Tamu

1692 Words
Dengan langkah lemas, Dinu memutar tubuhnya, menyusul rombongan warga desa yang sudah jauh. Mereka menyusuri jalan yang sama. Menurungi tebing lalu melewati pematang sawah dan kembali ke perkampungan.             “Mas Dinu! Mas!” teriak Ikhlas sambil melambai-lambaikan tangannya lebar sekali. Pemuda itu langsung menyusul Dinu yang berjalan paling belakang diantara rombongan yang mulai bubar.             “Sampean ini dari mana, Mas? Aku panggil-panggil tidak dengar,” celoteh Ikhlas setelah menghampiri Dinu. “Ikut menyaksikan eksekusi?” tanyanya lagi. Dinu mengangguk tak bertenaga. Tatapannya masih setengah kosong dan tubuhnya lemas.             “Koperku, dimana, Khlas?” tanya Dinu berusaha mendapatkan dirinya kembali. Ikhlas menunjuk lokasi yang masih sama dengan ketika Dinu meninggalkan barang-barangnya. Bahkan kini sang pemilik rumah juga ikut menjaga koper-koper miliknya. Seorang wanita tua dengan kebaya merah jingga yang kusam dengan kain jarik bermotif merak warna coklat tua. Wanita itu duduk di amben di teras rumahnya. Amben seperti bangku panjang yang mirip petiduran tapi difungsikan sebagai tempat duduk. Bukan dari kayu ataupun beton yang dicor, tapi bambu besar yang dianyam rapi. Wanita itu tersenyum ramah saat Dinu sampai di teras rumahnya.             “Assalammualaikum,” salam Dinu sambil mengulurkan tangannya dengan sedikit membungkuk lalu mencium tangan wanita tua itu.             “Mbok Sarti namanya, Mas,” bisik Ikhlas.             “Waalaikumsalam, nak,” jawab Mbok Sarti. “Baru datang dari kota?” tanyanya ramah.             “Iya, Mbok. Nama saya Dinu,” jawab Dinu menjaga kesopanan.             “Mau minum dulu, Nak?” tawar Mbok Sarti.             “Tidak, Mbok. Terima kasih—“ tolak Dinu hati-hati.             “Iya, Mbok. Saya mau!” potong Ikhlas lebih keras. “Terima saja, Mas. Tidak sopan kalau menolak,” bisik Ikhlas pada Dinu. Menunggu Mbok Sarti mengambil air di dalam rumah, Ikhlas mengajak Dinu duduk di amben rumah itu setelah meminggirkan koper-koper Dinu ke dekat dinding. Katanya agar kopernya tidak kepanasan. Benar juga. Dinu tak melarangnya. Ikhlas tak banyak bicara seperti sebelumnya, padahal bukankah ini waktu yang tepat untuknya mengoceh? Dinu mengamati laki-laki itu. Dia coba menerka berapa usia Ikhlas. Masihkah dia seorang bocah atau seorang pemuda? Apakah dia masih duduk di bangku sekolah atau sudah memanggul cangkul? Tubuhnya kurus, namun otot-otot menyembul di balik kaosnya. Tubuhnya sudah terbentuk, barangkali karena terlalu bekerja keras. Pekerjaan-pekerjaan berat yang sudah ia tanggung di usianya. Kakinya begitu kokoh, seperti telah menjejaki ribuan kilometer medan bebatuan cadas naik turun gunung. Sendal jepitnya sudah aus, dimakan usia.             “Masih sekolah, Khlas?” tanya Dinu yang tak tahan dengan keheningan di antara mereka. Ikhlas menggeleng cepat dengan senyum sedih yang berusaha ia tutupi. “Saya bantu ibu di sawah, Mas.”             “Hari ini libur?” tanya Dinu lagi.             “Hari ini saya bolos,” jawabnya ringan lalu terkekeh sendiri. Dinu nyengir canggung. Jadi, anak seperti apa yang sedang duduk di sampingnya ini? Apakah dia seorang bocah nakal yang suka bolos sekolah dan usil, atau seorang anak yang patuh dan berbakti? Dinu bergegas berdiri ketika gendang telinganya menangkap bunyi gesekan bakiak Mbok Sarti dan gelas-gelas tembikar yang berbenturan di nampan yang gemetar oleh tangan wanita tua itu. Dinu menghampirinya sigap, mengambil alih nampan berisi gelas-gelas dan air minum dari tangannya lalu menuntunnya hingga ke amben depan bergabung dengan Ikhlas.             “Jadi merepotkan nak Dinu. Maafkan simbok ya.” Mbok Sarti mengambil teko air hendak menuangkan minuman, tapi Ikhlas menggantikannya. Dinu tersenyum saja sambil menggeleng dengan ekspresi paling tulusnya. Diteguknya segelas air putih yang disodorkan Ikhlas. Rasa yang berbeda. Lebih segar di tenggorokannya. Terasa benar-benar menyegarkan. Apakah karena sudah lama ia tidak minum sampai lupa kapan terakhir minum? Atau karena kualitas air di kaki gunung ini yang lebih baik dari kampung halamannya?             “Siapa yang ditangkap tadi, Khlas?” tanya Mbok Sarti dengan wajah cemas. Sementara Dinu menyimak.             “Bu Suminem, Mbok,” sahut Ikhlas tak berekspresi. Dinu memperhatikan perubahan rona wajah mereka berdua. Ada satu kesamaan emosi yang ditunjukan Ikhlas dan Sarti, dua-duanya berduka. Ada hembusan napas yang sangat berat, meluncur dari rongga mulut mereka. Sementara tatapan mata keduanya lemah. Dinu belum menanggapi apapun. Dia memberi ruang pada mereka untuk bicara. Lagi pula, dirinya masih menjadi orang asing di desa ini.             “Mau berapa orang lagi yang akan jadi korban, Khlas…? Apa iya orang-orang itu benar-benar mata-mata Belanda? Kalau pun benar iya, kita pasti sudah mencium gelagat beda dari mereka, orang kita tinggal tetangga. Setiap hari ketemu,” curhat Mbok Sarti. Matanya masih terpaut pada hamparan sawah nan hijau di bawah sana.             “Mungkin setelah semua warga Sukosari habis, Mbok. Mereka akan berhenti,” sarkas Ikhlas.             “Tega sekali orang-orang itu. Padaha kita ini hanya rakyat miskin, masih juga diperas hingga nyawa keluar,” sahut Sarti mendendam.             “Mas Dinu tadi ikut iring-iringan eksekusi, Mbok. Dibuang ke jurang lagi, ya, Mas?” tanya Ikhlas tiba-tiba melibatkan Dinu. Lagi? Dugaan Dinu mulai terjawab. Eksekusi main hakim sendiri itu memang bukan pertama kalinya.             “Iya. Saya sangat kaget,” jawab Dinu menjaga bicaranya tetap bernada rendah.             “Lain kali kalau ketemu yang seperti itu lagi, jangan ikut, Nak. Nanti mereka tambah senang kalau banyak yang lihat. Mereka pikir kita suka dengan aksi mereka,” ungkap Sarti menahan geram.             “Mereka itu siapa, Mbok?” tanya Dinu. Akhirnya ia menemukan awal untuk menggali data. Namun pertanyaan itu tak segera bersambut jawaban baik dari Sarti apalagi Ikhlas. Keduanya malah terdiam seperti sengaja bungkam.             “Nanti kamu juga akan tahu sendiri, Nak. Tidak baik membicarakannya di sini,” jawab Sarti.             “Ada hubungannya dengan NEFIS, Mbok?” tanya Dinu lagi. “Saya dengar mereka mencaci maki,” imbuhnya. Sarti menatap Ikhlas, bingung harus memberi jawaban apa pada orang asing ini. Insting kewaspadaan Mbok Sarti mungkin sedang menyala. Haruskah ia beritahu pemuda ini atau tidak?             “Di kampung saya sebelumnya juga terjadi tragedi yang sama. Malah lebih parah. Mereka membakar rumah orang-orang yang dianggap pengkhianat dan menjadi mata-mata Belanda sekalipun semua tuduhan itu belum terbukti. Tidak ada waktu mencari bukti di tengah situasi perang. Jika tidak ada bukti, kenapa mereka begitu yakin dan seberani itu bermain hakim sendiri? Bagaimana nasib mereka yang salah tuduh?” ungkap Dinu sambil mengenang. Ia begitu menghayati kisahnya sampai cairan bening jatuh dari ujung matanya.             “Jadi di tempat asal Mas Dinu juga seperti ini? Main hakim sendiri hanya berdasar kabar burung? Terus bagaimana Mas di kampung sampean?” sahut Ikhlas penuh antusias. Dia bahkan melompat turun dari amben dan menghampiri Dinu. Dinu menggeleng. Sedangkan Ikhlas melotot kecewa.             “Saat itu masih ada Jepang. Indonesia belum merdeka. Aku harus pergi ikut jadi laskar, jadi tidak tahu bagaimana perkembangan di kampung,” ungkap Dinu mengenang. Mereka hening lagi. Ikhlas kembali ke tempat duduknya, wajahnya berpaling ke hamparan sawah hijau di bawah sana.             “Kamu harus hati-hati, Nak, di sini. Jangan gampang percaya orang. Semua orang bisa jadi mata-mata Belanda. Ya?” nasehat Mbok Sarti. Tangannya menepuk-nepuk paha Dinu yang duduk di sampingnya. Matanya memandangnya teduh, dengan kebijaksanaan puluhan tahun mengenyam asam pahit kehidupan. Dinu tersenyum lalu mengangguk.             “Terus, sudah dapat tempat tinggal, Nak? Atau ada keluarga di sini?” tanya Mbok Sarti. Dinu terdiam sesaat. Benar juga, ia lupa soal itu.             “Hari ini mau cari, Mbok. Kontrakan yang murah-murah di sekitar sini,” jawab Dinu.             “Yaudah, Mas, saya temani ya?” tawar Ikhlas antusias sekali. Matanya membara penuh semangat. Dinu terpaksa mengangguk kaku.             “Koper kamu titipkan Mbok dulu saja daripada keliling-keliling naik turun bawa koper kemana-mana,” pinta Sarti. Tawaran kali ini tak bisa segera diiyakan. Dinu masih ragu untuk mengangguk. Membawa dua tas sebesar itu juga sangat merepotkan, tapi meninggalkannya bersama orang asing di sini juga bukan solusi. Bukankah Mbok Sarti sendiri yang menasehatinya untuk tidak percaya siapapun? Semua orang bisa jadi adalah mata-mata.             “Sudah, Mas. Ngga usah kelamaan mikirnya. Ayo!” desak Ikhlas bersemangat. Hampir saja Dinu mengangguk iya, sebelum tiga orang pria paruh baya masuk ke pelataran rumah Mbok Sarti dengan wajah tegang dan penuh curiga. Dinu terkesiap dan waspada manakala ia sadar bahwa tiga bapak-bapak itu adalah orang yang sama yang memimpin rombongan eksekusi beberapa menit lalu. Belum sampai hitungan jam. Kenapa mereka datang? Kenapa muka mereka semarah itu? Kenapa Dinu merasa dalam bahaya? Dia tengok Mbok Sarti yang bangkit dari amben dengan wajah cemas. Kakinya sedikit gemetar. Begitu juga dengan Ikhlas yang berdiri di depan Dinu dalam posisi ini. Dia yang banyak bicara tiba-tiba membisu beribu bahasa tatkala melihat ketiga orang itu datang ke tempat ini. Siapa ketiga bapak-bapak ini? Petugas keamanan desa? Polisi? Barangkali lebih cocok sebagai preman jika mempertimbangkan perawakan mereka dan gestur ketidakramahan itu. Kepada siapa mereka datang ke rumah Mbok Sarti? Apakah ini penangkapan kedua pagi ini? Siapa target mereka? Mbok Sarti? Ikhlas? Atau dirinya? Pelan, Dinu melirik kedua kopernya yang tersimpan di samping amben. Dia memperkirakan berapa langkah yang harus ia tempuh untuk menjangkau kedua koper itu jika saja harus lari dari sini.             “Siapa mereka, Mbok?” bisik Dinu pada Sarti yang posisinya lebih dekat daripada bertanya ke Ikhlas. Mbok Sarti tak menjawabnya. Wanita tua itu hanya menatap Dinu dengan mata cemas namun juga berani di saat bersamaan. Dia mengangguk untuk meyakinkan Dinu bahwa semua akan baik-baik saja. Ah tidak, anggukan itu justru membuat Dinu makin waspada. Apakah akan terjadi satu diantara dugaan terburuknya? Tiga bapak-bapak itu sampai.             “Assalammualaikum!” salam mereka serempak. Sama sekali tidak ramah. Tegas dan beringas.             “Waalaikumsalam,” jawab Mbok Sarti yang kemudian sedikit maju ke depan. “Ada apa Mar datang ke rumah Mbok?” tanya Mbok Sarti. Suaranya sedikit gemetar, sedikit sekali. Pria bernama Marto itu maju lagi selangkah. Dinu membaca gesturnya. Tangannya memang tak membawa senjata seperti sebelumnya, tapi tinjunya siap memukul kapan pun. Dadanya membusung, sedikit pun tak menunjukkan unggah-ungguh di hadapan Mbok Sarti yang jelas-jelas lebih tua darinya. Rambutnya panjang, dikuncir satu di belakang. Tak berkumis tapi beralis hitam tebal. Alisnya tegas, terangkat naik dengan sorot mata marah. Seperti seekor kucing yang kehilangan wilayah kekuasaannya karena seekor kucing pendatang. Tunggu! Kucing pendatang?             “Saya dengar Mbok Sarti punya tamu dari kota. Kami perlu memastikan identitasnya sebelum mengizinkan dia tinggal di Sukosari,” jawab Marto bernada tinggi. Napas lega anehnya meluncur begitu saja dari mulut Dinu. Padahal ini belum berakhir. Awalan yang sangat mendebarkan untuk misinya.             “Ah, ternyata kabar cepat menyebar,” tanggap Mbok Sarti. Mbok Sarti melirik Dinu lalu mengangguk.  

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD