Bagian 1. Pengkhianatan

1067 Words
Aku duduk bersandar di kursi meja rias kamarku, memejamkan mata sembari menghela napas berkali-kali, berharap ganjalan yang mengimpit rongga d**a lepas bersama embusan napas. Tidak pernah terbayangkan olehku sebelumnya, seorang sahabat yang selalu bercanda lepas bersama, berkelakar tanpa sungkan, kini berstatus sebagai suamiku. Tentu akan berbeda kasusnya jika aku terjebak dalam kisah friend zone, sebab akan ada cinta di sana. Kenyataannya, aku terpaksa menikah dengan laki-laki yang hanya kuanggap sahabat itu. Tidak ada perasaan lebih. Tidak ada cinta sama sekali untuknya. Mungkin akan lebih mudah permasalahannya jika menikah dengan orang asing sekalian. Tidak saling mengenal, sehingga aku tidak akan merasa tak enak hati jika belum bisa mencintainya. Biarkan saja, toh, tidak ada hubungan baik yang terjadi sebelumnya. Namun, jika yang belum bisa dicintai itu adalah sahabat dekat, pasti akan rumit urusannya. Rasa bersalah dan tak enak hati pasti akan lebih besar. Belum lagi aku harus merubah sikap yang biasanya sesuka hati, menjadi lebih santun dan menghormati. Dia tidak jelek, bahkan sangat tampan. Kulitnya putih bersih, hampir sama putih denganku. Hanya saja kulitku putih bersinar. Sedangkan dia agak kuning langsat. Hidungnya mancung menukik. Rambut hitam, dipotong cepak. Tubuh tinggi. Aku memang tidak pernah melihatnya bertelanjang d**a, tetapi dari balutan baju-bajunya yang press body, dapat kupastikan dadanya bidang dan otot-ototnya bak roti sobek meskipun roti sobek yang tidak terlalu mengembang. Dapat dibayangkan bahwa dia gagah dan tampan bukan? Namun, ya itu, aku tidak bisa mencintainya. Hatiku telah menganggapnya hanya sahabat. Tidak lebih. Apalagi dia seusia denganku, hanya lebih tua bulan kelahiran saja. Aku lebih menyukai laki-laki yang lebih tua. Sebab lebih menurutku lebih dewasa. Aku beranjak dari dudukku, mengambil handuk dan menuju kamar mandi yang terletak di dalam kamar pengantin kami. Acara resepsi telah usai, aku ijin untuk masuk ke kamar lebih dulu. Rasanya sangat lelah setelah seharian berdiri menyambut ribuan tamu. Aku juga sudah gerah dengan gaun pengantin yang ribet dan riasan tebal, ingin segera mandi, menikmati segarnya sentuhan banyu, lalu mengenakan pakaian simple dan nyaman, kemudian menghapus sisa dempul yang membuat wajah terasa berat. Sedangkan dia masih berbincang dengan orang tuaku. Entah membicarakan apa. Pernikahan ini seyogyanya bukan antara aku dan dia, tetapi Andra Nugraha. Laki-laki hasil perjodohan orang tuaku dengan anak sahabatnya. Andra memiliki daya tarik yang membuatku terpikat sejak pertama kali ia dikenalkan. Maka aku pun menyetujui hubungan itu. Sejauh yang kutangkap dari sikapnya, dia pun memiliki rasa yang sama. Andra berkulit coklat. Aku memang lebih menyukai laki-laki yang berkulit lebih gelap. Lebih macho menurutku. Rahangnya kokoh terlihat dengan lekukan tulang pipinya. Sorotan mata hitamnya tajam menghipnotis. Terdapat bulu-bulu halus di tepi pipinya, mempertegas kesan maskulin yang ia miliki. Rambutnya hitam lurus, dipotong ala bintang korea Le Min Hoo. Tubuhnya tinggi, tetapi tidak menjulang, begitu proporsional. Secara usia dia juga memenuhi kriteriaku, 29 tahun, lebih tua lima tahun dariku. Yang paling kusukai adalah sifatnya yang selalu hangat saat bicara. Dia seolah punya stok bahan perbincangan yang tak pernah habis. Selalu ada saja ide yang muncul dari bibirnya. Dia juga perhatian, tetapi tidak seperti dibuat-buat atau basa basi. Namun, siapa sangka di balik sifatnya yang menyenangkan itu, dia adalah ular berbisa. Sebuah pesan dari nomor yang tidak dikenal, kuterima pada satu hari menjelang pernikahan. "Di rumah kontrakan kalian. Datanglah, kamu akan tahu sebuah kebenaran," tulis nomor itu. Aku dan Andra memang sudah menyiapkan tempat tinggal untuk kami setelah menikah. Rencananya, paling lama satu bulan setelah resmi menjadi suami istri, kami akan memulai hidup mandiri. Dengan rasa penasaran yang tinggi, aku menuju kontrakan. Entah mengapa saat itu jantungku berdegup kencang saat memasuki jalan kompleks. Aku berpikir untuk meninggalkan sepeda motor cukup jauh, lalu melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki. Sepeda motor besar Andra tampak terparkir di halaman, seketika rasa tidak nyaman merajai hatiku. Pelan kuputar handle pintu depan. Di luar dugaan, ternyata tidak terkunci. Aku masuk dengan melangkah pelan dan perlahan, kemudian terpaku saat suara-suara aneh secara berisik menyapa telinga. Desahan panas dan lenguhan kecil terdengar sahut menyahut dari dalam kamar yang akan kami tempati nanti. Kakiku refleks mengarah ke sana. Dengan tangan yang sudah sangat gemetar, aku memutar handle pintu itu. Aku terhenyak! "Andra!" Suaraku menggelegar, menyeru murka. Sebuah kebenaran yang mengoyak sukma! Laki-laki yang sebentar lagi akan menjabat tangan orang tuaku dalam akad yang sakral itu sedang bergumul panas di atas ranjang yang seharusnya menjadi peraduan kami nanti. Bertumpah peluh, ia tengah mereguk kasih terlarang bersama perempuan lain. "Cahaya?" Ia menyudahi aktivitasnya, melompat dari atas tempat tidur, menyambar pakaian yang sebelumnya terserak di lantai. "Dengarkan dulu," pintanya sambil mengenakan pakaian secara asal. Apalagi yang perlu didengarkan? Semua sudah jelas terjadi di depan mataku. Aku berbalik, meninggalkannya dengan amarah yang menyala. "Cahaya, dia kekasihku," ujarnya menahan langkahku. Aku tersenyum kecut. Ternyata selama ini dia menjalin hubungan dengan gadis lain. Entah apa yang dia pikirankan, menurut pada orang tua dan menjalani perjodohan denganku, tetapi tetap menjalin hubungan bersama perempuan yang ia sebut kekasihnya itu. "Tapi kami sepakat mengakhiri semuanya hari ini. Ini hanyalah salam perpisahan, Cahaya. Setelah ini kami berjanji untuk tidak menghubungi satu sama lain," terangnya. Bullshits! Lelucon apa ini? Beginikah caranya menyampaikan salam perpisahan? Aku tertawa sinis. Lalu membalikkan badan. Netraku mengarah tajam padanya. "Salam perpisahan?" tanyaku. "Iya. Kamu jangan khawatir, kita akan tetap menikah," ucapnya lagi. Ia begitu percaya diri. "Siapa yang masih ingin menikah denganmu?" tanyaku dingin. "Jangan begitu, Cahaya. Kita akan tetap menikah. Semua sudah direncanakan, tidak mungkin dibatalkan," balasnya. "Ikatan yang sudah resmi saja bisa diakhiri karena sebuah pengkhianatan, apalagi yang baru sekedar rencana?" ujarku tajam. "Jangan berlebihan, Cahaya." Laki-laki itu mendekatiku. "Sudah kukatakan ini hanya salam perpisahan," bujuknya. Ia berusaha meraih tanganku, tetapi lekas kutepis. Tidak sudi rasanya disentuh oleh tangan yang tadi ia gunakan untuk menyentuh tubuh lain. "Beginikah caramu memberikan salam perpisahan pada seorang perempuan? Sudah berapa banyak perempuan yang kamu beri salam perpisahan seperti ini?" tanyaku geram, "Pernikahan kita batal!" Aku kembali membalikkan badan, melangkah tergesa meninggalkan laki-laki laknat itu. Bagaimana mungkin melanjutkan pernikahan dengan laki-laki yang tidak bisa menjaga kesetiaan bahkan sebelum ikrar diucapkan? "Jangan gegabah, Cahaya. Semua bisa kita bicarakan baik-baik," ucapnya. "Tidak ada hal baik yang dibicarakan di atas perbuatan yang tidak baik seperti!" balasku tanpa menoleh padanya. "Cahaya, aku mencintaimu!" serunya. "Omong kosong!" "Cahaya, pikirkan! Apakah kamu mau membuat orang tuamu malu? Persiapan pernikahan kita sudah seratus persen. Tidak mungkin dibatalkan!" serunya lagi. Benar! Pesta itu digelar atas nama kedua orang tuaku. Membatalkan pernikahan sama saja dengan mencoreng nama baik mereka. Akan tetapi, menikah dengan laki-laki seperti Andra pun tidak lebih dari sebuah aib
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD