63. Permohonan Kuli Bangunan

1315 Words
Saatnya dimulai. Ketika semua anggota besar keluarga Pak Damar dikumpulkan jadi satu di ruang keluarganya, semuanya seakan tengah dipersiapkan oleh Bu Tari untuk memulai rapat serius kali ini dan Pak Damar pening bukan main merasakan tekanan dari berbagai arah. Dia tidak diberi kesempatan untuk memilih ketika bersama dengan Kirana. Dan sekarang pun, entah apa yang akan mamanya katakan hingga mengumpulkan semua orang seperti ini. Kalau forum ini digunakan untuk membahas tentang dirinya dan Anggi, maka sudahlah. Pak Damar tidak tahu harus melakukan apa lagi. Ketika yang dicintainya memilih untuk tidak memilihnya di saat mereka bisa saja egois dengan memikirkan diri mereka masing-masing. "Mas, kamu pasti sudah tahu kenapa Mama mengumpulkan semua orang di sini." Sementara Pak Damar tidak berekspresi apa-apa, Silvi yang duduk bersebelahan dengan kakak keduanya hanya melempar kode ingin tahu, tapi kakaknya membalas kalau Silvi harus diam dulu sekarang. Alhasil, Silvi diam saja. Dia memang memutuskan langsung pulang setelah mengantarkan Kirana dan ibunya ke kontrakan. Ada napas dan juga tatapan lelah yang tanpa sadar Bu Tari tunjukkan di depan semua orang sampai suaminya yang sedari tadi duduk anteng akhirnya ikut angkat suara juga. "Ma, tidak seharusnya keputusan dibuat sepihak sementara Mama menghadirkan semua anak-anak di sini. Jadi untuk apa? Damar sudah dewasa, Ma. Lagi pula, Papa ada janji dengan seorang tentang menjaga putrinya, dan Mama sudah tahu sejak dulu tentang itu. Kenapa hanya karena dasar kasihan, Mama korbankan anak kesayangan Mama sendiri? Papa tahu ada yang Damar sukai." Silvi yang otaknya mendadak buntu tetap tidak mengerti arah pembicaraan kedua orang tuanya ini kemana. Janji, menjaganya, putri? Ah, Silvi tidak mengerti. "Tapi kebahagiaan Anggi sekarang juga penting, Pa. Baru stadium 2, kita pikirkan nanti dia mau di bawa ke luar negeri atau kita yang mendatangkan dokter dari luar negeri?" "Ini maksudnya apa sih, Ma? Kok ada Mbak Anggi segala? Memangnya kenapa harus Mama yang ikut memikirkan Mbak Anggi, dia kan punya keluarga sendiri, kaya raya juga." Pertanyaan yang baru saja Silvi lontarkan langsung disambut penjelasan oleh sang mama. "Mbak Anggi mau menikah sama Mas Damar, Dek." "WHAT? Mama bercanda?!" pekikan terkejut Silvi langsung keluar begitu saja. "Mas Damar kan suka sama perempuan lain, kenapa harus sama Mbak Anggi yang sakit-sakitan?" "Jaga bicara kamu, Silvi! Mama tidak pernah mengajari kamu tidak sopan membicarakan orang." Silvi menggeleng dengan tatapan yang sulit diartikan. Kemudian melihat ke arah kakak pertamanya yang tak lain adalah Damar hanya diam di tempat dengan ekspresi yang bahkan Silvi tidak dapat mengartikannya. "Mas, Mama tanya sama kamu, apa benar apa yang dikatakan sama Adek? Kamu menyukai perempuan lain?" Pak Damar yang sedari tadi hanya diam menatap titik kosong di udara lantas menjawab pertanyaan mamanya. "Apa itu penting untuk Mama?" Bu Tari langsung mencelos mendengar putranya berkata seperti itu. Kalau boleh memilih, beliau sebenarnya juga tidak ingin memaksakan dan akan setuju-setuju saja dengan pilihan Pak Damar sendiri. Hanya saja, ada seorang ibu yang begitu memohon kepadanya atas nama putrinya. Bu Tari juga memikirkan semua orang. Dia tidak tega melihat Anggi. Dirinya juga memiliki putri, anak paling kecil sendiri, Silvi. Bagaimana kalau hal seperti itu yang menimpa putrinya, pasti Bu Tari akan melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan oleh ibunya Anggi bersama dengan Bu Ghina. Beliau akan memohon untuk kebahagiaan putrinya. Anggi pantas untuk sembuh. "Mas, Mama tahu ini berat buat kamu karena nantinya, kamu sendiri yang menjalani pernikahan ini. Tapi Mas, pernikahan itu tidak selamanya tentang cinta. Anggi anak yang baik, perlahan-lahan, Mas pasti bisa menghapus perasaan Mas sama perempuan yang Mas cintai sekarang. Dia juga akan mengerti kalau Mas memilih yang lebih membutuhkan, bukan karena napsu." Ada senyuman miris yang tercetak di sudut bibir Pak Damar ketika Bu Tari mengatakan itu semua. "Jadi, aku memang tidak diberi pilihan kan, Ma? Apa susahnya bilang iya?" "Damar!" ganti papanya yang menegur. "Pernikahan bukan mainan, Nak. Kalau kamu tidak menyanggupi, katakan tidak saja. Jangan pedulikan omongan Mama kamu karena kamu sendiri yang bakalan menjalani pernikahan itu. Ya kalau kamu mampu menahan diri dan bisa membuat Anggi bahagia, tapi kalau tidak, kamu sama saja menyakiti Anggi yang sedang sakit. Dia bisa lebih sakit lagi dari sebelumnya." Seandainya saja ada yang lain lagi, yang bisa membantu Pak Damar untuk membuat Kirana mengerti. "Orang yang aku cintai juga menginginkan hal yang sama dengan Mama, Pa. Dia ingin aku menikahi Anggi seperti keinginan perempuan itu." "Ya Allah, siapa perempuan yang hatinya seluas samudra itu?" "Untuk apa?" balas Pak Damar pelan, terdengar lesu sekali. "Kami tidak bisa bersama juga, kan? Pernikahan ini pasti terjadi, kan?" Bu Tari yang baru mendengar tentang hal ini seakan kehilangan katanya. Dia kira, putra pertamanya ini memang belum memiliki calon sama sekali, makanya ada yang pasti, butuh bantuannya penuh pula, Bu Tari memperjuangkan. Namun, setelah mendengar semua ini, Bu Tari lebih sedih melihat putra pertamanya yang hampir tidak pernah mengeluh di depannya tiba-tiba terlihat putus asa sekali seperti ini. Di sisi papanya Pak Damar, beliau jelas kurang setuju tapi bukan berarti beliau melarang Pak Damar dengan Anggi. Hanya saja, dulu sekali ketika masih masa-masa sulit, ada tukang bangunan yang begitu berjasa bagi hidupnya karena menyelamatkan dirinya di saat semua orang memilih menjauh. Dulu, keluarga Pak Damar tidak sekaya sekarang. Semuanya tetap butuh proses yang tidak instan untuk bisa di titik sekarang. Papanya Pak Damar dulu pernah dibegal dan lehernya terkena celurit. Ada beberapa orang yang melihat kejadian perampokan itu. Namun, dari beberapa orang itu, hanya seorang kuli bangunan yang kebetulan sedang istirahat makan siang yang berbesar hati dengan membawa cangkul dan berteriak keras sekali mencari bala bantuan untuk ikut membantu. Bermodalkan cangkul itu, kuli bangunan tersebut menantang sang perampok. Jadi, fokus perampok itu malah ke kuli bangunan sementara bala bantuan datang mengevakuasi papanya Pak Damar yang sudah berdarah-darah. Sementara tukang bangunan itu tetap tidak gentar di tempatnya dengan mata memerah karena tidak suka dengan k*******n yang telah perampok itu lakukan. Alhasil terjadi pertarungan sengit yang tidak lama karena perampok itu berhasil dilumpuhkan bermodalkan dengan cangkul bekas mengambil pasir yang masih ada sakit semen-semennya. Sejak saat itu, papanya Pak Damar dan kuli bangunan itu menjadi sahabat dekat meksipun bisa dibilang mereka adalah orang asing. Kuli bangunan tadi ikut bekerja dengan papanya Pak Damar untuk membangun rumah yang sedang ditinggali mereka saat ini. Hanya saja, beberapa waktu berlalu, kuli bangunan ini sakit. Dan sebelum meninggal, kuli bangunan itu berpesan untuk memberikan uangnya yang ditabung untuk dibawa pulang supaya diberikan kepada istri dan putrinya. Hanya saja, beliau hanya sempat menyebut nama istri dan putrinya, tidak dengan alamatnya. Beliau juga dimakamkan dengan begitu terhormat di daerah setempat. Dan setiap tahun, keluarga Pak Damar tidak ada yang pernah absen berziarah ke makam beliau. Kasihan, tidak ada yang tahu keluarnya dimana, pun tak ada yang mencarinya selama ini. Dan sebagai balas budi, sebenarnya bukan balas budi juga papanya Pak Damar menyebutnya. Beliau ingin sekali menjadikan Damar sebagai penjaga dari putri kuli bangunan tadi yang katanya waktu sebelum meninggal itu, putrinya masih kecil. Ingin menjadikannya penjaga bukan sebatas penjaga, tapi suami. Karena itu papanya Pak Damar yang tak lain bernama Pak Ronggo ini kurang setuju dengan keputusan yang seolah-olah dibawa untuk dibahas tapi sebenarnya sudah dijadikan sebagai hal yang pasti tanpa musyawarah sama sekali. Namun pada akhirnya, bukankah Pak Damar sama-sama menjadi korban? Pertama, korban karena ingin papanya untuk membalas budi dan yang kedua karena mamanya kasian dengan Anggi. Pak Damar sama-sama tidak bisa memilih, bukan? Tidak dengan pilihan papanya, tidak juga dengan pilihan mamanya. Hanya saja, dia juga hanya diberi satu pilihan oleh Kirana, tidak ada pilihan yang lain lagi. Dirinya harus menikah dengan Anggi, tidak dengan yang lain. Itu adalah hal yang pasti. Janji papanya, semuanya, Pak Damar tak mampu memenuhinya. Sebenarnya Bu Tari sudah tahu tentang cerita ini. Beliau juga yang menjadi saksi saat suaminya pulang keadaannya sudah seperti itu, dan kuli bangunan tadi begitu tulus membantu. Hanya saja, sekarang, Anggi yang lebih membutuhkan bantuan semua orang. Dan Bu Tari percaya kalau putra kebanggaanya ini mampu memikul beban karena sedari kecil, memang Pak Damar yang terbiasa berkorban untuk keluarganya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD