Chapt 2. Hold Tightly to Advice and Promise

2588 Words
---**--- Rumah Cipto Pracandra, Jakarta, Indonesia., Kamar Caca., Malam hari.,             Lamunan Caca tidak terhenti sejak 10 menit yang lalu dia selesai membersihkan diri. Barang-barang yang ada di kamarnya saat ini, kebutuhan pakaian serta beberapa barang lainnya yang mungkin bisa dia pakai saat dia tinggal di New York nanti. Semua barang-barang itu menjadi fokus lamunannya.             Dia hanya bisa diam dan duduk di ranjangnya. Wajahnya sempat memerah sebab menahan isakan yang tak bisa dia bendung.             Betapa beruntungnya dia memiliki Kakak Ipar seperti istri Abangnya. Hatinya sangat tulus, bahkan tidak hanya menganggapnya sebagai Adik Ipar saja.             Kini justru dirinya semakin segan dan tidak tahu bagaimana caranya membalas semua kebaikan Kakak Iparnya, Indri terhadapnya.             Pakaian kuliahnya dan beberapa perlengkapan tidurnya disana sudah lengkap. Kakaknya membeli itu semua untuk dirinya.             Bagaimana Caca tidak sedih. Kakak Iparnya rela menghabiskan uang sampai puluhan juta hanya untuk membeli keperluannya saja. Bahkan dia atau keluarganya sama sekali tidak meminta bantuan keuangan pada Kakak Iparnya, Indri.             Caca menyapu air mata yang hampir menetes di sudut mata kirinya. Dia menjangkau satu tote bag di dekatnya, terdapat lambang bermerk disana.             Pakaian yang dibelikan Kakak Iparnya sungguh mahal. ‘Ya Allah … terima kasih kau kirimkan Kakak Ipar berhati malaikat untukku …’ ‘Tapi bagaimana caraku membalas Mbak Indri …’ Bathinnya seraya mengutarakan rasa harunya. … Kamar Cakra dan Indri.,             Indri menyapu air mata yang sempat menetes di wajah sang suami. Dia tersenyum manis, lalu memeluk pria yang sangat dia cintai dengan tulus dan apa adanya. “Mas, jangan nangis. Caca itu Adikku. Aku cuma mau kasih yang terbaik selagi masih ada yang bisa aku lakuin untuknya …” “Karena, kalau dia sudah tinggal disana. Aku gak bisa apa-apa lagi selain doa …” “Aku gak akan bisa ngeliat dia sedih, karena jauh dari keluarga.” Ucapnya sembari ikut meneteskan air mata di kedua sudut matanya.             Cakra memeluk erat istrinya. Dia mengecup lama kening sang istri. Betapa beruntungnya dia memiliki istri begitu pengertian. Tidak salah jika dia bekerja keras dulu demi meminang sang istri. Bahkan dia membuang rasa malunya untuk pekerjaan apapun, selagi itu halal. “Makasih, Sayang. Mas gak tahu bagaimana cara balas kebaikan istri Mas ini.” Gumam Cakra menahan isakannya.             Indri melepas pelukan mereka. Kepalanya menggeleng pelan seraya tidak menyetujui perkataan suaminya barusan. “Mas ini ngomong apa.” Dia kembali mengusap lembut wajah lelah sang suami. Wajah lelah seharian bekerja demi menafkahi keluarga mereka. “Mas, aku ini istri Mas. Mas gak perlu balas apa-apa.” Dia tersenyum, mencoba menenangkan perasaan sang suami. “Mas …” Kalimatnya terjeda. Dia menatap lekat sang suami dan kembali melanjutkan kalimatnya. “Kasih sayang Mas dan kesetiaan Mas sama keluarga kecil kita, itu sudah lebih dari cukup.” Ucapnya mengulas senyuman tipis, meredakan rasa harunya jika mengingat bagaimana suaminya sangat tulus mencintainya.             Cakra kembali membawa sang istri ke dalam pelukannya. “Kamu ngomong apa, Dek. Mas gak bisa melihat wanita lain. Kamu wanita kedua yang Mas cintai setelah Ibu dan Mama …” “Sampai nafas Mas berhenti, hati dan jiwa raga Mas cuma milikmu, Dek.” Gumam Cakra memeluk erat sang istri.             Indri tersenyum bahagia. Entah kenapa, kalimat suaminya yang seperti itu sangat damai di hatinya. “Mas … aku mau bantu Caca nyiapin semua barang-barangnya. Biar nanti pas dia berangkat, gak ada yang ketinggalan.” Ucapnya kembali melepas pelukan mereka.             Cakra mengangguk paham. Dia membelai lembut wajah sang istri. “Iya, Sayang.” Jawabnya mengecup singkat bibir sang istri. “Ya sudah, Mas mau masukin becak ke garasi dulu ya.” Cakra mengajak sang istri untuk beranjak dari posisi duduk mereka sejak tadi.             Indri mengangguk, tidak lupa dia membawa mukenah cantik yang baru saja dia beli dari butik langganannya. … Kamar Caca.,             Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan Caca sejak tadi. Tokk… Tokk…  Tokk… “Boleh Mbak masuk, Ca ?”             Terdengar suara Kakak Iparnya dari balik pintu kamarnya. “Iya, Mbak masuk aja. Gak dikunci kok.” Jawabnya cepat. Dia langsung menyapu wajahnya, menyembunyikan ekspresi sedihnya. Ceklek…             Indri masuk ke dalam kamar Caca, dan menutup pintu tanpa merapatkannya. “Uda sholat isya ?” tanya Indri mulai menarik 2 koper besar yang ada disana. Dia duduk di lantai sembari membuka 2 koper tersebut.             Caca mengangguk pelan. “Uda, Mbak … dari tadi.” Jawabnya lalu melihat mukenah yang dibawa oleh sang Kakak Ipar. “Ini mukenah siapa, Mbak ? Cantik sekali nampaknya.” Dia mengambilnya.             Indri yang tengah membongkar semua tote bag, dia melirik sekilas ke arah Caca. “Oh, itu mukenah untukmu, Ca. Biar ada cadangan disana. Itu nanti diletak di koper aja. Mukenah yang sekarang dipakai, nanti dipegang. Biar bisa sholat kalau lagi di pesawat.” Jelas Indri menjawab pertanyaan Adik Iparnya.             Caca terdiam. Gerakan tangannya mulai melambat. Lagi-lagi, ada hal lain yang dilakukan oleh Kakak Iparnya dan membuat dirinya merasa malu. “Mbak … Caca kan sudah punya 2. Kenapa Mbak beli lagi. Sayangkan uangnya.” Ucap Caca melihat Kakak Iparnya yang tampak sibuk melipat beberapa pakaian yang baru saja mereka beli tadi siang.             Indri meliriknya sekilas dengan senyuman merekah. “Iya. Kan gak apa-apa untuk cadangan disana. Jadi kalau malas nyuci, mukenahnya sudah kotor. Bisa pakai yang mana aja.” Jawab Indri asal.             Caca kembali terdiam. Dia tidak tahu harus apa sekarang. Menurutnya, Kakak Iparnya sudah berlebihan. “Mbak … makasih Mbak uda mau beli barang-barang Caca. Caca gak tau gimana cara …”             Indri melihatnya, langsung menyelanya cepat. “Ca … Mbak gak mau kalau itu dibahas lagi, okay ?” “Lebih baik, ini bantu Mbak beresin barang-barangmu. Biar malam ini selesai. Besok kita cek lagi, apa-apa aja yang kurang.” Jawab Indri dengan ekspresi berbeda, menaikkan kedua alisnya.             Caca semakin terharu. Jarak mereka cukup dekat. Dia tidak tahan dan sedikit bergeser ke arah sang Kakak Ipar. Caca langsung memeluknya dari sisi samping. “Makasih, Mbak …” “Harusnya Mbak gak usah beli barang sebanyak ini.” Gumam Caca mulai menangis. Suaranya sedikit tercekik, menahan sesak haru di dadanya.             Indri tertegun. Dia menghentikan kegiatannya. Dan membalas pelukan sang Adik Ipar. “Hey … kok malah nangis.” Dia membelai kepala Caca yang menyusup di bahunya. “Uda jangan nangis. Ini lebih penting.” Pungkas Indri seraya mendiamkan Caca, sekaligus membuat perasaannya kuat dan tidak ikut menangis.             Caca justru menggelengkan pelan kepalanya. Dia tidak tahu kenapa, sejak tadi siang ingin sekali menumpahkan air matanya. Dan dia pikir, sikap Kakak Iparnya malam ini membuatnya tidak tahan. “Mbak … pakaian Caca kan masih banyak yang bagus. Harusnya …”             Indri menyela cepat. “Gak ada harusnya-harusnya lagi!” “Udah, jangan nangis …” Indri melepas pelukan Caca.             Dia menyeka air mata yang membasahi pipi Adik Iparnya. “Dengar, Mbak …” “Udara disana sama disini itu beda. Apalagi disana banyak musim …” “Pokoknya, Mbak mau Caca nyaman disana … biar kuliahnya gak terganggu.” Jelas Indri dan kembali membuat Caca menitihkan air mata.             Indri tidak tahan, dia mulai mengeluarkan air matanya. Dia tahu, Caca merasa tidak enak hati padanya.             Tapi sebagai seorang Kakak, Indri merasa perlu melakukan ini semua. Karena dia sadar, sebentar lagi dia tidak bisa melihat Adik Ipar yang sudah dia anggap sebagai Adiknya sendiri. “Tapi Mbak udah terlalu banyak ngasih Caca …” Gumamnya masiih terus menangis dan sesenggukkan.             Indri tersenyum lagi. Dia terus membelai wajah Caca dengan gerakan lembut. “Gak … ini tugas Mbak sebagai seorang Kakak. Pokoknya Mbak mau kamu fokus kuliah disana …” “Jangan mikirin apa-apa …” “Disana jangan kerja apa-apa …” “Biar nanti setiap bulan dikirim uang bulanan sama Mas Cakra.” Jelasnya panjang lebar.             Caca memejamkan kuat matanya, wajahnya sedikit tertunduk ke bawah. Dadanya sangat sesak sekali. Seketika dirinya merasa sangat menyusahkan keluarganya sendiri karena keinginannya yang begitu kuat.             Dia pikir, keluarganya sudah menghabiskan uang banyak untuk segala administrasi dan keperluannya untuk tinggal di Negeri berjulukan Big Apple. “Mbak … makasih banyak …” Gumam Caca dengan bibir bergemetar.             Indri mendongakkan wajah Caca. “Ingat pesan Mbak ya … harus jaga diri disana …”             Caca mengangguk cepat. “Jangan lupa sholat … setiap pagi wajib sarapan. Jangan suka pesan makanan siap saji. Jangan terlalu dekat sama cowok …” “Pilih teman yang baik.” Indri menasehati Caca dengan hati begitu tenang. Sebab dia tahu, kalau Caca akan hidup sendiri disana, dan menentukan langkahnya seorang diri. “Iya, Mbak. Caca pasti jaga diri disana …” Jawab Caca dengan suara masih bergetar.             Indri mengingat sesuatu yang wajib dia katakan pada Caca. “Oh iya satu lagi …” Dia membuka tas mukenah yang dia bawa untuk Caca dan mengambil selembar bukti transfer uang. “Ini bukti transfer. Mbak udah kirim uang 200 juta buat pegangan disana. Buat biaya hidup sampai beberapa bulan ke depan. Tapi nanti setiap bulan, Mas Cakra bakal transfer uang di rekening Caca.” Jelas Indri menatap Caca dengan senyuman.             Caca kembali menangis dan memeluknya. “Mbak kenapa transfer uang sebanyak itu … Caca uda dikasih tabungan sama Ayah, Mbak …” “Caca bisa hemat-hemat disana.” Ucapnya memeluk erat sang Kakak Ipar. Tangisnya sungguh tak bisa dibendung lagi.             Indri tersenyum mendengar pernyataan Caca. Dia tentu tahu bagaimana biaya hidup disana. Dan dia juga punya beberapa tabungan lagi sebagai uang jaga-jaga untuk Caca. Penghasilan dari usaha kecilnya berjualan onlinee. “Boleh hemat. Tapi kalau untuk makan, gak boleh hemat-hemat ya. Dan lebih baik beli sayur, masak sendiri.” Ucapnya seraya menasehati Caca yang mulai mengangguk paham. “Iya, Mbak. Caca pasti ingat semua pesan Mbak. Makasih banyak, Mbak. Caca janji, Caca bakal lunasin semua hutang-hutang Caca.” Ucapnya masih terus menangis dan terisak.             Indri menggeleng, menolaknya. “Gak …  Bunda gak perlu balas apa-apa. Tapi kalau mau dibalas. Nanti balasnya ke Cantika aja ya, Bunda.” Ucap Indri seraya memanggil panggilan untuk putrinya, Cantika Pradierja.             Caca semakin memeluknya erat. Tiba-tiba dia mengingat keponakan semata wayangnya. Dia sudah pasti tidak bisa lagi menciumnya setiap pagi jika sudah tinggal di Amerika. “Nanti kalau Caca disana, kita video call setiap pagi ya, Mbak.” Ujar Caca dan membuat Indri kembali menitihkan air mata. Sebab dia tahu, Caca sangat menyayangi putrinya. “Iya … nanti kita video call setiap hari.” Ucap Indri dengan isakan turut menyapa.             Sejak 20 menit yang lalu mereka berdua berbicara di kamar, beberapa orang enggan masuk dan bergabung dengan mereka. Sebab mereka tahu, Indri dan Caca butuh waktu berdua lebih banyak selama Caca masih berada di Indonesia. ---**--- 2 Hari kemudian., Bandara Soekarno Hatta, Jakarta, Indonesia., Siang hari.,             Caca masih memeluk sang Ibu, Mayang Dierja. Sejak mereka sampai di bandara. Caca terus memeluk Ibunya dan berulang kali mengecup keningnya. “Bu … doain Caca ya …” “Caca janji, Caca bakal cepat selesaikan pendidikan, biar cepat pulang.” Ucapnya dengan air mata terus membasahi wajahnya.             Mayang terus menangis dan mengangguk lemah. “Iya, Nak. Ingat pesan Ibu, ya. Jangan lupa sholat. Jangan ikuti pergaulan bebas disana. Jaga mahkota kita.” Ucapnya dengan nada begitu pilu. Sejujurnya dia tidak sanggup ditinggalkan oleh anak perempuan satu-satunya. Tapi, dia juga tidak ingin mengurungkan cita-cita dan harapan putrinya selama ini. “Iya, Bu. Caca janji. Caca pasti ingat pesan-pesan kalian.” Jawabnya lalu melepas pelukannya. Dia kembali memeluk sang Ayah, memeluknya erat.             Pria pertama yang sangat dia cintai dan sayangi. Pria yang tidak pernah mengatakan tidak untuk segala cita-citanya. Pria yang kini telah mendukung penuh semua impian yang akan dia raih. “Ayah harus sehat-sehat. Caca janji, Caca bakal cepat pulang ke Jakarta.” Ucapnya memeluk erat.             Cipto Pracandra, sejujurnya dia sangat sedih. Tapi dia pikir, dia tidak perlu menambahi air mata dalam kepergian putri tercintanya meraih cita-cita. Karena baginya, ini hanya sementara. Dan putrinya akan kembali lagi ke Jakarta setelah dia menyelesaikan pendidikannya. “Sudah, jangan nangis lagi. Ayah yakin, Caca kuat …” Dia mengelus sedikit kasar punggung sang putri, seraya menguatkan perasaannya. “Mas Cakra sudah menunggu. Ayo semangat!” “Anak Ayah ke Amerika kan untuk sekolah. Cuma 4 tahun aja. Sudah-sudah. Kita bisa telponan video call kalau Caca sudah sampai disana.” Ucap Cipto dengan nada tegar.             Caca mengangguk paham. Entah kenapa, bahasa sang Ayah membuatnya semakin percaya diri. “Iya, Yah. Caca sayang sama Ayah.” Ucapnya lagi lalu mencium telapak tangan kanan sang Ayah yang selalu digunakan untuk mengais rezeki setiap hari. “Iya, ya sudah cepat. Nanti ketinggalan pesawat.” Balasnya membelai wajah sang putri untuk terakhir kalinya.             Caca tersenyum. “Ca. Ayo cepat, Dek. Udah waktunya ini.” Cakra mengingatkan sang Adik.             Indri yang tengah menggendong Cantika, dia mendekati Caca dan kembali memeluknya. “Ingat pesan Mbak ya ?” “Ingat kalau makan, jangan hemat-hemat …” “Pokoknya nanti setiap hari kita video call sama Cantika.” Ucapnya sembari menangis.             Cakra, dia memilih untuk melempar pandangannya ke arah yang lain sejak tadi. Sebab dirinya juga sangat berat untuk berpisah selama 4 tahun dari sang Adik.             Kepergiaannya saat ini, hanya untuk membantu sang Adik mencari apartemen murah di Amerika. Apartemen yang dekat dengan kampusnya. Sebagai seorang Abang, Cakra juga akan merasa khawatir jika sang Adik berjalan tidak tentu arah, mencari apartemen seorang diri di Negeri orang.             Saat mereka tengah berpelukan, Cantika yang sejak tadi tidur, dia mulai terbangun. Melihatnya bangun, Caca menciumi seluruh wajah keponakannya. “Sayang, Bunda berangkat yah … Nanti kalau sudah sampai disana, Bunda langsung video call yah …” “Iya, Bunda. Bunda jaga diri baik-baik yah. Jangan lupa pesan dari Kakek, Nenek, dan Mama ya, Bunda …” Jawab Indri sembari mengelus lengan sang Adik Ipar.             Caca menyalim tangan mereka semua untuk yang ke sekian kalinya. Sebab, ini adalah kali pertama baginya berpisah dari jauh dari keluarga demi menggapai cita-cita. “Caca pamit ya, Yah, Bu, Mbak …” “Gak pamit. Kamu cuma sekolah disana!” Sahut Cipto seraya tidak menyukai kalimat janggal putrinya. “Iya, Yah. Caca pamit sekolah dulu ya, Yah, Bu, Mbak …” Dia menarik kopernya, lalu melambaikan tangan ke arah mereka semua.             Cakra melihat ke arah istrinya. “Mas pergi dulu ya, Dek. “ Ucapnya dan diangguki iya oleh sang istri. “Iya, Mas. Hati-hati dijalan!” Teriak Indri dari kejauhan sambil melambaikan tangan. “Ingat pesan-pesan Mbak ya, Caca!” Indri kembali menangis dan masih terus melihat bayangan suami dan adik iparnya dari kejauhan. “Iya, Mbak. Caca pamit pergi. Assalamu’alaikum!”             Mereka semua menjawab salam kepergian Caca.             Cantika tiba-tiba menangis. “Sayang … doain Bunda dan Papa selamat sampai tujuan ya …” “Doain Bunda Caca supaya sukses disana.” Ucapnya sembari menciumi putrinya yang terus menangis. Dia yakin, Cantika pasti merasakan jika Caca akan pergi dan berjarak jauh dari mereka.             Dari kejauhan. Caca masih terus melambaikan tangan ke arah mereka. Meski sudah berada di ruangan berbeda, Caca terus melirik ke arah dimana keluarganya menunggu. ‘Caca janji akan jaga diri baik-baik, Yah, bu, Mbak!’ ‘Caca gak akan buat kalian kecewa! Caca janji!’ Bathinnya sembari mengusap air mata di pipinya.             Cakra merangkul pundak sang Adik. Dia tahu, hari ini sangat berat untuk Caca. “Sudah, jangan nangis lagi. Ini kan cuma sementara.” Ucap Cakra dan direspon senyuman serta anggukan dari Caca. “Iya, Mas. Makasih uda mau wujudkan cita-cita Caca …” “Iya-iya. Sekarang, fokus sama kuliah aja. Urusan uang, biar Mas yang cari …”             Caca kembali mengangguk paham dengan senyuman merekah. ‘Iya, Mas. Caca janji … Caca akan balas kebaikan kalian suatu saat nanti …’ ‘Caca gak akan buat kalian kecewa. Caca janji!’ * * Novel By : Msdyayu (Akun Dreame/Innovel, IG, sss)
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD