68. Lelaki Pengecut

3049 Words
Dina terkejut karena hampir terjatuh di anak tangga, tapi dia lebih terkejut lagi karena Dion langsung menyambutnya. Sejenak Dina terpana, tapi kesadarannya kembali tatkala Dion bersuara. Dina lekas mendorong tubuh Dion menjauh darinya. Ia pun juga menaiki satu undakan anak tangga untuk menjaga jarak dari Dion. Dan saat itu juga… Rianti muncul di atas sana. Membuat Dina takut Rianti melihat apa yang sudah terjadi. “Si Dina ngejatuhin dusnya.” Dion menjawab pertanyaan Rianti. Dengan tenang dan santai sekali. Dina pun hanya menekurkan kepala. Berharap Rianti tidak melihat adegan saat Dion menyelamatkannya. “Ohh… buku-bukunya langsung gue tata di rak aja, ya?” tanya Rianti kemudian. Dion pun mengangguk. “Boleh.” Rianti kembali masuk ke dalam kamar dan saat itu juga Dina langsung mengembuskan napas lega. Dion menatapnya. “Kenapa lo menghela napas seperti itu?” “B-bukan apa-apa,” jawab Dina. Dina bergegas mengumpulkan kembali barang-barang yang sudah berserakan. Dia memasukkannya kembali ke dalam dus. Cukup merepotkan karena barang-barang yang random itu berserakan di sepanjang anak tangga. Sementara Dion masih memandangnya dari atas tangga. Setelah mengemasi semuanya, si keras kepala Dina, lagi-lagi mencoba membawa dus itu naik ke atas. Membuat Dion menatap kesal dan segera menghampirinya. Eh. Dina terkejut ketika dus itu terasa ringan. Tapi ternyata itu karena Dion sudah memeganginya dari depan. “Sini dusnya! Baru aja terjatoh dan lo masih nyoba bawa ini? Lo itu kerasa kepala atau beneran d***u, sih?” sergah Dion. Ia terlihat marah. Dina tidak menjawab. Dion pun merebut dus besar itu dari pangkuan Dina dan membawanya ke lantai atas. Dina menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Debaran jantungnya masih berpacu. Kencang sekali hingga Dina hanya bisa mendengar suara degup jantungnya saja. Bayangan wajah Dion saat menatapnya tiba-tiba saja terbayang. Membuat Dina memicingkan mata kuat-kuat untuk menyingkirkan bayangan itu. “Kenapa aku jadi seperti ini? Kenapa dia selalu saja menolongku setiap waktu?” bisiknya. Dina tak habis pikir. Apa mungkin Dion adalah sosok malaikat penyelamat di kehidupannya? Pemikiran itu membuat Dina menggelengkan kepala. Tidak. Sudah jelas tidak seperti itu. Dina menukar pikirannya. Justru Dion adalah pembawa sial untuknya. Dina selalu saja mendapatkan masalah saat di dekatnya. “Ya itu benar… Dia adalah sumber masalahnya, lalu dia juga yang membantunya setelah itu. Dasar manusia problematic,” umpat Dina kemudian. “Ngapain lo bengong?” sergah Dion kemudian. Dina terperanjat lagi. Dia kembali bergerak, mengambil sebuah dus berukuran besar lainnya, tapi tatapan tajam Dion membuat Dina meletakkan dus itu kembali. Dia akhirnya hanya mengambil sebuah rak kayu kecil yang ringan dan membawanya ke kamar Dion. Di dalam kamar, Rianti sedang menyusun buku-buku koleksi Dion ke rak buku yang langsung menempel dengan dinding. Dion memang mendesain kamar barunya itu secara khusus. Dia ingin memiliki kamar yang minimalis tanpa terlalu banyak perabotan di dalamnya. Sementara Dina kini membantu menyapu lantai. Dina merasa terjebak di sana. Dia semakin kesal lagi karena Bagas tak juga kunjung datang. Apa Bagas benar-benar tidak akan datang? Dina mendesah. Tapi suara napasnya itu terdengar oleh Rianti dan Dion yang langsung sama-sama menatapnya. Dina meneguk ludah. Dia hanya menatap keduanya sebentar, lalu menundukkan kepala. “Lo ngebaca semua buku-buku ini?” tanya Rianti. Dion mengangguk. “Iya.” “Duh… udah jago masak, rajin baca buku lagi,” pujinya. Dion hanya tersenyum. Dina yang sedang menyapu pun mulai melirik ke rak buku yang sudah terisi. Ada banyak sekali buku di sana. Tebal-tebal dan menarik perhatian Dina yang juga suka membaca buku. “Lo suka baca buku juga?” tanya Dion. Dia menatap ke arah Dina. “Nggak sih. Gue lebih suka nonton film,” jawab Rianti. Dion tersenyum. Sebenarnya pertanyaan itu bukan untuk Rianti. “Kalo lo, Din? Lo suka baca buku nggak?” kali ini Dion bertanya lebih spesifik agar tepat sasaran. “Kadang-kadang,” jawab Dina lirih. “Kadang-kadang? Bukannya lo sering nongkrong di perpustakaan kota, ya? Kita kan sering beberapa kali bertemu di sana?” tanya Dion. Pertanyaan Dion membuat Rianti menoleh pada Dina. Dina pun meneguk ludah. “Nggak kok. Sesekali aja. Lagian kita ketemu itu kan, benar-benar tidak disengaja.” Dion mengulum senyum. Dia membaca ketakutan Dina. Dia tahu kalau Dina takut Rianti mengetahui kedekatannya dengan Dion di masa lalu. “Iya. Pertemuan itu emang ada yang nggak sengaja, tapi ada juga yang disengaja, yakan?” Deg. Dina terhenyak. Takut jika Dion meracau lebih jauh lagi. “Sebenernya gue waktu kecil dulu suka baca buku, sih.” Rianti tiba-tiba bersuara. “Oh, ya. Lo suka baca buku apa?” tanya Dion. Dina memutar bola matanya malas. Padahal Rianti sendiri yang mengaku padanya bahwa dia sangat malas membaca sejak ia masih kecil. Rianti juga terlambat bisa membaca. Dan sekarang dia sedang merajut kebohongan untul bisa menarik perhatian Dion. “Hmmm… majalah anak-anak gitu. Kayak majalan Bobo dan lain-lain,” jawab Rianti. “Lo juga suka baca majalah Bobo waktu kecil?” Dion menyeringai. Rianti mengangguk. “Lo paling suka segmen yang mana? Kalo gue suka segmen Nirmala sih. Kalo lo suka yang mana?” tanya Dion. Deg. Rianti membeku. Dia jelas tidak tahu apa-apa. Membuat Rianti terlihat seperti orang bodoh. “Hehehe. Gue udah lupa sih. Soalnya udah lama banget kan.” Rianti beralasan kemudian. Dina lagi-lagi mengembuskan napas kasar. Dia selalu kesal melihat Rianti yang terlalu memaksakan diri untuk disukai oleh Dion. Terakhir kali Rianti bahkan juga memaksakan diri memakan siput karena itu merupakan makanan kesukaan Dion. Rianti berbohong dan juga mengakui sangat menyukai olahan siput. Tapi yang terjadi kemudian adalah… Rianti malah muntah-muntah karena sebenarnya dia tidak menyukai siput bahkan merasa jijik pada jenis makanan yang satu itu. Sekarang kebohongannya itu justru membuat Rianti terlihat konyol. Tapi dia tetap tidak sadar diri dan terus saja mengulangi kesalahan yang sama. Waktu pun terus berlalu dan Bagas tetap juga tidak muncul. Sepertinya dia memang tidak akan datang dan Dina sudah pasrah akan hal itu. Dina hanya memerhatikan Rianti dan Dion yang sedang bercengkerama dan juga bercanda. Dina sedikit menyesal. Harusnya dia tidak mengajak Rianti berperang. Setidaknya dia tidak akan merasa sendirian seperti sekarang ini. Setidaknya Rianti pasti akan mengajaknya mengobrol. Sekarang Rianti sudah merajuk dan Dina tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Rianti mungkin akan merajuk selama bebeberapa hari ke depan. Seperti biasanya ketika mereka terlibat perselisihan. Dina memutar otak. Dia harus memikirkan cara supaya bisa pulang lebih dulu? Apa pura-pura sakit perut saja? Atau dia bisa beralasan harus pergi karena sang papa sambung mencarinya? Dina mengangguk samar. Dia menunggu waktu yang tepat untuk bersuara. Rianti kini beralih ke dus yang lainnya. Dus yang berisi buku sekolah Dion. Rianti tersenyum saat mengeluarkan buku-buku pelajaran Dion itu. Hingga kemudian dia mengambil satu buku catatan Dion dan membukanya. “Heh… lo ngeliat apa, ha?” sergah Dion yang ikut berjongkok di sampingnya. “Gue pengen liat tulisan tangan lo aja.” Deg. Dina yang sedang mengelap kaca terkejut dan langsung menoleh. Rianti kemudian membuka buku itu dan melihat tulisan Dion. Ia menatap tak percaya. “I-ini tulisan tangan lo?” “Iya. Emangnya kenapa?” “Bagus banget. Rapi banget… lo yakin ini tulisan tangan lo?” Rianti masih tidak yakin. “Iya. Itu tulisan gue… tulisan siapa lagi coba,” tukas Dion. Rianti masih tersenyum mengaguminya, tapi kemudian raut wajahnya berubah. Rianti mengerutkan kening dan Dina yang melihat itu pun langsung menatap cemas. “Kenapa rasa-rasanya gue pernah melihat tulisan seperti ini, ya,” ucap Rianti. Dina langsung dilanda kecemasan. Dia sudah terlanjur membohongi Rianti. Kemarahan Rianti bisa bertumpuk-tumpuk jika tahu kalau Dina sudah membohonginya. Dia bisa mengamuk. Cukup mengerikan. Dion malah melirik Dina yang tampak cemas. Sepertinya Dion sudah mengerti. Dia tahu di mana Rianti melihat tulisan itu. Dion tahu Rianti sudah melihat tulisannya di buku yang ia berikan untuk Dina. Dari pengakuan Rianti itu juga akhirnya Dion tahu bahwa Dina tidak membuang buku catatan itu. Dina menyimpannya. Membuat Dion tersenyum. “Emang lo liat di mana?” tanya Dion kemudian pada Rianti, tapi matanya masih tertuju pada Dina yang gelisah di ujung sana. Rianti menggaruk-garuk kepalanya. “Di mana, ya… gue lupa sih. Tapi rasanya gue emang pernah ngeliat tulisan mirip seperti tulisan lo ini.” “Coba lo inget-inget dulu,” tukas Dion lagi. Dina mendesah pelan. Dia berharap Rianti tidak mengingatnya dan dia juga kesal karena Dion malah menyuruh Rianti untuk coba mengingatnya. “Hayoo… lo pernah liat di mana?” Rianti coba berpikir. Dia berpikir sangat keras, namun justru hal itu membuat otaknya terasa kosong. Dia sama sekali tidak bisa mengingatnya. “Di mana ya. Bisa-bisanya gue malah lupa,” jawab Rianti. Dion tertawa. “Hahaha. Tulisan tangan kan emang hampir mirip-mirip semua. Mungkin lo pernah ngeliat tulisan tangan temen sekolah lo yang mirip sama tulisan gue.” “Iya mungkin, ya.” Rianti mengangguk. Dina berbalik lagi menghadap kaca dan langsung mengembuskan napas lega. Untunglah Rianti tidak mengingatnya. Dina memejamkan mata dan terus berkomat kamit, entah apa yang kini dia ucapkan. Mungkin bersyukur karena Rianti yang sudah lupa. Di sisi lain, si jahil Dion mengulum senyum. Ia merasa puas sudah menggoda Dina dengan cara seperti itu. Ternyata semua masih sama saja bagi Dion. Mengganggu Dina masih menjadi sebuah kesenangan untuknya. Dion selalu bersemangat jika mendapatkan kesempatan dan moment untuk membuat Dina ketar-ketir. Dina berhenti sebentar. Mengeluarkan handphone-nya untuk memeriksa. Siapa tau ada pesan dari Bagas. Tapi ternyata tidak ada apa-apa. Rianti lanjut membantu Dion membereskan kamar. Rianti menunduk mengambil sebuah piala milik Dion yang akan di letakkan di lemari. Tapi tiba-tiba saja. KRAK. Rianti melotot. Bunyi sobekan kain itu pun membuat Dion menatapnya. “Bunyi apa tuh?” tanya Dion. Rianti masih melotot dengan wajah membeku. Tapi sedetik kemudian dia langsung menutupi bagian ketiak sebelah kanannya dengan telapak tangan. “JANGAN MENDEKAAAT…!” teriak Rianti seraya melangkah mundur. Dina ikut terkejut dan berbalik menatap Rianti. “Kenapa? Tanya Dion. Rianti hanya menggeleng dan terus melangkah mundur. Dina pun juga mengernyit bingung karena sikap aneh Rianti. “J-jangan mendekat!” tukas Rianti lagi. Dina pun juga berhenti bekerja. Menatap bingung pada Rianti yang tiba-tiba saja berubah panik dan histeris. “Baju lo sobek, ya?” tanya Dion kemudian. Rianti meringis. “Gue ke rumah dulu sebentar. Nanti gue akan ke sini lagi!” Eh. Dina pun hanya termangu. Dion juga hendak memanggil Rianti, tapi gadis itu sudah berlari pergi. Ternyata baju Rianti yang super ketat itu sobek di bagian ketiaknya. Sobekan itu cukup lebar dan pastinya akan sangat memalukan jika Dion melihatnya. “Aishhh… kenapa bisa robek begini, sih?” Rianti merutuk kesal dan berlari lebih kencang lagi setelah menuruni anak tangga. Dia merasa sangat malu sekali. Apalagi Dion juga mengetahuinya. “AAAA…!” Rianti berteriak dan lari lebih kencang lagi keluar dari rumah itu. Dina yang berada di lantai atas itu pun bisa melihat Rianti yang berlari di bawah sana dari jendela kaca kamar Dion. Dina mengembuskan napas pelan. “Lagian sudah jelas mau bantu-bantu pindahan rumah, tapi dia malah berpakaian seperti itu,” omel Dina. “Lo ngomong apa?” Deg. Dina melonjak kaget karena tiba-tiba Dion sudah berdiri di belakangnya. Membuat Dina dilanda kegugupan yang teramat sangat. Dion tersenyum, tapi Dina malah menatap cemas. Dina baru menyadari bahwa saat ini hanya ada dia dan Dion di rumah itu. HANYA BERDUA SAJA. Seketika rasa cemas langsung menyelimuti Dina. Membuat udara sekitar terasa panas. Gelisah itu datang dengan cepat. Saking gugupnya, kedua lutut Dina kini tampak bergetar. “A-aku juga harus pulang,” ucap Dina. “Loh. Kenapa?” tanya Bagas. Dina memaksakan bibirnya untuk tersenyum. “Aku harus menemui Papa,” jawab Dina. “Dia ngasih uang jajan, ya?” tanya Dion lagi. Eh. Dina menatap kaget. Dari mana Dion tahu? Mulut besar Rianti ternyata terus saja membocorkan kehidupan pribadi Dina. Sangat menyebalkan. Tapi Dina tidak punya waktu untuk menginterogasi atau pun membahas hal itu. Satu-satunya yang harus ia lakukan sekarang ini adalah bergegas pergi dari sana untuk menyelamatkan dirinya. “Kok lo nggak ngejawab?” tanya Dion. Dina tetap membisu dan malah melangkah pergi. “Apa Rianti tidak tahu tentang buku catatan itu? Sepertinya lo merahasiakan dari dia kalo buku itu gue yang tulis,” ucap Dion. Dina yang tadinya hendak melarikan diri itu pun berhenti melangkah dan berbalik menatap Dion. Dion tersenyum. Memasukkan kedua tangannya ke kantong celana, lalu berjalan pelan menghampiri Dina lagi. “Kenapa? Kenapa lo merahasiakannya dari Rianti?” “A-aku tidak merahasiakannya.” “Bohong.” “Aku tidak berbohong.” “Apa gue perlu menanyakan langsung pada Rianti?” “JANGAN…!” pekik Dina. Dion pun tersenyum. “Berarti lo emang sudah berbohong sama dia. Memangnya kenapa, ha? Kenapa lo menyembunyikannya?” “A-aku tidak mau dia salah paham,” jawab Dina kemudian. Dion menautkan alis. “Salah paham?” “Iya. A-aku….” Dina kesulitan untuk menjelaskan maksudnya. “Gue perhatiin kayaknya lo sangat menjaga perasaan Rianti. Sepertinya lo sangat takut menyinggung dia, lo selalu patuh sama dia. Lo selalu mendukung apapun perkataan dia dan tidak berani membantahnya. Lo juga bergerak sangat cepat ketika dia butuh pertolongan. Lo selalu ada untuk dia dan selalu siap siaga. Lo sadar nggak sih, kalo lo itu terlihat seperti pengasuhnya dia? Like a baby sitter.” Dion tersenyum mengejek. Dina menatap Dion perlahan. Lagi-lagi Dion membicarakan topik obrolan yang menyebalkan. Kenapa dia harus mengungkit hal itu? Apa yang dia inginkan? “Gue udah lama perhatiin sejak kita sering jalan bareng. Lo bener-bener takut sama Rianti, lo bener-bener menjaga perasaan dia, tapi sepertinya dia tidak melakukan hal yang sama. Iya, kan? Gue sering ngeliat lo menyembunyikan wajah kesal lo itu, tapi kemudian lo tetap memaksakan senyum yang penuh kepalsuan. Hahaha. Lucu sekali.” Dion kembali berkata sambil berjalan-jalan pelan di hadapan Dina. “Kenapa kamu membicarakan hal ini? Toh, semuanya juga nggak ada hubungannya dengan kamu,” tukas Dina. Dion mencibir. “Ya, emang nggak ada, sih. Cuma gue penasaran aja. Kenapa lo terlihat begitu takut sama Rianti. Apa karena lo udah numpang di rumah dia?” Deg. Pupil mata Dina bergetar. Dia jelas tersinggung dengan pertanyaan itu. Tapi Dina juga tidak bisa membantahnya. Dia merasa sangat kesal karena… Semua yang dikatakan oleh Dion itu benar. “Hahaha. Padahal jaman sudah sangat modern. Tapi ternyata p********n itu masih nyata, ya,” ucap Dion lagi. Dina terkesiap. “p********n?” “Iya, p********n,” jawab Dion santai. Dina dirundung emosi. “Kenapa kamu selalu berkata seenaknya, ha?” “Apa lo marah?” “Ya jelas aku marah!” pekik Dina. Dion tersenyum. “Rianti juga sering berkata seenaknya, tapi kenapa lo nggak pernah marah?” Deg. Dina membeku. Dion pun menyunggingkan senyumnya. “Gue nggak tau kesepakatan apa yang udah lo buat sama Rianti dan ibunya. Tapi menurut gue pribadi, sebaiknya lo tidak memupuk hutang budi terlalu banyak. Karena suatu saat nanti lo juga yang akan kesulitan karenanya. Emangnya lo nggak bisa apa, hidup mandiri? Ngekost kek? Apa kek? Toh lo masih dibiayai sama bokap sambung lo kan?” “Kamu tidak tahu apa-apa. Jadi tidak usah ikut campur!” bantah Dina. Dion tersenyum kecut. “Gue cuma mengingatkan sesama manusia aja. Sesama manusia yang berpikir memang sudah sebaiknya saling mengingatkan bukan? Tapi emang rada susah sih, mengingatkan seseorang yang gak bisa mikir.” Dina tersentak. Setiap kata yang terlontar dari bibir Dion terdengar begitu pedih baginya. Dina menatap murka. “Aku tekankan sekali lagi… kamu tidak perlu mengurus urusan kehidupan aku. Tidak perlu mengingatkan! Tidak perlu ikut memikirkannya. Bukankah kamu punya hal lain yang seharusnya kamu lakukan, ha? Dasar lelaki pengecut!” “Lelaki pengecut? Kenapa lo menyebut gue lelaki pengecut?” Dina sudah tidak bisa menahan diri lagi. “Sampai kapan kamu mau menggantung Rianti tanpa kepastian?” Eh. Dion sedikit terkejut. “Sampai kapan kamu mau mempermainkan dia dengan harapannya, ha? Harusnya kamu tahu kalau Rianti sudah sangat menginginkan kepastian dari kamu. Harusnya kamu jga tahu kalau dia sangat menyukai kamu. Dia sudah terang-terangan menunjukkan rasa sukanya. Tapi kamu… kamu malah jadi lelaki pengecut dan tidak berbuat apa-apa.” Dion mengangguk-angguk samar. “Ternyata selain menjadi pengasuh, lo juga menjadi peramal yang sok tau ya?” “A-apa?” Dina menatap kesal. “Atas dasar apa lo mengambil kesimpulan itu?” tanya Dion. “Jadi selama ini lo berpikir kalau gue sudah menggantung Rianti tanpa kepastian? Hahaha. Emangnya gue sama Rianti itu apa? Gue dan dia nggak punya hubungan apa-apa. Jadi apa yang gue gantung, ha?” tanya Dion. Dina terkesiap. “A-apa?” Tatapan mata Dion berubah tajam. “Jadi tolong berhenti mengambil kesimpulan. Karena gue… nggak pernah suka sama Rianti.” Pengakuan itu jelas membuat Dina terkejut. “Lalu apa artinya selama ini? Apa arti kedekatan kamu dengan Dia? Asal kamu tahu… dia itu sudah sangat berharap! Dia sudah sangat menantikannya. Dia sangat menyukai kamu Dion!” Dina nyaris memekik. “Lalu apa?” tanya Dion. Dengan wajah tanpa dosa. “Gue juga nggak bisa mengatur perasaannya, kan? Jadi kalo dia suka sama gue… gue juga harus balik menyukai dia. Benar begitu?” Dina terpana. “Gue hanya menganggap dia sebatas teman dan nggak akan pernah lebih.” Dion menegaskan. “Ini semua benar-benar gi-la,” tukas Dina. “Hahaha.” Dion malah tertawa. “Yang gila itu elo! Karena dengan mudahnya mengambil kesimpulan tentang perasaan orang lain.” Dina meniup wajahnya yang terasa panas. “Tapi kenapa? Kenapa kamu seperti ini? Apa jangan-jangan kamu menyukai perempuan lain? Kalau memang ada, katakan saja terus terang kepada Rianti. Jangan buat dia berharap lagi.” Dion terdiam sejenak, tapi kemudian dia menatap Dina dengan tatapan mata yang terlihat berubah. “Ya, gue emang menyukai perempuan lain.” Deg. Dina tersentak. “Siapa…?” Dina tahu bahwa tidak seharusnya dia bertanya seperti itu, tapi entah kenapa kata-kata itu terlontar begitu saja dari bibirnya. Sementara itu Dion terlihat kesulitan untuk sekedar menghela napas. Bibirnya bergerak-gerak pelan, tapi tidak ada juga kata yang terucap. Butuh waktu bagi Dion untuk memberanikan diri. Dia bukan lelaki pengecut seperti yang dikatakan oleh Dina. Dia akan mengatakannya. Dia akan mengakuinya walaupun semua terdengar gi-la. “G-gue….” Dion mula bersuara. Dina pun menanti jawaban Dion dengan napas tertahan. Dia pun juga tidak tahu mengapa. Dion membuka bibirnya lagi, ingin menyebutkan siapa perempuan itu. Tapi kemudian… kehadiran Bagas membuat dia tersentak. “B-Bagas!” Dion menyebut nama itu gugup. Dina berbalik dan juga terkejut melihat sang kekasih. “K-kamu sudah datang.” Bagas pun melangkah masuk ke dalam kamar itu. Menatap Dina dan Dion secara bergantian, lalu kemudian bertanya. “Apa yang sedang kalian bicarakan…?”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD