Kantor Toxic

1301 Words
Tatapan mata Cia terlihat begitu tajam saat ini. Dahinya berkerut dalam membaca kertas di tangannya. Emosi tidak bisa ia tahan lebih lama lagi. Bisa-bisanya dia menjadi tersangka utama atas kesalahan yang tak pernah ia perbuat. "Cia, lo nggak apa-apa?" tanya Tina, teman satu kantornya. Cia masih terdiam dengan rahang yang mengeras. Dengan kesal dia meremas kertas di tangannya hingga tidak berbentuk. Niat ingin bersaksi atas kejahatan yang dilakukan Pak Bonang harus gagal saat pria b******n itu lebih dulu memukul mundur dirinya. Pemecatan secara tidak hormat telah Cia dapatkan. Sialnya, direktur perusaan sendiri yang turun tangan memecatnya. Dunia memang sudah gila. Benar-benar seperti acara komedi. "Di mana si Beruk Bonang itu?" tanya Cia pada Tina. "Lagi meeting sama Pak Bos di lantai tujuh." Dengan cepat Cia mulai beranjak pergi, tetapi Tina lebih dulu menahannya. "Lo mau labrak Pak Bonang?" tanyanya ragu. "Bukan cuma Pak Bonang, tapi Pak Bos juga." "Ci, lo serius?" Tina mulai khawatir. "Buat apa gue tahan lagi? Toh, gue udah dipecat." Setelah itu Cia benar-benar pergi. Tangannya masih meremas kertas dengan perasaan yang teramat kesal. Jika bisa, dia ingin merobek kertas itu, tetapi dia lebih suka untuk melemparnya ke wajah Beruk Bonang nanti. "Maaf, Mbak. Di dalem ada rapat," ucap sekretaris Pak Bos. "Saya tau." Cia berdiri di depan pintu ruangan sambil menarik napas dalam. Untuk pertama kalinya dia berbuat nekat seperti ini. Takut? Tentu saja. Namun jika dia diam, Pak Bonang akan semakin terbang di atas awan. "Kalau ada sesuatu biar saya sampaikan, Mbak." Cia menggeleng dan mendorong wanita itu menjauh. Dia mengetuk pintu sebentar dan langsung masuk ke dalam ruang rapat tanpa aba-aba. Semua orang mulai menatapnya. Lebih tepatnya menatapnya heran karena kedatangannya yang terkesan tidak sopan. Peduli setan dengan rasa sopan, harga dirinya sudah diinjak-injak di tempat ini lebih dulu. Hanya ada beberapa orang di dalam ruangan, tetapi mereka semua memiliki jabatan yang cukup tinggi. "Ngapain kamu di sini?" Pak Bonang berdiri dan menatapnya tajam. Cia hanya melirik sebentar dan menelan ludahnya susah payah. Setelah itu dia menghampiri Bos besar yang juga menatapnya bingung. "Pak Fatih pecat saya?" tanya Cia langsung. Pak Fatih selaku direktur utama langsung menatap Pak Bonang yang mengangguk. Kemudian Pak Fatih kembali menatap Cia dengan tajam. "Jadi kamu orangnya." "Iya, Pak. Saya orang yang dipecat secara tidak hormat dengan alasan yang tidak jelas," sahut Cia berani. Cia yakin semua orang menatapnya tidak percaya saat ini. Selama ini dia dikenal sebagai karyawan yang cukup pendiam dan selalu berada di zona aman. Namun semuanya hancur saat Pak Bonang mulai berulah. Cia seolah mengeluarkan sisi lain dari dirinya yang ia pendam selama ini. "Dasar tidak sopan! Kamu sudah dipecat. Lebih baik kamu keluar atau saya panggil satpam," bentak Pak Bonang. Cia masih tidak memedulikan celotehan Pak Bonang. Dia masih menatap Pak Fatih dengan tatapan putus asa. "Seharusnya yang Bapak pecat itu dia," tunjuk Cia pada Pak Bonang. "Kamu!" cela Pak Bonang lagi. "Saya memang karyawan rendah, tapi bukan berarti saya mau diperlakukan seperti ini. Kalau Pak Fatih mau cek, sudah berapa banyak karyawan wanita dari departemen pemasaran yang mengundurkan diri atau dipecat? Itu semua karena apa? Ya karena si Beruk Bonang itu!" Cia meninggikan kalimat terakhirnya. Pak Bonang mulai menghampirinya saat Cia sudah tidak bisa mengendalikan diri. Semua orang juga memilih diam karena ingin mendengar apa yang sebenarnya terjadi. "Bonang Oneng itu penjahat kelamin, Pak!" ucap Cia lagi dengan emosi. "Apa maksud kamu?" Pak Fatih mulai berdiri karena terkejut. Bukan keluhan ini yang disampaikan Pak Bonang padanya. "Dia mau fitnah saya, Pak. Dia nggak terima dipecat." Pak Bonang membela diri. "Benar, saya tidak terima dipecat dengan kesalahan yang tidak saya perbuat. Tapi jika itu sudah keputusan Bapak Fatih yang terhormat maka saya akan terima. Saya juga nggak mau kerja di kantor toxic ini. Tapi satu hal, Pak. Kalau Bapak Fatih sudah mengetahui kenyataan yang sebenarnya, maka baik saya dan korban yang lainnya tidak akan mau menerima maaf dari Bapak." "Panggil satpam, cepat!" teriak Pak Bonang. "Saya bisa keluar sendiri." Cia menatap pria menjijikan itu dengan kesal. Benar-benar manipulatif. "Tau kalau akan seperti ini jadinya, seharusnya kemarin saya tendang biji Bapak lebih keras sampai meletus!" Pernyataan Cia benar-benar membuat semua orang terkejut. Untuk pertama kalinya mereka melihat drama yang cukup menegangkan di kantor. "Dan satu lagi, Pak." Cia kembali beralih pada Pak Fatih, "Kalau bisa ruang fotokopi nggak perlu dikasih pintu. Takutnya ada korban lain yang nggak bisa kabur." Persetan dengan kotak keluhan, Cia akan menyampaikannya langsung pada Pak Fatih. "Saya permisi," lanjut Cia. Kepergian Cia mengundang banyak pertanyaan. Semua orang mulai berbondong-bondong menghampiri Pak Bonang untuk menanyakan kebenaran. Pengelakan tentu pria itu berikan. Namun Cia yakin, seiring berjalannya waktu semua akan terbongkar. Meskipun tanpa bukti, tetapi Cia sudah berani membongkar semuanya. Setidaknya pandangan semua orang pada penjahat kelamin itu akan berubah. "Cia, lo nggak apa-apa?" tanya Tina saat ia sudah kembali ke mejanya dan mulai membereskan barang-barangnya. Cia memejamkan matanya sebentar dan menarik napas dalam. "Gosip apa yang tersebar tentang gue?" Tina menggigit bibirnya ragu. "Lo dipecat karena korupsi." Cia terkekeh mendegarnya. "Jadi ini yang dirasain Mbak Tasya dulu?" "Maksud lo?" tanya Tina bingung. "Jadi Mbak Tasya nggak korupsi gitu?" "Lo pikir yang pegang dana anak pemasaran siapa, Tin? Emang kita ada cela buat korupsi?" ucapan Cia seolah membuat teman-temannya tersadar. Benar juga. "Kalau duit ilang, ya jelas si Bonang Oneng itu yang ambil." Sebelum pergi, Cia menatap satu-persatu temannya. "Apapun yang kalian dengar tentang gue, itu nggak bener. Buat cewek-cewek, mending kalian resign duluan sebelum dipecat kayak gue." "Cia...," "Bener kata Mbak Tasya. Beruk Bonang itu penjahat kelamin. Kalian harus hati-hati," lanjut Cia Cia tidak mau menutupi keburukan yang terjadi. Jika karyawan sebelumnya tutup mulut karena takut dengan ancaman, maka Cia tidak mau mengikutinya. Setidaknya harus ada seseorang yang menentang kebusukan ini. "Gue pergi dulu. Jaga diri lo baik-baik." Cia menepuk bahu Tina pelan dan mulai pergi. Meninggalkan semua orang yang mulai khawatir dengan nasibnya. Setelah apa yang Cia lakukan. Dia harap jika dirinya adalah korban terakhir. Di luar gedung, Cia langsung terduduk lemas di anak tangga. Energinya seolah habis setelah mengeluarkan semua kemarahan di hatinya. Apalagi dia mengatakannya di depan orang-orang yang memiliki jabatan lebih tinggi. Cia mulai khawatir dengan pandangan orang-orang tentang dirinya. Memang benar jika emosi bisa menggelapkan mata. Tanpa berpikir, dia nekat melabrak Pak Bonang secara langsung. Tanpa tahu apa yang bisa pria itu lakukan padanya nanti. Memikirkan hal itu membuat Cia bergidik ngeri. Dari mana dia mendapatkan keberanian seperti itu? Selama ini dia selalu menjauhi konflik. Namun apa yang ia lakukan tadi seperti bukan dirinya. Mungkin karena rasa marah yang ia rasakan. Terbukti setelah emosinya berangsur hilang, Cia mulai merasa takut. Semoga Pak Bonang tidak lagi mengganggunya. Jika bisa Cia tidak akan mau kembali bertemu dengannya. *** Di dalam ruangan rumah sakit itu, terlihat seorang pria tengah menatap pria lainnya yang terbaring lemah tak berdaya. Banyaknya alat-alat kesehatan yang tersambung ke tubuh pasien membuat pria itu menghela napas kasar. Ternyata kecelakaan yang terjadi memang cukup parah. Beruntung nyawanya berhasil diselamatkan. "Kapan lo bangun?" tanya Agam tak acuh. Tidak ada rasa simpati dan empati yang terlihat di wajahnya. Pukulan keras mendarat di lengannya. Dia menoleh dan melihat seorang gadis yang menatapnya kesal. "Nggak ada kasiannya nih orang. Baru juga semalem dia selesai operasi." Kasihan? Tentu saja Agam kasihan. Biar bagaimanapun dia juga manusia yang memiliki hati. Namun bedanya, dia sedikit kaku untuk menunjukan perasaan aneh itu. "Gue balik dulu." Agam melirik jam tangannya sebentar. "Tapi lo belum ketemu sama—" "Nanti," jawab Agam singkat dan berlalu keluar ruangan. Febi, gadis itu menghela napas kasar. Tidak lagi merasa heran dengan tingkah dingin kakaknya. Bahkan saat sekretarisnya dalam kondisi memprihatinkan seperti ini pun, dia masih bersikap biasa. "Dasar es batu," rutuknya. Tak lama pintu kamar terbuka dan Agam kembali muncul. "Kalau kamu nggak balik, gaji dipotong," ucapnya santai dan kembali pergi. Febi mencibir dan mulai bergegas. "Gagal bolos, deh." *** TBC
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD