Bab 2. Melarikan Anak Orang

1577 Words
“Tunggu di sini.” Dengan napas memburu, Cia menahan tubuh Rion di sebelahnya. Mulutnya terbuka membentuk huruf ‘O’ lalu hembusan dan tarikan napas pendek-pendek wanita itu lakukan. Jantungnya berdetak kencang. Dia merasa sedang menjadi pemeran utama sebuah film action. Cia yang sedang bersembunyi di balik dinding, mendorong tubuh ke samping lalu mengintip halaman depan bangunan megah sekolahan elit tersebut. “Kenapa kita sembunyi?" Cia menoleh dengan cepat lalu meletakkan jari telunjuk di depan mulut sambil mendesis. “Ssttttt.” Meminta anak yang baru dikenalnya untuk tidak bersuara. “Katanya mau ketemu papa.” Cia membekap mulut Rion dengan sebelah telapak tangan. Sepasang mata wanita muda tersebut sedikit membesar. “Kita sedang bermain petak umpet dengan orang-orang di depan sana. jangan sampai mereka tahu kita di sini. Apa Rion mengerti?” bisik pelan Cia. Wanita itu menoleh ke belakang—khawatir ada orang yang tiba-tiba muncul dari balik dinding. Rion—dengan sepasang mata memicing, menatap nanny barunya. Bibir anak itu mengerucut. Cia kembali mengintip keadaan di halaman sekolah. “Kenapa mereka masih belum pergi juga?” gumam Cia bertanya pada dirinya sendiri. Wanita itu menghembuskan napas. Pria dengan setelan jas keluar dari pintu pengemudi. Pria yang memiliki rambut keriting gondrong itu terlihat sedang berbicara dengan seseorang melalui sambungan telepon. “Rion tunggu di sini sebentar, okey? Aku akan mengambil motor,” kata Cia tanpa mengalihkan tatapan dari pria berjas hitam. Sebelah tangan Cia masih menahan tubuh Rion. Melihat pria dengan rambut keriting gondrong itu melangkah lebar ke arah bangunan sekolah, Cia memutar kepala ke arah Rion. “Tunggu sebentar di sini, okey? Jangan keluar,” pesan Cia di ujung kalimat. Cia menatap menelisik Rion. Meskipun Rion tidak menjawab, dari tatapan mata anak itu—Cia yakin Rion paham. Wanita itu kemudian bergegas keluar dari balik dinding. Cia berlari ketika melihat tempat parkir aman. Pria yang mencurigakan itu sudah masuk ke bangunan sekolah. Cia dengan cepat menaiki motornya lalu memakai helm. Suara deru motor terdengar tak lama kemudian. Cia memutar stang kemudian menarik gas. Kendaraan roda dua tersebut melaju ke samping kanan bangunan sekolah. Begitu tiba di tempat persembunyian Rion, Cia kembali memutar arah motornya. “Ayo, naik.” Cia mengedik kepala, meminta Rion untuk segera naik ke boncengan motornya. “Cepat, Rion. Nanti papamu marah.” Rion berjalan cepat begitu mendengar Cia menyebut papanya. Anak itu memanjat pijakan motor sambil berpegangan pada tubuh Cia. Sementara Cia menunggu hingga Rion benar-benar duduk di belakangnya. “Pegangan yang kuat. Kita akan balapan sekarang.” “Balapan?” “Iya.” Cia menarik tangan Rion untuk berpegangan ke perutnya. Setelah itu wanita yang berprofesi sebagai dokter tersebut menarik gas cukup dalam. Rion memeluk erat tubuh Cia saat merasakan motor melaju kencang. “Itu mereka! Ayo … cepat!” Cia menggeser bola mata ke spion. ‘Ah, sial,' batin Cia saat melihat dua pria berjas hitam tersebut berlari keluar dari bangunan sekolah. Cia menarik tangan Rion agar anak itu berpegangan lebih erat, sebelum menambah laju kecepatan motor. Bola matanya kembali bergulir ke spion—memeriksa pergerakan mobil sedan berwarna hitam. Rion yang takut lantaran motor melaju semakin kencang—mengeratkan pegangan tangannya pada tubuh Cia, mencengkeram kain jaket yang membungkus tubuh wanita itu. Sementara satu sisi wajahnya menempel ke punggung Cia. ‘Tin! Tin!’ Cia melesatkan motor, mendahului dua mobil di depannya setelah menekan klakson dua kali. Sebagian rambut wanita itu berkibar diterpa angin yang cukup kencang. Cia kembali melirik spion. Berdecak kesal ketika mobil hitam itu baru saja menyalip beberapa kendaraan hingga mempersempit jarak mereka. Sungguh Cia bersyukur dia mengendarai motor, bukan mobil—hingga dia bisa melaju di jalanan sempit. Diantara mobil-mobil yang nyaris menghabiskan ruas jalan. Cia kembali menyalakan klakson sebelum menarik gas lebih dalam. Mendahului satu truk, lalu membelokkan stang dan menarik kembali gas. Kendaraan roda dua itu meliuk ke kanan, lalu kiri untuk kembali mendahului pengendara-pengendara di depannya. Setelah nyaris 15 menit berada dalam ketegangan, akhirnya Cia bisa tersenyum ketika tidak lagi melihat mobil yang mengejarnya. Wanita itu menghembus napas lega. Meskipun begitu, Cia tidak mengurangi kecepatan kendaraannya. Wanita itu tetap melaju cepat hingga akhirnya tiba di mess tempatnya tinggal selama 3 bulan terakhir. Wanita itu mengurangi kecepatan, lalu menghentikan motor di parkiran mess. Memutar kunci hingga suara deru mesin kendaraan roda dua tersebut tak lagi terdengar. Cia melepas helm. Kepala wanita itu memutar ke belakang ketika menyadari anak yang berada di boncengan motornya—masih memeluk erat tubuhnya. “Kita sudah sampai. Rion boleh turun,” kata Cia memberitahu. Tangan wanita itu bergerak meletakkan helm ke atas spion. Kening Cia mengernyit. Rion masih menempel di tubuhnya seperti ulat. Beberapa detik kemudian, Cia mengedip sebelum meringis ketika merasakan sesuatu yang hangat menembus beberapa lapis kain hingga ke pant*tnya. “Rion … kamu … ngompol?” Cia menatap nanar anak kecil yang masih belum bergerak dari posisi semula, sementara rasa hangat itu semakin terasa. Basah. Cia ingin menangis, namun suara keras Rion mendahuluinya. “Hua … Papa!” Cia menarik dalam-dalam napasnya. Membuka sepasang bibirnya, adik kesayagan Ellio itu menghembus karbondioksida keluar. “Papa! Rion takut!” Cia menelan saliva. “Shhhht … jangan menangis, Rion. Ayo turun.” “Rion takut. Hua …!” “Kita sudah aman. Ayo turun. Celana Rion basah.” Lalu bibir Cia cemberut. “Celanaku juga basah,” keluhnya diakhiri dengan desahan. Oh … dia ingin mandi. “Cia ….” Cia menoleh. Menghembuskan napas lega ketika melihat siapa yang sedang berjalan ke arahnya. “Norah, bisa tolong bantu aku menurunkan anak ini?” pinta Cia. Dia tidak bisa turun, apalagi menurunkan Rion dari motor karena anak itu masih memeluknya dengan erat. Membagi cairan berbau pesing itu dengannya. Wah … luar biasa. “Ya ampun, anak siapa yang kamu bawa?” Norah—salah satu teman satu mess Cia melangkah menghampiri sang teman. Wanita itu meneleng untuk melihat wajah anak yang masih melekat di punggung Cia. “Ganteng banget,” puji Norah sebelum sesaat kemudian wanita itu mengendus-endus kala hidungnya mencium bau sesuatu yang …. Norah menoleh ke arah Cia. “Bukan aku, tapi … dia.” Cia yang paham arti tatapan mata Norah, mengedik ke arah Rion. “Makanya tolong turunkan dia. Aku ingin mandi.” Sepasang alis Cia terangkat. “Ya, Tuhan.” Norah menatap anak kecil di belakang Cia lalu menyelipkan tangan ke ketiak anak itu. Norah menarik tubuh Rion. “Dia nempel sama kamu." Cia menarik lepas tangan-tangan kecil Rion dari perutnya, hingga akhirnya Norah bisa menurunkan Rion yang masih sesegukan. “Sudah, jangan menangis. Anak laki-laki tidak boleh menangis.” Norah menurunkan pandangan mata lalu meringis—melihat celana Rion basah. Sementara Cia akhirnya bisa turun dari motor. “Norah, tolong mandiin Rion, ya.” “Enak saja. Dia anak kamu, kenapa harus aku yang mandiin?” Cia berdecak. “Jangan mematikan pasaranku. Aku masih single. Enak saja sudah punya anak. Memangnya dia keluar begitu saja tanpa proses?” Cia mendelik. “Kamu tidak lihat aku basah? Aku harus mandi, Norah.” “No. Tidak mau.” Norah mendorong tubuh Rion hingga kaki-kaki kecil anak itu tertarik ke arah Cia. “Aku ada kencan.” Norah tersenyum manis, lalu mengangkat tangan kanannya. “Bye, Cia. Bye … Rion.” “Hei … hei.” Cia menghembus keras karbondioksida dari mulutnya. Norah tidak menoleh. Teman sejawatnya itu justru berjalan lebih cepat meninggalkan dirinya dengan Rion. “Nanny … Rion … pipis.” Rion meraih sebelah tangan Cia lalu menarik-nariknya. Cia mengalihkan tatapan. Menatap putus asa sepasang mata yang sedang menyorotnya tanpa dosa. Mendesah pelan, Cia kemudian meraih telapak tangan Rion. “Ayo, mandi dulu.” Lalu Cia mengajak Rion masuk ke dalam mess. “Dan jangan memanggilku Nanny. Aku bukan Nanny mu, Rion.” “Nanny.” “Astaga.” Menghembus napas, Cia akhirnya membiarkan Rion memanggilnya Nanny. Lihat saja nanti kalau papa anak ini menjemputnya. Dia akan meminta bayaran sebagai nanny nya. Lumayan untuk tambahan uang saku—batin Cia menghibur diri sendiri. Tentu saja uang bukan masalah untuk dirinya yang merupakan anak kedua Sebastian Arkane—salah satu pengusaha sukses di Amerika. Namun, dia sudah berjanji pada diri sendiri untuk mandiri. Hidup dengan menggunakan uang hasil kerja kerasnya sendiri. *** Ini bukan pengalaman pertama Cia memandikan anak kecil. Dulu, dia sering memandikan adik bungsunya—Reagan. Jadi, bukan hal sulit bagi Cia. Juga bukan hal tabu, karena sebagai seorang dokter—dia sering melihat anggota tubuh lawan jenis. Apalagi Rion masih kecil. Dia sama sekali tidak masalah. Yang masalah adalah saat menyadari jika Rion tidak memiliki pakaian ganti. Ingin meninggalkan Rion di mess, tapi anak itu tidak mau lepas darinya. Akhirnya, Cia memakaikan Rion kaos miliknya--yang ketika dipakai oleh anak itu, membuat tubuh Rion tenggelam. Sementara tubuh bagian bawah Rion terbungkus hot pant kolor yang menjadi sepanjang lutut saat dikenakan oleh anak itu. Cia membawa Rion ke toko pakaian terdekat dari mess. Cia membelikan Rion 2 pasang pakaian. Berpikir jika tidak lama lagi papa anak itu akan menjemputnya. “Rion lapar, Nanny.” Cia mencebik. Meskipun begitu, tetap saja Cia mengangguk. Setelah menyelesaikan pembayaran, Cia membawa Rion ke tempat makan. Bukan restoran, kerena Cia sedang hidup sederhana. Hanya tempat makan pinggir jalan yang sering Cia datangi. “Ini, makan.” Cia mendorong piring berisi sosis sapi dan kentang goreng yang dicampur dengan salad kubis. Rion menatap makanan di depannya. Sepasang kelopak mata anak itu bergerak turun naik beberapa kali. Beberapa detik berikutnya, Rion mengangkat kepala sementara tangannya mendorong piring ke depan Cia. “Rion tidak mau makanan ini. Rion mau ... salmon.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD