2

1144 Words
Helena menemukan dirinya terbangun di pagi buta. Selepas mencuci muka dan menyikat gigi, memanaskan makanan yang ada sisa semalam ke microwave, dia beranjak untuk duduk di atas karpet. Menahan kantuk dan dengan perasaan lebih bebas setelah tidur. Hitler masih lelap di atas sofa. Anjingnya suka dengan tekstur sofa yang empuk dan nyaman. Dibanding ranjangnya sendiri yang Helena belikan, anjing jenis puddle yang sedikit rewel namun menggemaskan itu terbiasa tidur dimana pun sesukanya. Helena ingin menonton televisi. Tetapi rasa-rasanya tidak ada tayangan bagus untuk ia tonton setelah kebanyakan saluran lokal memberikan tayangan serial drama yang membosankan. Dia mencintai Telenovela. Memang, katakan saja dia tua. Tapi toh, usianya masih dua puluh lima. Masih muda dan cekatan. Selera kolot bukan masalah. Lintasan tentang malam dimana ia tidur bersama sang bos kembali meluap. Helena mendapati dirinya merinding. Dia dan Edzard tidak bersentuhan, kan? Sial. Saat ia terbangun, ia memakai pakaian dalam yang masih utuh. Sedikit terkoyak. Helena tidak bisa mendefinisikan perasaannya kala ia mematut dirinya di depan cermin dan menemukan bekas gigitan di belahan p******a, bahu, leher dan kulit lengannya. Demi Tuhan! Helena bahkan melihat bekas gigitan di perut bidang Edzard dan dadanya. Apakah dia semabuk itu? Apakah gadis bertitel baik, tenang, cute, dan polos berhasil rusak? Kenapa harus Helena menunjukkan keganasannya di depan Edzard!? Ya Tuhan. Semoga berita ini tidak tersebar. Dia sebenarnya bisa cerita dengan Kalila, sebagai senior sekaligus rekan terbaik, wanita itu akan memberikan beberapa nasihat pamungkas untuk Helena menenangkan diri. Yah, sebelum Sai dan Abel tahu, semua masalah bisa menjadi lebih rumit. Ia tidak mau orang-orang menghakimi Edzard c***l karena ini semua salahnya! Salah Helena sendiri yang teledor. "Ahhh!" Helena pergi ke bursa lowongan kerja di internet. Banyak perusahaan membuka lowongan dengan kriteria bagus. Baik yang sudah berpengalaman atau fresh graduate. Setiap kesempatan ada dengan kualifikasi di setiap brosur. Napasnya memburu. Helena memegang dadanya sendiri dikarenakan cemas. Cemas kalau skandal ini merebak bagai wabah. Dia tidak ingin dicap sebagai perempuan penggoda. Karena cerita sebenarnya tidak begitu. Semua orang cenderung gila ketika mabuk. Begitu juga dengan dirinya. "Kau tahu, Hitler. Edzard itu orang kaya. Di sini tertulis dia pernah bersekolah di London, dan melanjutkan sarjana untuk kedua kali di Tokyo. Untuk Tokyo murni beasiswa. Tapi untuk yang pertama, memakai uangnya sendiri. Aku mencari marganya, dan yang aku lihat adalah keluarganya berbasis dokter dan memiliki firma hukum terbaik. Kau lihat? Prestasi marganya mentereng. Kenapa dia mau menjad babu perusahaan?" Helena menemukan dirinya sendiri mengerang frustrasi. "Tapi demi Tuhan, aku harus bicara. Kalau tidak, aku bisa mati berdiri. Bekas gigitan itu di perut dan dadanya, ya Tuhan. Aku harus ke gereja secepatnya untuk meminta ampun." Dadanya berdebar kencang. Seringai Edzard, bagaimana tampilan luar biasa nakal dan kepuasan itu terpancar membuat Helena mati rasa. Setiap sel tubuhnya ikut berdesir. Menyuarakan peringatan berbahaya bahwa Edzard bukan contoh baik bagi kesehatan mental dan jantungnya. Laptop menyala. Menampilkan deretan pasar lowongan kerja yang ramai. Beberapa pelamar memilih untuk bekerja di bidang yang seharusnya atau sekadar coba-coba. Ada sekitar sepuluh ribu pendaftar, dan dengan seleksi ketat hanya sekitar seribu yang diterima di setiap perusahaan. Savanah Home Industries sedang tidak membuka lowongan baru. Dengan bonus besar, gaji lumayan untuk investasi dan hidup selama satu bulan, apa Helena yakin bisa meninggalkan itu semua karena skandalnya bersama si bos? Oh, ya Tuhan. Dia butuh pencerahan ilahi! *** Lobi kantor cukup ramai pagi ini. Orang-orang berhamburan seperti kacang rebus memenuhi setiap lobi untuk mengantri absen pagi dan menunggu lift yang siap membawa mereka ke lantai tempat bekerja. Helena merapikan rambutnya yang tersapu angin. Pagi ini dia menyempatkan memberikan tatanan baru untuk rambut panjangnya. Membutuhkan waktu kurang lebih setengah jam untuk membuat kepangan manis dengan jepit rambut. Tidak seperti gaya biasa yang terkesan itu-itu saja. Saat dia menekan sidik jari pada mesin absen, pandangan beberapa orang mengarah padanya. Sejujurnya, Helena tahu benar gosip yang menghampiri divisi purchasing. Termasuk dirinya. Ia kerap digosipkan sebagai karyawan paling kompeten sekaligus member termuda. Di grup purchasing yang didominasi senior dan bekerja dengan baik di bidangnya, Helena mungkin bisa menjadi bahan gosip untuk celaan gibah mereka selanjutnya. Sebenarnya ia tidak buruk. Kalau ia boleh menilai dirinya sendiri di depan kaca, dia tidak buruk. Rupanya—tidak minus. Standar kecantikan seperti di televisi mungkin masih jauh. Gaya berpakaiannya juga semestinya. Helena tidak pernah menaikkan rok atau memamerkan belahan d**a seperti karyawan lain. Dia benar-benar berusaha bersikap sopan. Dia datang untuk bekerja, bukan merayu bos. Tuan Mirzuki pernah bilang kalau Helena menjadi incaran para pekerja di sini. Selain rupanya yang manis, hidung mungil dan bibir tipis serta porsi badan sempurna yang membuatnya jadi incaran. Tetapi dari itu semua, Helena benar-benar merasa kecil jika ia berhadapan dengan seorang Kyra Kalila, si seksi dari purchasing yang melegenda. Ketika orang-orang mencela Kalila, bicara tentang betapa cantik dirinya dengan ketus, wanita itu akan balas berkata, "Baru tahu, ya? Hih. Kemana saja?" Atau si Abel yang haus pujian. "Sebut aku tampan juga! Jangan Edzard saja. Edzard terus, Edzard terus. Aku ini juga tampan. Mamaku selalu bilang aku anak paling tampan serumah!" Member lain yang masuk kategori bertampang bagus. Paras yang membuat seorang Kalila bertekuk lutut. Sebagai secret admirer, Helena bisa membayangkan perasaan Kalila untuk rekan divisinya. "Aku tahu aku tampan. Tapi gaya cupuku membuat mereka mundur. Baguslah. Geli juga didekati sekumpulan ulat bulu." "Selamat pagi." Lamunan Helena membawa dirinya sampai di lantai divisi tempatnya bekerja. Kalila duduk di kubikel, saat Sai mampir ke mejanya, memberikan secangkir kopi ke setiap meja. "Rambutmu bagus. Pagi yang cerah, bukan?" "Cerah matamu? Kau tidak lihat sedikit mendung?" Sai balas mendengus. Dia bersandar di kubikel Abel, tetapi iris gelapnya memaku Kalila seorang yang duduk dengan kaku. Berusaha menahan salah tingkah. "Kita harus mensyukuri hari yang baik ini, manis. Mau tak mau. Walau pekerjaan sudah menanti di depan mata." Mata biru itu berputar bosan. Abel masuk dengan senyum lebar. Sebelum dia menghidu aroma kopi, duduk di kursi kerja Sai. "Selamat pagi semua! Aku siap lembur." "Cih," kata Helena, berpura-pura sinis. "Kalian bahkan meninggalkan kami berdua." "Aku makan perut babi dan minum soju bersama Sai. Ada pedagang kaki lima menjual makanan murah. Kami wisata kuliner semalam." Helena memutar mata. Dan Abel terkekeh. Pintu ruang bos terbuka. Semua orang diam, kecuali Sai yang membungkuk dengan senyum lebar. "Selamat pagi, bos." "Siapa yang ikut pergi pagi ini?" "Kalila, mungkin?" "Oh, aku mendapat pemberitahuan rapat pagi ini bersama tim manajemen dan tim akuntan." "Aku juga," sela Abel. Sai mengerutkan alis. "Aku pun sama," ia menoleh pada Helena. "Kau?" "Aku—," Helena bergegas membuka kotak masuk dan mendadak keringatnya mengalir membasahi telapak tangan. "—sepertinya belum masuk. Aku belum mendapat pesan apa pun." "Oh, berarti Helena." Edzard menautkan alis. Ekspresinya masih sekeras batu saat mata mereka bertemu. Helena bangun, merasa kalah dan terintimidasi. "Kalau begitu Helena," balas Sai. "Sepuluh menit lagi. Bawa berkas-berkas yang kau perlukan." "Baik, Sir." Kalila bangun dari tempatnya, menghampiri Helena yang menunduk. Menempelkan dahi ke atas meja komputernya dan mendesah. "Aku ikut prihatin. Pasti pagi cerahmu harus tercabik karena Edzard si pembunuh suasana," ujar wanita itu, menepuk bahu Helena dengan tatapan memelas. "Aku ikut sedih, Helena. Tapi di antara kita memang tidak ada yang mau ikut pergi." "Biasanya aku dan Abel! Kenapa tiba-tiba bersama bos?" "Aku ini sedang dibutuhkan," kata Abel, menyeringai lebar. "Aku akan memberikan dedikasi terbaikku demi membuat nama divisi purchasing bagus." "Biarkan mereka melihat ide brilianmu." Abel memberi kedipan mata. Helena ingin tenggelam di Antartika sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD