14. Insiden

2104 Words
Asep menyambut kedatangan Dion di rumahnya dengan penuh suka cita. Sudah sejak lama sebenarnya Asep ingin mengajak Dion main ke kediamannya, namun Dion selalu menolak. Dion memang bukan tipikal anak yang senang berkunjung atau bermain di rumah temannya. Bagi Dion hal itu terkesan tidak sopan. Meskipun pendapatnya itu terlalu memaksa, tapi Dion tetap dengan pemikiran dan prinsipnya itu. “Nyokap ama bokap lo mana?” tanya Dion saat menyadari suasana rumah itu yang sepi. “Mereka semalem ke puncak.” “Ngapain?” “Malam mingguanlah… sekalian usaha.” Dion mengerutkan dahi. “Usaha apa?” “Usaha buat bikinin adek buat gue. Heheheh.” Asep cengengesan. Dion membelalak. “Kalo beneran lo punya adik, jaraknya jauh bener.” “Ya mau gimana lagi. Dulunya nyokap ama bokap gue idealis banget dengan konsep memiliki anak tunggal saja sudah cukup. Tapi makin ke sini… mungkin mereka semakin sadar kalo gue emang nggak bisa diandalkan. Nggak bisa diharapkan. Makanya akhir-akhir ini mereka sibuk sama program punya momongan lagi,” jelas Asep. Dino menatap prihatin. “Gue ikut berduka cita, ya.” Asep tersenyum. “Ya udah, kita langsung ke kamar gue aja, ya!” “Oke. Kamar lo dimana?” “Di lantai dua.” Setelah itu Asep membawa Dion menaiki anak tangga yang sempir dan cukup curam. Pijakan anak tangga yang terbuat dari kayu itu terasa ‘menanggung’ dan harus berhati-hati dalam memijaknya. Karena salah sedikit saja, bisa-bisa langsung terjatuh. “Tangganya curam amat.” komentar Dion. “Iya. Kayaknya ini konsep yang dibuat sama orang tua gue juga buat bikin gue celaka. Tapi sayangnya mereka nggak berhasil. Hahaha.” Dion menggeleng samar. “Becanda lo ngeri ya.” Mereka berdua kemudian tiba di depan sebuah pintu berwarna hitam. Catnya terlihat tidak rapi, lebih terkesan berantakan dan merusak estetika sekitarnya yang di d******i oleh warna hijau muda dan putih. “Welcome di markas gue!” tukas Asep dengan penuh rasa bangga. Pintu kamar itu terbuka. Dion melongok ke dalam dan langsung terkejut. Kamar itu… SANGAT KACAU SEKALI. Ada banyak sampah makanan ringan di mana-mana. Pakaian kotor dan bersih sepertinya sudah tercampur dan berserakan di setiap penjuru kamar. Alas kasur terlihat acakadut. Semuanya membuat mata Dion menjadi sakit. Sebagai seorang pecinta kebersihan dan estetika, Dion benar-benar syok dengan pemandangan di dalam kamar Asep. Kamar itu dicat berwarna putih dan entah mendapatkan inspirasi dari mana, dinding putih itu kemudian dipenuhi oleh jejak telapak tangan dengan warna hitam. “D-dindingnya….” Dion bahkan tidak bisa berkata-kata banyak untuk berkomentar. Asep malah tersenyum bangga. “Gimana? Kreatif, kan?” Dion kesulitan menghela napas. Semuanya berantakan. Seprainya berwarna merah. Selimutnya berwarna biru. Sarung bantalnya berwarna ungu. Karpet bulu yang dipakai untuk duduk selonjoran berwarna cokelat tua. Semuanya tabrak warna dan membuat mata Dion menjadi sakit. Dan kemudian… Dion juga mencium aroma yang tidak biasa. “Kamar lo bau pandan bercampur amis!” pekik Dion. Asep agak tersentak. Dia juga mengendusnya sebentar. Matanya kemudian dengan cepat mencari-cari sesuatu. Asep kemudian bergegas mengumpulkan bekas tisu yang berceceran di samping kasurnya. Pemandangan itu pun membuat Dion menutup mulutnya menahan mual. Dia sudah tidak tahan lagi berada di kamar itu. “Sorry ya. Maklum kebutuhan. Gue nggak bisa tidur kalo belum senam jari setiap malamnya.” Pengakuan Asep itu pun jauh lebih mengejutkan lagi. “NGGAK BISA!” pekik Dion kemudian. “Gue nggak bisa main di kamar lo ini!” ** Akhirnya mereka berdua memilih menghabiskan waktu di balkon lantai dua rumah Asep. Duduk berhadapan di sebuah meja bundar yang terbuat dari kayu. Matahari yang mulai meninggi memancarkan udara panas, tapi sepertinya hal itu bukan masalah bagi Dion. Baginya itu lebih baik daripada berada di dalam kamar Asep. Asep menyuguhkan secangkir teh. Tapi Dion pun terlihat ragu untuk meminumnya. “Pesen makanan dan minuman di go food aja deh. Biar gue yang bayar,” ucap Dion. Asep merengut. “Dasar. Lo nggak ngehargain gue sebagai tuan rumah.” “Gimana gue bisa ngehargain. Lo aja belom mandi, belum cuci muka dan… belum cuci tangan juga, kan setelah aktivitas gila lo itu semalam? Dan lo ngebuatin gue teh pake tangan lo yang penuh dosa itu!” “Hahahaha.” Asep malah tertawa. Dion pun mengangguk-anggukkan kepala. “Sekarang gue jadi ngerti kenapa orang tua lo pengen punya anak lagi.” Mereka kemudian mengobrol sebentar tentang pertandingan futsal tempo hari yang berhasil di menangkan. Obrolan itu pun kembali mengingatkan Dion pada sosok Dina yang sudah menarik perhatiannya sejak hari itu. Dion pun tidak mengerti kenapa. Tapi setiap pertemuannya dengan Dina memang selalu menetap diingatan. Mulai saat pertemuan pertama mereka ketika Dina membuat bubur kacang ijonya pecah. Hingga Dina mengiranya sebagai tukang ojek dan naik ke boncengannya. Dan yang paling membuat Dion semakin tidak bisa melupakannya Dina adalah… Ketika Dina bersorak untuknya. Saat itu Dion menyaksikan sendiri bagaimana Dina tersenyum senang dengan kedua matanya yang indah itu. Mungkin terasa sepele, tapi sejak saat itu. Sosok Dina terus saja mengganggu pikirannya. Dion tidak bisa menampik bahwa dia ingin mengenal Dina lebih jauh, tapi dia tidak tahu caranya. Dion yang tidak tahu harus bagaimana itu akhirnya melakukan hal-hal yang malah membuat Dina merasa tidak nyaman. Dion tidak punya pengalaman mendekati cewek dan itu adalah kelemahan terbesarnya. “Eh. Sekarang gimana? Kita mabar apa main Ps nih!” ajak Asep kemudian. Dion masih tertegun saja. “Woi! Ayo maen!” sergah Asep. Dion menatapnya sebentar. “Gue nggak minat.” “Lah… tadi lo sendiri yang ngomong mau main sama gue. Gimana sih?” Asep menatap bingung. “Gue ke sini bukan mau ke tempat lo.” Dion mengakuinya. “Terus?” Dion tidak menjawab lagi. “Lo kenal sama cewek yang tinggal di sebelah rumah lo itu?” Asep menyipitkan mata. “Lo ke sini buat ngeliat dia?” Dion tidak menjawab. “Dia itu kan, pacarnya si Bagas. Ngapain lo kepo sama cewek orang, ha?” tanya Asep. Dion menyeringai. “Kalo dia istri orang… baru itu masalah.” “Wah, gila lo! Jadi sekarang lo mau ngerebut pacar orang gitu? Kayak nggak ada cewek yang lain aja. Itu tadi yang rambutnya bondol lebih cantik menurut gue. Postur badannya tinggi dan aduhai. Jauh lebih cantik daripada tetangga gue itu.” “Kalo gitu lo aja sama dia,” ucap Dion santai. Asep geleng-geleng kepala. “Lo beneran nggak kenal sama dia. Kalian kan, tetanggaan?” selidik Dion lagi. “Ya, emang ngga kenal. Kan, beda sekolah juga kita sama dia. Gue sering sih ngeliat dia di pagi hari pas dia mau pergi sekolah, tapi anaknya rada jutek. Gue nggak pernah nyapa.” “Karena lo jelek kali, makanya dia jutek ama lo,” ledek Dion. “Sembarangan lo.” “Tapi kayaknya tu cewek anak nggak bener deh,” tukas Asep kemudian. Dion menatap serius. “Kenapa lo ngomong begitu?” “Soalnya gue sering denger dia ribut sama maknye. Tiap hari malah. Pokoknya gaduh bet lah!” Dion menatap seakan tidak percaya. “Lo nggak percaya?” “Nggak.” “Beneran. Dia itu selalu ribut sama nyokapnya. Malahan dulu pernah tuh, maknya lemparin semua barang-barangnya keluar kayak diusir gitu,” jelas Asep lagi. Dion terdiam. “Gue juga nggak tahu sih, kenapa. Tapi gue pernah denger nyokap bergosip sama geng rumpinya tentang tetangga itu. Katanya dia udah menikah dua kali apa gimana gitu ya. Jadi mungkin si cewek itu punya mak tiri.” Dion mengangguk-angguk. “Lo kan temenan ama si rambut bondol.” “Dia punya nama. Namanya Rianti,” sergah Dion. “Iye… siapapun dia dah. Lo tanya aja tentang tu cewek sama si Rianti.” saran Asep. “Nggak perlu. Gue bakalan cari tau semuanya seorang diri.” Asep mencibir. “Cieh… jantan amat. Kalo si Bagas ngamuk gimana? Lo serius tertarik ama tu cewek?” Dion tersenyum santai. “Dia bakalan milih gue juga kok, pada akhirnya.” Asep merasa mual. “Pede amat lu Bambang.” “Lo liat aja nanti. Gue pasti akan ngedapetin dia,” ucap Dion penuh rasa yakin. Asep bertepuk tangan. “Bravoo… Urraaa…!” Dion terdiam sebentar. Dia sedang memikirkan apa yang barusan di ceritakan oleh Asep. Apa Dina memang gadis yang nakal? Atau dia hanya korban dari kebencian seorang ibu tiri seperti dalam film dan cerita? “Bengong lo!” tukas Asep. Dion tersenyum. “Kayaknya gue bakalan sering-sering main ke rumah lo.” Hening. Asep hanya menatap hambar. Tidak bersemangat sama sekali. “Kenapa wajah lo begitu? Bukannya lo seneng karena dari dulu lo pengen ngajak gue ke rumah lo terus, kan?” tanya Dion. “Iya. Tapi tujuan lo main ke sini bukan karena gue. Lo modus buat mantau si cewek itu, kan? Dasar lo. Manfaatin gue untuk kepentingan bucin lo itu.” Dion tertawa. “Tumben lo pinter.” Ditengah-tengah obrolan itu, tiba-tiba mereka berdua mendengar suara gelak tawa perempuan dari balik dinding. Dion langsung mengernyit, Asep pun juga menempelkan jari telunjuk ke bibirnya. Di balik dinding yang tingginya kira-kira se-d**a Dion itu, terlihat Dina dan Rianti yang sedang bergotong royong membawa ember besar berisi pakaian yang akan dijemur. Tipe rumah Asep dan Dina memang berdempetan. Hanya saja, Asep sudah membangun lantai duanya. Sementara rumah Dina belum memiliki bangunan di lantai dua. Hanya atap kosong yang digunakan sebagai tempat tempat menjemur pakaian dan juga tempat meletakan beberapa benda. “Ayo buruan tangan gue ampir kejepit!” pekik Rianti rusuh. “Udah-udah… letakin aja sekarang!” Dina kemudian mulai menjemur pakaian itu. Baju sekolahnya dan juga beberapa pakaian rumah yang memang sudah menumpuk. “Ini semua baju lo?” Rianti masih menatap tak percaya. “Iya.” “Kenapa banyak amat? Lo udah nggak nyuci berapa tahun, sih?” “Cuma dua minggu,” jawab Dina sambil terus menggantung pakaian itu ke tali jemuran. Dua gadis itu terus mengobrol dan tidak sadar bahwa ada dua pasang mata yang kini mengintip mereka dari balik dinding pembatas. Dion dan Asep kini tengah mengintip. “Abis ini kita makan lotek mpok Neni, ya!” ajak Rianti. “Iya-iya. Makanya bantuin biar cepet kelar,” tukas Dina. Setelah adegan menjemur pakaian itu beres, mereka berdua masih tertawa dan bercanda di sana, keduanya saling meledek dan kemudian berkejar-kejaran. Dina meledek Rianti karena temannya itu masih suka meminum s**u menggunakan dot bayi. Kebiasaan Rianti itu memang aneh bin ajaib dan Dina selalu meledeknya. “Lo! Awas aja ya… kalo yang lain tahu tentang itu!” Rianti menatap sengit dan kembali mengejar Dina. “Yee… lagian ngapain kamu masih begitu. Apa kamu mengalami masa bayi kurang bahagia?” ledek Dina lagi. “Lo makin berani aja, ya?” Rianti kembali mengejar. Dina pun berlari seraya tertawa. Dion yang mengintip dari balik dinding tersenyum melihat tingkah kedua perempuan itu. Rianti mengejar Dina dan kemudian mencubit, juga menggelitikinya. Dina pun terus menghindar. Tapi karena tidak berhati-hati, kaki Dina tersandung oleh sebuah tali kecil yang membentang di pinggir atap itu. Dina terperanjat. Secepat itu juga tubuhnya oleng dan bersiap jatuh ke bawah. “DINAAAA…!!!” pekik Rianti histeris. Tatapan Rianti pun tertuju pada jemari Dina yang kini menggenggam tepi dinding atap itu. Dina berhasil meraih tepi atap itu dan membuat tubuhnya bergelayut di sana. Kedua kakinya kini mengawang-awang di udara. Rianti menghambur mendekat untuk membantu Dina. Tapi tiba-tiba saja ada sosok yang melesat lebih cepat darinya. Dan sosok itu adalah Dion. Dion melompati dinding pembatas itu, langsung berlari mendekati Dina dan kemudian meraih tangan Dina yang nyaris terlepas karena Dina sudah merasa tidak kuat. Deg. Dina mendongak ke atas saat merasakan sebuah tangan yang kokoh dan hangat menggenggam pergelangan tangannya. “K-kamu….” Dina bersuara lirih. Dion segera menarik tubuh Dina dengan sedikit susah payah. Sampai akhirnya Dina kembali berhasil naik. “Haaah… Din… kamu nggak apa-apa?” Rianti langsung menghampiri Dina yang kini terduduk lemas. Wajahnya masih sepucat kertas. Bagaimana tidak, Dina nyaris terjatuh dari atap rumah itu. Dia bisa mengalami luka atau pun patah tulang jika seandainya benar-benar jatuh dari sana. Dina masih menghela napas yang sesak. Sedangkan Dion juga menatapnya dengan deru napas memburu seraya berkacak pinggang. Tak lama kemudian si bangsul Asep juga muncul. Dia tidak bisa melompati dinding pembatas itu dan akhirnya menyusul dengan turun ke lantai satu, kemudian menyeberang ke rumah Dina dan menaiki tangga luar di samping rumah itu. “Ya ampun, Din… gue kaget banget. Maafin gue….” rintih Rianti penuh rasa bersalah. Dina hanya mengangguk-angguk lemah. Dia masih belum memiliki tenaga untuk sekedar bersuara. Setelah itu Dina mendongakkan wajah perlahan menatap Dion. Dia ingin berterima kasih kepada lelaki itu karena sudah menyelamatkannya. Namun belum sempat Dina bersuara, ia terkejut karena Dion lebih dulu membentaknya. “LO g****k APA GIMANA SIH…? NGAPAIN LO LARI-LARI DI ATAP KAYAK GINI, HA…?” teriak Dion penuh amarah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD