Tahta cemberut maksimal setelah melakukannya.         "Halah, benerin dikit doang! Gitu kok katanya mau nyari istri." Mas Hasbi malah meledeknya.       "Heeh, mau nyari istri yang mirip Ibu sama Teh Dara," celetuk Tahta asal sambil terkikik.       Mas Hasbi ikut tertawa karenanya. "Mau gabungin sifat posesif dan judes dari Ibu sama sifat manja dan cengengnya si Dara maksud lo, Ta?" Mas Hasbi malah lanjut meledeknya.        "Anjir, kenapa lo malah gabungin bagian nyebelinnya, sih, A? Gabungin yang baik - baik, dong!"       "Habisnya lo lebih deserve dapet yang onoh!"       "Kampret lo, A!"       ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~       "Udah, Teteh tidur aja! Capek, kan, dari tadi belum istirahat sama sekali. Mumpung aku ada di sini." Tahta mengatakan hal itu sekali lagi.       Tapi aku masih enggan pergi tidur. Apa lagi keadaan Mas Hasbi sedang tidak begitu baik. Tak peduli di sini ada Tahta, aku tetap tidak rela pergi tidur, sementara suamiku kesakitan.       "Kenapa, Teh?" tanya Tahta segera, setelah melihatku mengernyit.       "Nggak, Dek. Nggak apa - apa," jawabku. Aku memang tidak apa - apa. Sudah biasa pinggangku super pegal, juga terkejut tiap kali Haidar tiba - tiba bergerak apalagi menendang.       "Lo aja yang tidur sono, Dek!" celetuk Mas Hasbi tiba - tiba. Suaranya hampir tak terdengar.       Aku dan Tahta tertawa seketika. Mas Hasbi tertidur lelap sejak ba'da Isya' awal. Eh, tiba - tiba ikut mimbrung obrolanku dengan Tahta.       "Ngapain bangun lo? Lo, tuh, tidur, Aa! Sono, tidur lagi!" Tahta malah mencak - mencak.       "Lo juga tidur, Ta. Ntar lo pulang tiba - tiba kurus, terus mata panda, nggak terurus, gue sama Dara yang kena semprot Ibu!"       "Sok - sokan nasihatin gue lo! Nggak tahu diri! Lemes begitu masih aja suka ngotot!"       "Sono keluar! Ganggu kebersamaan gue sama Dara!"  Suara Mas Hasbi masih lirih dan sangat parau.       "Ngomong aja susah, udah diem aj - ...." Ucapan Tahta terhenti saat Mas Hasbi tiba - tiba menutup mulutnya dengan telapak tangan.       Aku buru - buru bangkit dari posisi berbaringku. Untung lah, Tahta lebih cekatan dari aku. Ia segera mengambil baskom di bawah ranjang kami, mendekatkannya dengan Mas Hasbi.       Mas Hasbi segera muntah di baskom itu. Karena ia sudah muntah berkali - kali sejak tadi siang, dan juga belum ada makanan yang berhasil masuk -- karena selalu dimuntahkan kembali setelahnya -- jadi lah, yang keluar hanya cairan.       Cairan berwana gelap dan keruh. Campuran air, asam lambung, dan juga darah.       Dulu aku ketakutan, panik, dan tak tahu harus bagaimana setiap kali Mas Hasbi seperti ini. Tapi sekarang, meskipun aku masih takut, semua telah menjadi sebuah kebiasaan.        Selesai muntah, tenaga Mas Hasbi semakin terkuras. Suamiku terlihat tak berdaya. Napasnya tak beraturan. Tahta dengan telaten menggantikanku menghapus peluh Mas Hasbi.        Tanpa sadar, tiap kali Tahta main ke sini, aku selalu berharap bahwa ia akan cukup lama tinggal. Juga lebih sering mampir. Dengan adanya Tahta di sini, aku banyak terbantu. Aku juga merasa tak sendirian.       Sayangnya, hal itu akan sulit terealisasi. Mengingat jam terbang Tahta yang tinggi. Tapi adik kami itu -- Muhammad Tahta Sandika Ridwan -- tetap lah seseorang yang paling bisa kami andalkan.       ~~~~~ IMMDH - Sheilanda Khoirunnisa ~~~~~        Masya Allah Tabarakallah.        Halo semuanya. Ketemu lagi di cerita saya. Kali ini judulnya Murmuring. Mau tahu kenapa dikasih judul Murmuring? Ikutin terus ceritanya, ya.         Oh iya, selain cerita ini saya punya cerita lain -- yang semuanya sudah komplit -- di akun Dreame / Innovel saya ini.   Mereka adalah:          1. LUA Lounge [ Komplit ]                   2. Behind That Face [ Komplit ]              3. Nami And The Gangsters ( Sequel LUA Lounge ) [ Komplit ]              4. The Gone Twin [ Komplit ]         5. My Sick Partner [ Komplit ]        6. Tokyo Banana [ Komplit ]                7. Melahirkan Anak Setan [ Komplit ]         8. Youtuber Sekarat, Author Gila [ Komplit ]          9. Asmara Samara [ Komplit ]        10. Murmuring [ On - Going ]        11. Genderuwo Ganteng [ On - Going ]        12. Theatre Musical: Roll Egg [ On - Going ]        13. In Memoriam My Dear Husband [ On - Going ]        14. Billionaire Brothers Love Me [ On - Going ]         Jangan lupa pencet love tanda hati warna ungu.       Cukup 1 kali aja ya pencetnya.    Terima kasih. Selamat membaca.         -- T B C --          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD