Bab 2

1016 Words
“Mas Marcell!” Aku tercengang kaget saat melihat pria itu sudah berada di dalam kamar rawatku saja. Pria yang memiliki paket hampir sempurna. Alis hitam tebal, hidung bangir, rahang kokoh serta wajah yang pokoknya tampan paripurna! Namun sayangnya, semua itu adalah sebuah topeng kepada sifat aslinya yang mengalahkan iblis! “Mas.. maaf tadi aku habis jalan keliling-keliling sebentar.” Aku harus pura-pura. Tidak boleh menunjukkan ketakutanku padanya. Jika tidak bisa-bisanya ajalku sampai sebelum waktunya. “Kamu sudah baikan hmm? Kenapa tidak samperin saja mas ke ruangan kalau kamu merasa bosan.” “Aku nggak mau mengganggu mas yang sedang bekerja.” “Jalan-jalan kemana saja tadi kamu?” “Cuma keliling-keliling koridor. Sepertinya aku mau pulang kerumah. Apakah bisa?” tanyaku padanya. “Dokter Sandra bilang kalau kamu masih butuh perawatan sayang. Maka untuk saat ini, maaf mas tidak bisa mengabulkan permintaanmu itu. Kamu harus sembuh total baru bisa pulang kerumah.” ‘Menunggu aku mati, setelah itu jasadku kalian bakar. Begitu maksudmu mas?’ batinku dalam diam. Aku seketika menyunggingkan senyum “Iya sudah, aku juga mau sembuh mas.” ujarku sambil menatap tepat pada netra berkembar miliknya. “Oh iya mas, kamu lihat Nita nggak?” Kulihat Marcell mengerutkan keningnya, menatap aneh padaku “Anita maksudmu? Sayang, apa kamu lupa kalau Anita temanmu itu saat ini sedang berada di luar negri.” “Lalu siapa yang tadi itu datang ke bangsalku.” gumamku pelan. “Kamu apakah berhalusinasi lagi Jessica? Apakah kamu melihat Anita masuk ke kamarmu?” tanya Marcell padaku. “Iya, aku malah curhat padanya.” jawabku cepat. “Sepertinya kondisi kamu semakin parah sayang.” ujar Marcell padaku bersamaan dengan masuknya seorang wanita yang mengenakan snelli dan stetoskop yang menggantung pada lehernya. Aku mengenalnya. Dia adalah dokter Sandra, spesialis kejiwaan yang sekarang ini sedang menangani aku. “Dok, istri saya sepertinya kumat lagi berhalusinasi.” “Dokter Marcell, jangan khawatir. Aku akan berusaha semampuku untuk menyembuhkan istrimu.” Setelah itu kulihat seorang suster menolak masuk sebuah troli yang isinya adalah bermacam jenis obatan di atasnya. Lalu setelah itu suster tadi lantas menukar cairan infus ku kemudian menyuntik sesuatu ke dalamnya. “Ini obatnya diminum ya.” dokter Sandra menyerahkan satu tablet obat berwarna kuning kepadaku. Mendadak bauan sitrus yang begitu pekat sekali menusuk indra penciumanku, membuat pikiranku seketika teringat akan dokter Rafa. “Jangan diminum obat itu, berikan apapun alasanmu agar mereka tidak memaksamu untuk meminum obat itu.” Aku tidak bisa melihatnya, namun aku bisa mendengarkan suara itu berbisik. Bahkan nafas hangatnya juga bisa aku rasakan menerpa kupingku. “Sayang.. Kok bengong. Ayo diminum obatnya, pengen sembuhkan?.” “Oh! I-iya mas.” Tidak mau ada yang curiga, aku memasukkan obat itu ke dalam mulutku kemudian menenggak habis air putih yang diulurkan oleh Marcell padaku. “Makasih mas.” “Sama-sama sayang.” jawab Marcell dengan senyuman puas yang bisa aku lihat, tercetak pada wajah tampannya. “Sekarang kita keluar saja dulu, biarkan pasien istirahat setelah meminum obatnya.” ujar dokter Sandra pada yang lainnya. Menit kemudiannya, setelah semua orang melangkah keluar dari bangsal. Aku dengan cepat memuntahkan kembali tablet obat tadi itu yang aku sembunyikan di bawah lidahku. Lalu dengan cepat mencuci mulutku menggunakan air putih. “Hey, sekarang muncul kamu. Aku tahu kamu ada disini.” bicaraku dengan sedikit lantang. “Ck! Kamu berisik! Aku tidak akan memunculkan diriku jika kamu memanggilku dengan cara tidak sopan seperti itu.” Seketika aku memutar malas kedua bola mataku “Iya sudah, aku minta maaf. Sekarang muncul lah aku mohon sama kamu.” pintaku dengan sungguh-sungguh. Tiba-tiba. Bayangan yang samar di samping kiriku kini berubah bentuk menjadi manusia utuh. Dan tepat sekali seperti tebakanku. Ternyata dokter Rafa. “Kamu ternyata pintar juga. Andai saja obat tadi itu kamu minum. Maka bertindak balas dengan cairan yang disuntik ke dalam cairan infus itu. Kamu akan mengalami halusinasi yang lebih parah.” “Aku tidak berhalusinasi. Tadi aku melihat Anita beneran masuk ke sini dan kami mengobrol berdua.” aku tetap kekeh mempertahankan diriku sendiri. Aku tidak gila seperti yang mereka katakan! “Dia memang Anita temanmu.” “Lalu kenapa? Kenapa mereka membuatnya seolah aku mengalami halusinasi?” tanyaku tidak berpuas hati. Apa yang sedang terjadi sebenarnya. “Kisah hidupmu tidak sesederhana yang kamu pikirkan. Nanti malam aku akan menunjukkan semuanya padamu. Sekarang istirahatlah.” Setelah berkata seperti itu, pria misterius itu sekali lagi menghilang seenak jidatnya. Bermacam pertanyaan yang bermain di pikiranku saat ini. Aku mau menanyakan pada Rafa. namun pria itu sudah hilang entah di mana keberadaannya. Sehingga aku hanya bisa memasrahkan diri menunggu malam menjelma. Sepergiannya Rafa, aku membongkar laci yang berada di samping brankar pasienku, untuk mencari hape. Namun nihil! “Mustahil aku tidak punya hape, sedangkan ini tahun 2021. Apa 'sekolot' itu kah diriku sehingga hape saja tidak punya.” gumamku dengan nada rendah. Aku lantas menutup lacinya kemudian kembali menyarungkan sandalku, niat mau nyamperin dokter Rafa ke ruangannya. Namun mendadak langkahku di halangi oleh dua orang pria yang mengenakan setelan hitam khas ajudan. “Maaf, nona harus istirahat dan tidak dibolehkan keluar dari kamar pasien ini.” “Aku mau ketemu sama suamiku, apakah itu juga tidak boleh?” tanyaku pada kedua pria kekar itu. “Ini perintah dari tuan Atmadja sendiri, maaf kami tidak bisa mengizinkan.” “Atmadja.. Wisnu Atmadja!” tanyaku dengan hati-hati. “Benar sekali, ini adalah perintah langsung dari tuan Wisnu Atmadja.” Lantas aku tutup kembali pintu bangsalku “Wisnu Atmadja! Papa.. apakah papa juga komplotannya Marcell?” desis ku yang masih coba menebak kondisi saat ini. Setelah aku terbangun dari mimpi buruk itu, ada peristiwa yang bisa aku ingat dan ada peristiwa yang aku juga tidak bisa mengingatnya. Seperti kondisiku saat ini. Jelas-jelas papaku bermarga Atmadja, kenapa namaku malah mengikuti marganya mama ‘Jessica Amani Argawijaya.’ “Ada yang aneh, akan ku tanyakan pada Rafa setelah aku bertemu dengannya nanti malam. Namun bagaimana aku bisa pergi dari ruangan ini. Sedangkan di luar sana dua orang ajudan sedang berjaga.” Aku sekali lagi membuang napas kesal. “Lama-lama aku bisa gila beneran.” gumamku yang kembali melabuhkan bokongku di atas kasur.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD