Pulpen Yang Hilang

1067 Words
"Megan!" "Megan!" Lagi, aku seperti sedang tersadar dari sebuah mimpi buruk. Aku seperti akan kehilangan napasku, dan aku bangun dengan penuh keterkejutan. Ku tatap lelaki yang berada di depan ku yang ternyata adalah Bos ku sendiri. Pak Bastian bersidekap d**a dan menatap padaku. "Apa kamu enggak mau pulang?" tanya nya, dingin. Dan aku masih terpana. Aku serius merasa sudah keluar dari gedung ini. Namun entah kenapa lagi lagi semua itu hanya lah sebuah mimpi. Masih tidak menjawab pertanyaannya, aku malah melihat jam tangan yang ada di pergelangan tangan ini. Jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam, dan aku ditinggalkan di kubikelku. "Terima kasih, pak. Saya permisi dulu." ku segera meraih tas selempangku dan berlari keluar dari kantor dengan pikiran yang terus bertanya tanya. Bagaimana bisa aku mendapatkan mimpi aneh terus menerus. Apakah aku ini memang sudah mulai gila, hanya karena setiap hari aku didatangi oleh rentenir karena Ayahku seorang penjudi online, dan selalu menghabiskan uangku? Atau ... karena aku tidak relah melihat ibuku kembali menikah dengan seorang laki laki kaya raya itu. Sehingga aku mulai gila, sering melamun dan menghayalkan yang enggak enggak. Sampai di gerasi, aku menunggu taksi, namun ternyata karena ini sudah malam, jadi taksi pun tidak ada yang lewat. Aku enggak memiliki aplikasi taksi karena ponselku yang enggak cukup memory untuk mengunduh nya. Aku belum memiliki uang untuk membeli ponsel baru, karena isi perutku memang lebih penting. jadi jalan terakhir adalah aku akan menelpon sahabatku. Siapa lagi kalau bukan Laskar. Iya, Dokter bedah yang sebenarnya adalah teman masa kecilku. Kami tumbuh bersama namun nasib kami berbeda jauh. Laskar menjadi seorang Dokter bedah hebat dan sangat dipercaya. Sedangkan aku hanya menjadi karyawan biasa di sebuah perusahaan karena aku memang hanya lulusan Diploma tiga saja, itu pun aku meminjam uangnya pada Laskar. Aku kuliah di usia yang sudah 25 tahun. Sedangkan Laskar pada saat itu sudah melakukan koas, di sebuah rumah sakit terbesar di kota kami. Laskar pada saat itu memberikan ku pinjaman uang untuk kuliah. Aku pun kuliah selama tiga tahun dan lulus di usia 28 tahun akhir. Kenapa aku kuliah di usia yang begitu dewasa? jawabannya karena keluarga ku yang tidak harmonis. Kedua orang tuaku bercerai, Ibuku berselingkuh dengan lelaki kaya raya, lalu Ayahku stres dan ia kerjaannya hanya mabuk dan berjudi Online. Aku enggak berani ikut bersama ibuku karena beliau memang tidak mengajak ku. Lebih tepatnya suaminya tidak menginginkan aku. Dan aku pun tidak mau tinggal bersama ayahku yang suka mabuk mabukan dan kadang marah marah enggak jelas. Jadinya aku tinggal di sebuah kosan kecil dengan bekerja di sebuah restoran kecil. Itu terjadi sebelum aku kuliah dulu. "kenapa baru pulang?" Laskar keluar dari mobilnya dengan membuka jas yang ia pakai, lalu ia pakaikan padaku. Ini lah yang aku sukai dari seorang Laskar. Meski derajat kami jelas berbeda, dia tetap memperlakukan aku dengan sangat baik. "Nanti aku ceritakan. Apa kamu enggak sibuk?" Ku menatapnya seraya ia menggandengku. "Aku sibuk, tapi karena kamu nelpon, jadinya aku kesini." ujarnya. Aku masuk ke dalam mobil kerennya Laskar. Dia mulai menyalakan mobil, dan kami melaju ke arah kontrakan ku. Tunggu! Kontrakan! Iya, kontrakan ku. Di dalam mimpi itu, jalan menuju kontrakan ku sangat gelap dan ... ada benda besar berwarna putih yang sedang mencabik cabik sebuah daging dan darah, yang aku tidak tahu apa benda itu. Mungkinkah hewan atau malah manusia. Di dalam mimpi itu, seekor harimau putih besar menghampiriku dengan mulutnya yang penuh dengan darah. Kedua matanya merah menyala lalu ia berkata padaku. "Kamu akan terikat dengan ku." katanya. "Kamu sudah makan?" Pertanyaan Laskar membuat lamunan ku buyar begitu saja. Ku lirik Laskar, laki laki itu tersenyum padaku. Senyuman Laskar yang begitu menawan dan indah. "Iya," jawabku dengan tatapan yang masih tertuju padanya. Dia mengalihkan tatapannya kembali ke arah jalan yang akan kami lalui. "Kapan kapan ke rumah yuk, ibu tanyain kamu." ujarnya. Ah, Tante Melina memang sangat baik. beliau sikapnya sama seperti anaknya. Laskar. "Iya, kalau aku enggak sibuk, aku akan ke sana." ujarku padanya. "Bagaimana kerjaan mu?" "Kerjaan ku baik baik saja. Hanya saja ..." aku ingin sekali bercerita padanya tentang mimpi mimpiku yang aneh itu. "Kenapa?" tanya nya. Tidak! aku pasti sedang stres, makanya aku terus memimpikan itu. Aku harus merahasiakan mimpi ini, sampai aku bertemu dengan seorang psykiater dan berbicara padanya mengenai kondisiku. "Kenapa sih? ko diem?" tanya nya. "Enggak. Aku sepertinya sedang enggak enak badan saja. " ku memutuskan untuk diam saja, dan merekatkan jaket yang diberikan oleh Laksar padaku. "Mau ku periksa?" tanya nya, dan aku tahu laki laki itu sedang meledeku. "Enggak usah." Ku mendelik padanya. Aku sangat takut jarum, dan karena itu aku paling anti diperiksa olehnya. Padahal biasanya Laskar hanya akan meresepkan obat saja, kemudian setelah itu pasien akan menebus obat di bagian apotik. "Kenapa ennggak mau? takut ya?" kekehnya. Sialan Laskar, dia memang selalu tahu saja apa yang yang aku rasakan. "Las, mmm ... nanti anter aku sampai kosan ya." pintaku. AKu agak horor setelah melihat mimpiku tadi. "Ok, enggak biasanya tapi. Karena kamu biasanya nolak kalau aku anter ke kosan." ujarnya. "Untuk hari ini saja." ungkapku. "No! setiap hari juga enggak apa apa." sanggah Laskar. Aku menggeleng karena takut merepotkannya tentu saja. "Oh, iya. Gang yang menuju ke kosan mu itu, apa masih gelap?" tanya Laskar. "Pemilik kosan enggak mau ngasih lampu di sana. Takut naik kali, tarifnya." keluhku. "Bilang, enggak apa apa, biar aku yang bayar. Jadi kamu enggak gelap lagi di sana. Atau kamu pindah ke apartemen aku saja." ajaknya. "Tinggal berdua gitu sama kamu?" sinis ku. "Come on! memangnya kenapa? kita satu apart tapi beda kamar kan? atau ... kamu memang pengen satu kamar sama aku?" "Stop it!"Ku melirik tajam dan dia terkekeh pelan. "Dari pada kamu tinggal di kosan yang kaya gitu. Rawan banget tahu, aku hanya kasihan melihat mu." "Aku katakan, kalau aku baik baik saja, apakah kamu akan diam?" "Hmm ... mulai deh." Helaan napas Laskar terdengar menyerah. "Oh, iya. waktu aku pingsan, apa kamu melihat pulpen ku?" "Pulpen?" persis seperti reaksinya Natali, Laskar pun menatapku dengan heran. Ia pasti berpikir apalah arti satu pulpen. Kenapa seorang Megan harus mencari pulpen yang hilang, sementara pulpennya banyak diatas kubikelnya. "Iya. Pulpen yang atasnya ada bonekanya." ujarku. "Pulpen dariku bukan?" "IYa." pulpen itu memang pemberiannya Laskar. Lebih tepatnya aku meminta Laskar membelikan itu ketika kami masuk ke toko buku. "Enggak ada. Kamu lupa kali." "Mungkin." aku kembali terdiam, dan berharap bahwa pulpen itu memang ada di mejaku atau ada di laci mejaku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD