Part 2

1682 Words
Kasar banget elah, nggak ada lembut-lembutnya narik gue nih dua orang prajurit. Menang banyak kelen, karena berhasil megang tangan bidadari. Eaaakkk. Sist and bro yang terhormat! Lu pada harus tau, kalo tangan gue diiket pakek tali daun kelor. Dan itu rasanya pedih banget. Mereka ngikatnya gak kira-kira. Sekarang gue lagi duduk dalam posisi berlutut, natap si Hayam Wuruk. Dia mah enak, duduk di singgahsana nya yang terbuat dari emas! Awas aja lo, emas singgasanah lo gue kasak sampe ilang semua emasnya. Terus, gue jual buat beli boba se-ember. "Katakan!" "Eanjir! Gue kaget setan, lo teriaknya gak kode-kode dulu!" sembur gue, spontan ikut teriak. Nih manusia prasasti hidup, tentunya nggak ngerti lah apa yang gue bilang. Dia cuma natap gue tajam, nggak berkedip. Dia gak bales omongan gue, karena dia nggak ngerti bahasa gahol. Sempet tau, patut di pertanyakan. Mungkin, dia pernah les online di ruang guru? "Apa yang Lingga Buana amanatkan padamu wahai mata-mata?" lagi-lagi, kuping gue panas denger bahasa formal yang keluar dari mulut cowok kuno bin ganteng ini. "Wahai Raja Majapahit, sesungguhnya aku berasal dari planet pluto. Di tugaskan ketua Alien untuk menyelidiki otakmu yang mungkin berdebu." balas gue, ngikutin cara bicara dia. Anjieerr! Pengen ngakak on the roof beneran dong. Huhuhu. Gue tersenyum miring, semiring otak Ria Ricis. Eh, tunggu dulu! Ria Ricis kan, gue? Beneran ternyata otak gue miring. Kirain vertikal. "Aku tengah bersungguh-sungguh! Katakan yang sebenarnya, aku tak ingin bermain-main dengan ucapanmu. Pasti Lingga Buana menyuruhmu karena suatu hal." Dia pengen yang sebenarnya, kan? Yaudah, deh, gue bakal jujur. Mau nggak mau, ini bakal terungkap kan? Oke, tarik napas. Lo pasti bisa RICIS! "Sebenarnya... Aku tuh sukak sama, kamu. Tapi, kamu nggak sukak sama aku. Kamu sukaknya malah sama dia. Aku cuma bisa natap kamu dari belakang. Cuma bisa senyum ngeliat kamu sama yang lain." ungkap gue jujur dari lubuk hati yang terdalam. Salah gue di mana lagi? Setelah gue jujur sesuai mau dia, dia malah makin natap gue tajam. Heran, nggak ngerti lagi sama pikiran cowok. "Seret mata-mata tak berguna ini ke penjara bawah tanah! Satukan dia dengan cacing tanah di sana, biar dia tahu kekuasaanku! Aku tak pernah bermain-main atas ucapanku! Lepaskan dia setelah dia bisa berkata jujur!" Dua prajurit tadi datang lagi, cengkeram lengan gue di sisi kiri dan kanan. Mereka maksa banget, nyuruh gue berdiri. Kan, guenya nggak mau. Sesuatu yang di paksakan itu, ketahuilah sangat menyakitkan. "Woi, lepas! Gue nggak salah apa-apa, enak aja lo main jeblosin gue ke penjara! Gue aduin lo ke Pakde Jokowi, biar lo kena makar! Woooiiii! Hayam Wuruk, nenek moyang sialan! Dasar lo fakboy!" sekenceng-kencengnya gue teriak, sampe dua prajurit ini meringis. Hayam Wuruk, Gajah Mada, dan beberapa orang yang ada di ruangan tadi juga ikut meringis. Rasain kelen! Siapa suruh, main-main sama Sodaranya toa. Baru selangkah dua prajurit ini bawa gue keluar, seorang cewek datang dengan wajah panik. Dia natap gue sekilas, terus jalan ke arah Hayam Wuruk. Dia bersimpuh di bawah, penuh permohonan banget gitu. Tuh, cewek cantiikkk banget! Bininya Hayam Wuruk kali ya? Selain itu, ada juga dua orang lainnya. Dari jauh natap kasihan si cewek itu. Sekilas sih, gue denger mereka ngomong, "Kasihan nasib ndoro putri kita." Oh, apakah itu cewek seorang istri yang tersakiti? Seru kalo gitu ceritanya. Gue bisa jadi pelakor! Eh, astaghfirullahal'adzim, Riciiisss! Gabole, gituuu! Lo harus dapat yang baru, masa demennya ke nenek moyang sendiri? Dia, kan, hakikatnya Kakek-kakek. Lagian Hayam Wuruk kan, sejenis fakboy. "Kakanda, maafkan kelancangaku." ucap tuh cewek. Namanya mereka satu spesies, jadinya ngomong juga sama-sama formal. Terus Hayam Wuruk berdiri. Dia megang kedua lengan tuh cewek. Tatapannya sendu banget. "Berdiri, lah, Adinda. Kau tak pantas bersimpuh seperti itu. Ada apakah gerangan, sampai kau datang semalam ini ke Keraton Agung? Apakah tidurmu terganggu, Adikku?" Oalah... Ternyata oh ternyata gaes, kita salah kaprah! Dia itu Adiknya, bukan Istrinya! Berarti Hayam Wuruk masih jomblo gitu? Belom teken sama ciwi lain? Waahh, ada buka lowongan buat jadi bininya nggak sih, si Hayam Wuruk? Boljug nih, kalo semisal nikah sama dia, jadi permaisuri sekaligus Ratu Majapahit. Pas gue dah di angkat jadi Ratu Majapahit, gue ambil seluruh hartanya, agar jatuh ke tangan gue! Terakhir, gue tinggalin dia pas lagi sayang-sayangnya! Ahahaha, ketawa jahat doloohhh! Gimana-gimana? Udah cocok belom, gue jadi pemeran antagonis di sinetron-sinetron? "Sejujurnya Kakanda, benar adanya. Tidur malamku terusik, sebab kericuhan ini. Kakanda, siapa wanita itu? Benarkah yang aku dengar, bahwa Kakanda akan menyeretnya ke penjara?" Sekilas Hayam Wuruk liat gue. Cuma sekilas pun, dia sempet-sempetnya natap gue tajam. Tega kamu, Mas! Tega! "Sungguh benar dugaanmu, wahai Adinda. Wanita itu datang, sebagai seorang mata-mata. Mau tak mau, aku membuat keputusan untuk dia mendekap di penjara. Ini semua demi kebaikan Majapahit semata." "Kakanda... Tak bisakah, kau mengasihani wanita malang itu? Apakah kau benar-benar yakin, dia adalah seorang mata-mata? Adakah kau mempunyai buktinya, Kakanda?" Wah, iya, anjir! Pinter, lo, sist! Dari awal dia nyeret gue, dia nggak punya bukti konkert kalo gue ini mata-mata. "Aku bukanlah mata-mata! Kalian harus percaya! Tidak ada bukti bukan, jikalau aku adalah seorang mata-mata?" teriak gue, berhentiin percakapaan mereka. Kali ini, kayaknya mereka ngerti bahasa gue. Terpaksa sih, gue ngomong formal, walopun risikonya lidah gue pasti kebelit. "Hah, pada akhirnya kau berbicara dengan bahasa yang bisa aku mengerti." celetuk Hayam Wuruk, matanya terbelalak. Gue sumpahin, mata lo joget! Yaelah, ngomong pakek bahasa gaul salah, ngomong formal salah. Curiga gue, di zaman dulu justru cewek yang selalu salah. "Tunjukkan sebuah bukti, jikalau kau bukanlah seorang mata-mata. Jika kau mempunyai bukti yang kuat, aku bersumpah akan membiarkanmu pergi dengan selamat." "Gue nggak mau pergi dengan Selamat, karena Selamat dah punya pacar. Gue nggak mau jadi PHO. Kalo nggak dengan Selamat, gue bisa pergi sama Congratulation?" pinta gue, sambil ngeluarin jurus andalan. Kedap kedip manjaaahhh! "Kau lihat sendiri, Adinda! Bagaimana aku tak memutuskan untuk memenjarakannya saja, sementara dia berkata bak orang gila dari Goa hantu! Tingkahnya pun sama, membuat amarahku memuncak." Hayam Wuruk nunjuk gue sangsi. Perasaan gue dari tadi salah mulu, yak? Kapan benernya? Cewek yang di panggil Adinda sama sih Hayam Wuruk, ketawa kecil. Telapak tangannya nutupi area mulut. Imut banget ketawanya, mirip Loli-loli kartun anime. Nggak kayak gue, kalo ketawa malah mirip Kuntilanak masa? Hiks. "Kakanda, jika aku jadi kau, aku tak akan tega menyeret wanita ini ke dalam penjara. Tak tega kah, kau, dengan wajah permohonannya tadi? Kau seorang Lelaki, Kakanda. Tak tersentuh kah, hati kau ketika melihat kedipan matanya tadi?" Hayam Wuruk menghela napas. Tatapannya sekarang tertuju ke si Adinda. Adegan sekarang, mereka saling tatap-tatapan kek film Dahlan dan Meleak. "Dyah Nertaja, Adikku. Aku tahu, bahwa kedatanganmu bukan hanya karena kebisingan ini. Katakanlah tanpa berbohong, maksud kedatanganmu kemari?  Jangan kau ikuti wanita itu, yang berbohong ketika aku bertanya. Aku tak suka." Entah sudah yang keberapa kali, Hayam Wuruk The Fakboy jaman old natap gue tajam. Nunggu banget gue, saat mata Hayam Wuruk copot pas ngeliat tajam ke gue lagi. Btw, kok Hayam Wuruk manggil nih cewek Dyah Nertaja? Tadi dia manggil Adinda. Duh, Mas Hayam Wuruk, gak konsisten banget sih Anda. Wah, wah, wah, bukan tipikal calon imam yang baiq nich. Salah gue juga sih, pas pelajaran sejarah hobby nya molor. C'mon, jangan hujat gue wahai netijen maha benar. Gue gak suka sejarah. Alasannya? Karena sejarah itu, kebanyakan kelam. Apalagi, sejarah cinta gue ke dia yang bertepuk sebelah kaki. Huhuhu. Kembali ke laptop! Si cewek yang namanya Dyah Nertaja ini, ketawa cengengesan. Hisshh, cengengesan aja tetap cantik dong. "Ah, Kakanda sangat tahu betul isi hatiku. Kakanda tahu sendiri, kan, dengan diriku yang seorang putri Majapahit ini, membuat aku sulit mempunyai teman." "Lalu?" Hayam Wuruk ngeliat Adeknya curiga. Jangankan lo, gue aja juga curiga. Perasaan gue nggak enak. "Maka dari itu Kakanda, biarkan wanita asing ini menjadi teman sepermainku. Aku mohon, Kakanda." Dyah Nertaja genggam erat salah satu lengan Hayam Wuruk. Wait... Jadi temen gue? Seorang putri Majapahit, mau temenan sama gue yang buluk ini? Waaahhh... Boleehh, boleh, boleh, boleeehh, temenan sama gue. Tapi, harus kuat iman aja sih, denger suara Toa gue. Itu aja syaratnya. Apa perlu, gue tes kuping Nertaja, tahan gak gendang kupingnya gue teriakkin dengan sejuta kerinduan? Agak lama mikir di otak penuh lumut gue, keknya itu ide paling g****k deh. Kalo sempet gendang telinganya Nertaja pamit undur diri karena gak tahan sama teriakan gue, kan bisa gawat. Ujung-ujungnya gue bukan lagi di jatuhin hukuman penjara, tapi hukuman gantung. Zaman kerajaan kan, hukumannya serem-serem. Andai koruptor hidup di zaman ini, jamin mereka auto tobat no mabar. "Tidak bisa, Adinda! Kau belum sepenuhnya kenal selak beluk wanita ini. Bahkan, asal usulnya tak diketahui pasti. Tiba-tiba datang, berada di dalam kereta yang aneh—" "Itu mobil, g****k!" sahut gue membenarkan, sebelum Hayam Wuruk terjerumus ke jalan yang sesat. "Wanita kurang ajar, lagi-lagi berani kau membentak Baginda! Aku sedari tadi berusaha diam, tapi sikapmu membuat amarahku ingin dikeluarkan!" bentak Om Gajah Mada. Bentak gue teroooszzz Oooommm, sampe mampoooszzzz! Tiati, Om. Marah-marah mulu, entar darah tinggi loh. "Tak cukupkah para Dayang Majapahit menemani sepimu, Adinda?" sambung Hayam Wuruk, kalo di denger-dengar puitus sekali. Terharu aku, Mas'e. Kalo gini caranya, NIKAHI AKU, MAS! CEPAT, SERET AKU KE KUA! Awokawok! "Para Dayang berbeda, Kakanda. Mereka juga sama, terlalu takut berbicara banyak kepadaku. Mereka tidak semenarik wanita itu. Ayo, lah, Kakanda... Aku ingin dia! Perbolehkan aku mengangkatnya menjadi teman." Keliatan Hayam Wuruk lagi mikir-mikir, rengekkan Adiknya. Nggak lama, dia noleh ke Om Gajah Mada. Mereka bisik-bisik tetangga, ngacangin kami yang diam nyimak. Kacangin aja teros. Dunia milik berdua, yang lain ngungsi! "Baiklah..." ucap Hayam Wuruk. Sesi bisik-bisik manjah mereka berdua, dah abis. Dyah Nertaja senyum-senyum natap Hayam Wuruk. Sementara gue, bengong kek bocah t***l. Nggak ngerti gue, mereka bahas apaan. "Aku sudah membuat keputusan di bantu oleh Mahapatih Gajah Mada. Perlu di ketahui, Adinda, bahwa keputusan ini tak dapat kau tentang. Keputusan seorang Raja, adalah hal yang mutlak." Lebay! Alay! Jablay! Mutusin yang jadi temen Adeknya aja seribet ini. Pakek-pakek mutlak lah, udah kayak perancangan Undang-undang ae. "Menjadikannya sebagai teman untukmu, mungkin saja bisa menimbulkan rasa tinggi hati di dirinya. Maka dari itu, aku beserta Mahapatih telah mengambil kesepakatan agar wanita ini menjadi seorang Dayang saja." "What?!"
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD