Tak Sengaja Menabraknya

1069 Words
"Maaf, Dok. Saya enggak bisa. Terlalu beresiko. Saya belum mau menikah. Cari yang lain aja ya, Dok! Maaf." Hanya satu pesan yang masuk dari sekian banyak pesan yang dikirimkan Tama tadi. Gadis itu sepertinya menutup diri sekali. "Ck, siapa lagi yang harus kumintai tolong?" Tama bergumam sendiri hingga pukul satu dini hari. Pagi yang cerah sinar matahari menembus jendela kaca rumah mewah keluarga dokter Hamzah. Tama berjalan menuruni anak tangga dengan setelan kemeja dan celana yang senada. Hitam legam tanpa corak. Dokter spesialis kardiologi itu melihat kedua orang tuanya sudah duduk di kursi makan bukan dengan hidangan penuh. Akan tetapi, di atas meja terdapat tiga gelas berisi perasan lemon dan madu yang selalu menjadi pilihan mereka setiap pagi. Dengan berat hati, Tama berniat mengatakan semuanya. Masalah nanti dia dianggap atau tidak, dapat warisan atau tidak, lelaki gagah dengan cambang tipis itu sudah ikhlas. Tama berjalan hingga sampai di kursi yang biasanya ia duduki. Tama menghela napas berat lalu duduk. Ia belum berani menyapa dua orang keramat di hadapannya. Di meraih satu sendok kecil dan mengaduk minuman kebugaran di atas meja itu tanpa membuka percakapan. Perasaan Tama mulai tak enak ketika papanya yang selalu ia hormati itu mendongakkan kepala. "Papa tunggu nanti siang, Tam. Di restoran dekat rumah sakit. Katamu gadis itu dokter juga, kan? Papa belum pernah bertemu sepertinya." Tama mulai bimbang. Selama ini memang ia tak pernah bilang siapa gadis yang akan dia kenalkan pada kedua orang tuanya yang juga bekerja di bidang kedokteran itu. Tama tak menjawab, ia hanya diam tetapi ruang dalam kepalanya berpikir keras. Tak lama, Hamzah dan Anita berdiri untuk berangkat bersama. Mereka selalu terlihat mesra di depan putra sulungnya itu. Sampai-sampai, terkadang Tama merasa iri pada mereka. Kapan ia bisa merasakan kebahagiaan seperti mereka. Mengingat usia sudah hampir menyentuh kepala empat. Selesai meneguk minumannya, Tama langsung berdiri. Lelaki itu meraih tas hitam yang ada di atas sofa ruang tengah. Lalu berangkat dengan pikiran yang masih buntu. Mobil yang ia kendarai kini keluar pagar yang menjulang tinggi. Lagi-lagi, Tama masih terfokus mencari gadis yang mau ia ajak untuk berbohong nanti. Karena tak fokus dengan jalanan yang padat, tiba-tiba mobil menyerempet sebuah pesepeda motor hingga si pemilik motor tersebut terjatuh. Mobil Tama berhenti dengan suara decitan ban yang membuat beberapa pengendara lain menekan klakson. Lelaki dengan wajah blasteran itu lantas turun dari mobil dan mencoba melihat korbannya. "Kamu enggak apa-apa?" tanya pria itu. Tama berjongkok, ia ingin membantu gadis berkerudung coklat itu berdiri. Namun, sang gadis menolak mentah-mentah bantuan darinya. "Enggak usah! Saya bisa berdiri sendiri." Wajahnya kesal karena rasa sakit yang membuat lengan bajunya robek terkena gesekan aspal. "Dibantuin malah enggak mau. Belagu!" celetuk Tama karena kesal juga. "Hidup lagi capek-capeknya malah ketemu orang begini. Enggak tau terima kasih." "Apa kamu bilang? Enggak tau terima kasih? Hei!" Gadis itu membentak, tetapi jari telunjuk Tama langsung membungkamnya. Tak enak karena banyak yang melihat mereka, Tama pun langsung mengangkat tubuh gadis itu dan membawanya ke pinggiran trotoar, tepatnya pada bangku kosong di sana. Meskipun kedua mata gadis ramping itu membulat sempurna, Tama tak peduli. "Lepasin!" "Diam! Kamu enggak tau kita lagi diliatin banyak orang?" Kedua alis Tama hampir menyatu. Menatap gadis itu dengan lekat. Wajah mereka hanya berjarak beberapa senti saja. Embusan napas hangat menerpa wajah sang gadis hingga membuatnya gugup. Namun, sesaat ketika mereka terdiam saling melempar pandangan kesal, ada seseorang yang berdehem sambil lewat di dekat mereka. Tama langsung melepaskan tubuh gadis itu di bangku lalu menarik sepeda motor matic yang sempat roboh milik gadis tadi. Begitu sepeda dipasang standar, Tama kembali mendekati gadis itu. "Mana kulihat!" Dengan sedikit kasar, Tama menarik lengan gadis itu. Ada robekan dari bajunya yang memperlihatkan luka dengan bercak darah di sana. Pria itu menghela napas panjang. Ia pergi ke mobilnya untuk mengambil kotak P3K yang tersimpan rapi di dalam dasbor. Lalu kembali lagi untuk mengobati luka gadis itu. Ketika Tama hendak membersihkan luka itu, sang gadis menolak lagi. Ia menarik kembali tangannya agar Tama tak terus menerus memegangnya. "Abang jangan megang-megang!" "Loh, saya mau ngobatin kamu. Saya ini dokter," bentak Tama. Kesal dengan gadis itu, Tama berdecak sembari memasukkan botol obat merah di tangannya ke dalam kotak lagi. "Saya juga dokter! Saya tau harus ngapain kalau luka begini. Enggak usah deket-deket!" "Dih, galak banget sih. Dokter apa kamu? Enggak boleh bersikap begitu. Kualat loh nanti." "Kualat sama siapa? Sama Abang? Memangnya Abang siapa?" "Abang-abang! Saya bukan tukang bakso," balas Tama dengan kesal. Lalu ia lantas berdiri dan meninggalkan gadis itu sendirian di sana. Lelaki itu memacu mobilnya lagi dan melesat di tengah jalanan yang sudah sangat padat. Pria itu menatap rolex mewah di tangan kirinya. Ia ada jadwal operasi satu jam lagi. Tama menambah kecepatan mobil itu lagi agar segera sampai di rumah sakit. *** Sampai di rumah sakit, Tama keluar dari mobilnya dalam keadaan terburu-buru. Pria dewasa itu menutup pintu mobil lalu berjalan tanpa melihat jalan. Alhasil, malah menabrak seseorang yang juga berjalan menuju lobi rumah sakit. "Eh, kamu lagi," ucap Tama seraya mendelik. Gadis yang sama. Namun, penampilan sudah berbeda. Gadis itu mengenakan jas kedokteran dengan bros bertuliskan dr. Nafisah, Sp. M. Ia rupanya seorang dokter spesialis mata. Gadis yang tadi tak sengaja tertabrak mobil Tama itu pun tak kalah terkejut. Ia bertemu lagi dengan lelaki menyebalkan di matanya. Ketika itu, Tama memegang jas putih yang belum sempat ia pakai. Gadis bernama lengkap Nafisah Nazwa itu langsung bergegas mendahului Tama. Namun, Tama tak mau kalah. Ia mencekal lengan Nafisah hingga langkahnya terhenti. "Apaan, sih!" decak Nafisah langsung menepuk tangan Tama. "Aku duluan!" "Dih, enggak jelas!" Mereka saling berebut langkah. Namun, kejadian di tempat parkiran itu terlihat oleh seorang lelaki tua yang rambutnya telah memutih rata. Wajah keriput itu mengerutkan kening ketika melihat putranya bersama seorang wanita. "Tama," panggil Hamzah. Sang professor datang mendekat. Tama dan gadis itu terlihat biasa lagi. Sang gadis menunduk sopan dengan bibir tersenyum sambil menyapa. "Pagi, Prof." "Pagi juga." Hamzah beralih pada putranya lalu berkata, "Jadi ini yang mau kamu kenalkan sama Papa nanti?" Lelaki itu mengangguk. "Papa tunggu setelah Dzuhur nanti, ya?" Hamzah segera pergi dari sana tanpa menunggu jawaban dari Tama. Sementara Tama masih terpaku bagai patung. Ia tak tahu lagi harus bagaimana. Lelaki itu pun tak tahu kalau Nafisah juga sudah pergi meninggalkannya karena lamunan yang sesaat itu. Begitu sadar, kanan kirinya sudah tak ada orang. Hanya wara-wiri perawat dan satpam jaga saja yang ada. Juga orang-orang yang tak ia kenal. "Ke mana dia tadi?" Tama bergumam dalam hati.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD