29. Loser?

2408 Words
Dion dan Bagas terpaksa berdamai di lapangan setelah mendapatkan teguran dari pelatih mereka. Permainan malam itu pun dimulai. Semua anggota dibagi menjadi dua tim dan kemudian bertanding. Sialnya lagi, Dion dan Bagas malah masuk ke dalam tim yang sama. Pertandingan itu pun disaksikan langsung oleh beberapa petinggi dari tim Garuda. Konon hari ini akan diumumkan tiga orang beruntung yang akan bisa bergabung bersama tim untuk mengikuti turnamen skala nasional. Pertandingan itu berlangsung cukup sengit. Di awal-awal Dion dan Bagas terlihat bermain dengan egois. Mereka cenderung terlihat seperti lawan meskipun sebenarnya mereka berada di tim yang sama. Satu babak dilewati dengan permainan yang payah. Wajah bingung beberapa orang penting di tepi lapangan akhirnya membuat Dion dan Bagas menukar rencana. Mereka akhirnya terpaksa bekerja sama. Aksi epik keduanya mengantarkan banyak gol ke gawang lawan. Babak kedua berlangsung sangat seru. Kerja sama antara Dion dan Bagas benar-benar seperti sebuah mahakarya di mata pelatih yang sedang menyaksikan permainan mereka. Papan skor pun menunjukkan ketimpangan angka yang sangat jauh 12 - 2. tim lawan tertinggal 10 angka dan hampir semua gol di cetak oleh Bagas dan Dion secara bergantian. Posisi keduanya sebagai penyerang teramatlah kuat. Kerja sama itu sangat menyulitkan lawan. Asep yang berada di tim lawan pun kini sudah terengah-engah dan lebih banyak terlihat pasrah. Ia tidak lagi b*******h untuk mengejar si kulit bundar. “Oper ke sini!” pekik Bagas. Dion menatapnya, mengocek bola itu sebentar untuk mengecoh lawan dan kemudian mengoper bola kepada Bagas yang berada di sisi barat. Bola itu menggelinding cepat dan Bagas dengan mudah menerimanya. Giliran Bagas yang mengocek bola. Dia terlihat seperti akan menendang langsung bola ke gawang. Kiper yang berjaga pun sudah memasang mata waspada. Semua mengira demikian. Bagas pasti akan langsung melancarkan serangan. Tapi ternyata Bagas mengopernya lagi kepada Dion. Dan saat itu juga Dion mengeluarkan tendangan pamungkasnya. “GOOLLLLL…!!” teriakan histeris kembali menggema. Bersamaan dengan bunyi pluit yang menandakan bahwa pertandingan telah berakhir. Dion menyeringai senang karena berhasil menyumbangkan gol di detik-detik terakhir. Dia menghampiri Bagas dan langsung mengangkat tangan di udara. Bagas pun juga melakukan hal yang sama. Mereka berdua sepertinya akan melakukan ‘tos’ karena sudah berhasil bekerja sama hingga detik terakhir. Namun kemudian kesadaran keduanya dengan cepat kembali. Senyum di wajah kedua lelaki itu seketika surut. Dion menurunkan tangannya dan langsung membuang muka. Pun demikian dengan Bagas. Dia berdecis pelan dan juga berjalan berlawanan arah dengan Dion. “Oke. Saya selaku pelatih dari tim futsal Garuda cukup terkejut meihat talenta kalian semua.” Suara pelatih berkepala botak itu terdengar menggema di lapangan. Sementara semua pemain kini berbaris dengan rapi, masih dengan peluh dan helaan napas mereka yang terdengar sesak. “Ada banyak yang memiliki skill dan permainan yang bagus. Saya sempat kebingungan dalam menentukan,” ucapnya lagi. Dion meneguk ludah. Dia berharap menjadi salah satu yang beruntung untuk bisa bergabung dengan tim. Di sisi lain, Bagas pun sama gelisahnya. Dia merasa was-was dan cemas. Bagas takut jika dia tidak terpilih. Dia juga suda melakukan yang terbaik selama ini. “Dan langsung saja ya… saya selaku pelatih tim Garuda akan mengumumkannya sekarang. Ada tiga nama yang akan bergabung dalam tim… yang pertama adalah… FERDY YUNARKO!” Seorang lelaki berbadan jangkung dengan potongan rambut cepak langsung maju dengan senyum bangga. Suara tepuk tangan pun mengantar langkahnya. Dia menjadi sosok pertama yang mengamankan posisi sebagai anggota tim terpilih. “Dan yang kedua lolos adalah… BAGAS DHIRGANTORO!” Suara tepuk tangan kembali bergemuruh. “Yes!” Bagas melangkah seraya mengepalkan tinjunya. Bagas melangkah maju dengan tersenyum bangga dan setelah tiba di depan. Dia langsung melirik Dion dengan tatapan meremehkan. Tatapan yang seakan-akan menunjukkan keangkuhan karena Bagas sudah resmi terpilih. Dion menatap kesal. Alangkah lebih bagusnya jika lelaki tengik itu tidak terpilih. “Habis ini pasli elo kok… udah bisa ditebak,” bisik Asep yang berdiri di sebelahnya. Dion merasa cukup percaya diri. Dia pribadi memang merasa layak untuk lolos dan bergabung bersama tim. Secara performa dan skill, seharusnya bahkan Dion berada di urutan pertama. “Nama terakhir yang akan bergabung dengan tim garuda adalah… Jimmi Hernandes.” Deg. Suara tepuk tangan bergemuruh lagi. Seorang lelaki dengan rambut keriting maju ke depan dan tersenyum senang. Sedangkan Dion kini tertegun. Namanya tidak terpanggil. Dia tidak terpilih menjadi bagian dari tim. Suara tepuk tangan yang bergemuruh kini terasa asing dan lain bagi Dion. Pelatih di depan sana masih berbicara, tapi Dion tidak bisa lagi mendengar apa-apa. Telinganya berdengung. Lantai yang diinjak pun kini terasa berguncang. Dion bagai terpelanting ke alam lain. Kesadarannya menguap beberapa saat. Dia bahkan tidak mendengar suara Asep yang kini coba menghiburnya. Hingga kemudian Dion tersadar setelah orang-orang penting di hadapannya mulai membubarkan diri, begitu pun juga dengan teman-temannya yang lain. Mereka semua langsung memberikan selamat kepada tiga orang yang terpilih. Bagas tiada henti tersenyum bangga. Dia merasa bahagia karena terpilih menjadi anggota tim, tapi yang paling membuatnya senang adalah… kenyataan bahwa Dion tidak terpilih. “K-kita langsung pulang aja, yuk!” ajak Asep yang sudah merasa prihati. Dion masih termangu. “Dion! Yuk balik!” ajak Asep lagi. Suaranya lebih keras kali ini. Membuat Dion tersadar. Namun tatapan mata Dion langsung tertuju pada Bagas yang kini juga menatapnya. Dion meneguk ludah dan buru-buru membuang pandangan ketika Bagas tersenyum sinis padanya. “Ayo kita pulang.” Dion menatap Asep. Suaranya terdengar lesu. Dion tahu bahwa Bagas kini sedang berjalan mendekatinya. Ia pun mempercepat langkah menuju loker untuk mengambil ransel dan ingin segera menghilang dari tempat itu. Tapi ternyata… Bagas masih saja mengikutinya. “Lo nggak mau ngasih selamat sama gue?” suara itu terdengar menyebalkan. Dion mengambil ranselnya di dalam loker, lalu membanting pintu loker itu hingga menimbulkan suara bising. Dia mencoba mengabaikan Bagas yang kini berdiri di belakangnya. Tak jauh dari ambang pintu masuk ruang ganti itu. “Gue pikir lo juga akan lolos, tapi ternyata… hahaha. Ternyata lo nggak sehebat itu. Tapi emang bener sih. Harus diakui kalo kemampuan lo itu nggak seberapa,” tukas Bagas. Dion merasa gerah, tapi kali ini dia merasa tidak lagi bertenaga untuk meladeni Bagas. Dion tidak bisa menampik kenyataan bahwa ia cukup terpukul. Ia sedih. Ia kecewa. Ia iri pada Bagas. “Kenapa lo diem! Tadi lo berani ngelempar wajah gue!” Bagas bersuara lagi. Terlihat jelas bahwa dia memang sengaja memprovokasi Dion agar dilanda emosi. Dion menyandang ranselnya, lalu berbalik. Dia tidak akan melayani mulut besar Bagas. Dion berjalan gusar, dia ingin segera pergi dari sana. Tapi kemudian Bagas langsung menghalangi jalannya. Membuat langkah Dion terhenti. Dion mengembuskan napas gusar dan kemudian menatap Bagas perlahan. “Nah gitu dong! Tatap mata gue….” Bagas menyeringai. “Minggir!” ucap Dion ketus. Bagas menatap tajam. “Ini adalah peringatan terakhir buat lo… jauhin Dina! JAUHIN CEWEK GUE… ATAU LO AKAN KEHILANGAN LEBIH BANYAK LAGI!” Deg. Dion tersentak. Sedangkan Bagas menyeringai, lalu kemudian melangkah pergi. Dion terpana. Dia masih berusaha mencerna kalimat Bagas. Kehilangan lebih banyak lagi? Kenapa dia berbicara seperti itu? Apa mungkin Bagas tahu bahwa dia adalah sahabatnya Lani? Tidak! Itu jelas tidak mungkin, namun… Kenapa? Dion dilanda oleh seribu tanya yang membuat otaknya pening. Karena merasa tidak senang, Dion pun langsung mengejar Bagas. Derap langkahnya terdengat jelas di lapangan yang sunyi. Setelah dekat, Dion langsung memegangi pundak Bagas dari belakang dan menariknya hingga Bagas berbalik. “Apa maksud ucapan lo itu, ha?” tanya Dion. Sunyi. Bagas hanya tersenyum simpul dan menatap Dion dengan sorot mata merendahkan. “JAWAB PERTANYAAN GUE!” bentak Dion. Bagas menatapnya dengan wajah yang menyebalkan. “Apaan? Apa yang harus gue jawab?” “Jangan belagak bodoh! Apa maksud ucapan lo tadi?” ulang Dion. Bagas menyunggingkan senyum sinis. “Bukannya kata-kata gue udah jelas! Intinya jangan coba lagi mencari masalah sama gue. Atau lo akan menyesal.” Dion mengembus wajahnya yang terasa panas. Bukan itu yang ingin dia dengar. Dia ingin sebuah jawaban yang jelas. Tapi kemudian Bagas dipanggil oleh salah satu petinggi dari klub futsal Garuda yang ada di ujung sana. Bagas pun segera menghampirinya seraya berlari-lari kecil. Dion hanya bisa menyapu wajahnya dengan telapak tangan. Ia tampak frustasi dan kemudian si Asep pun datang menghampirinya dengan napas yang tersengal-sengal. “GILA! Gue tadi di kamar mandi dan nggak sengaja denger pelatih klub Garuda ngomong sama pelatih kita,” ucapnya dengan napas sesak. Dion mengernyitkan dahi. “Ada apa?” “Jadi tadi itu gue di dalam bilik toilet. Gue mules….” “Langsung ke intinya aja! Jangan berbelit-belit.” Dion yang sudah gusar menatap sengit. Asep mengangguk. Dia masih sedikit kesulitan bicara karena napas yang sesak. “Jadi pelatih kita protes. Katanya lo lebih layak untuk bergabung, tapi kenapa lo nggak kepilih gitu… dan lo tau apa jawaban dari pelatih tim Garuda itu?” “Apa?” tanya Dion. “Dia ngejawab nggak bisa milih lo karena BAGAS TIDAK MAU LO KEPILIH!” Eh. Dion menatap nanar. Dia masih tidak mengerti. Ingin penjelasan lebih yang bisa dimengerti. “Jadi ternyata papanya si Bagas ini adalah pemilik klub Garuda!” jelas Asep. Dion termangu. “A-apa?” Dion menatap tak percaya. Asep mengangguk. “Serius. Jadi ternyata klub itu milik papanya si Bagas!” Seketika segala persendiannya terasa lemah. Ia mengerti sekarang. Akhirnya ia tahu kenapa Bagas berkata seperti itu. Di satu sisi Dion terkejut. Di satu sisi dia lega karena bukan ‘Lani’ yang menjadi alasannya. “Gila nggak sih! Emang bokapnya dia itu kerja apa ya?” Asep menyuarakan keheranannya. Dion memejamkan matanya sebentar. Coba menghalau segala rasa yang berkecamuk. Rasa sakit hatinya terhadap Bagas kini semakin bertumpuk. Membuat Dion ingin lekas membalas dendam. Tapi… Bagaimana caranya? “Ya udahlah. Ayo kita balik,” ajak Dion kemudian. “T-terus kita gimana? Kita masih akan terus main di sini apa gimana? Tanya Asep. Dion terdiam sebentar, lalu kemudian tersenyum. “Gue akan coba masuk ke tim lain. Semua ini nggak akan menghentikan gue kok.” ** Waktu tepat menunjukkan pukul 21.00 malam ketika Dina selesai membereskan kamarnya. Dina memilah-milah lagi mana buku-buku yang masih penting dan mana kertas-kertas yang sudah bisa dibuang. Kamarnya yang sempit itu memang disesaki oleh tumpukan buku yang menggunung dan sekarang Dina merasa sekarang sudah waktunya untuk menyingkirkan segala yang sudah tidak berguna. Dia memilah buku-buku yang tidak terpakai lagi. Buku-buku yang dirasa masih penting tapi tidak dipakai lagi, dimasukkan ke dalam kardus, lalu disimpan di gudang dekat dapur. Sisanya adalah tumpukan kertas yang sudah tidak berguna dan ia ingin membuangnya saja. Dina kemudian berjalan keluar kamarnya membawa satu buah dus berisi buku-buku usang dan kertas yang akan ia buang. Dia hanya perlu meletakkannya di depan gerbang dan besok petugas sampah keliling akan mengambilnya. Dia mulai merasa bingung karena sang mama, om Tio dan adik sambungnya Verrel benar-benar nyaris tidak terlihat lagi di rumah itu. “Apa mereka semua sudah pindah secara diam-diam?” tanya Dina dalam benaknya. Tidak. Itu tentu sangat konyol. Mereka hanya lebih sering menghabiskan waktu di luar rumah akhir-akhir ini. Toh, Dina juga pernah mendengar bahwa Om Tio memiliki beberapa properti yang lain. Dia juga memiliki unit apartemen yang dekat dengan kantornya. Jadi mungkin saja sang mama lebih sering menghabiskan waktu di sana. Biarlah… Dina justru lebih senang dan tenang seperti ini. Walau terkadang ia sedikit merasa ketakutan juga di malam hari. Dina tidak takut kepada hantu atau sejenisnya. Dia hanya cemas jika ada maling dan penjahat yang masuk, sedangkan ia sendirian saja di rumah. Dina mengusir segala pikiran buruk. Dia coba menikmati kesendirian itu. Dina kemudian keluar. Udara malam yang dingin langsung menerpanya. Dina meletakkan kardus itu terlebih dahulu di teras, lalu membuka pagar. Ia sedikit kesulitan mendorong pagar besi yang sepertinya sudah cukup berkarat itu. Setelah membuka gerbang, ia kembali mengambil kardus tadi dan membawanya keluar. Saat itu juga Dina melihat cahaya lampu motor yang mendekat, lalu berhenti. Awalnya Dina tidak bisa melihat siapa itu karena cahaya lampu motor yang silau menerpa wajahnya, tapi setelah motor itu terhenti, Dina bisa melihat siapa yang duduk di sana. DION. Dion yang mengantar Asep ke rumahnya baru saja tiba. Dion pun terkejut melihat Dina, tapi dia sangat kecewa karena Dina langsung membuang muka saat Dion menatap padanya. Deg. Dina tersentak. Namun dengan cepat ia berbalik. Meletakkan dus yang ia bawa itu dengan tergesa-gesa, lalu kembali berlari ke balik pagar rumahnya. Dia tidak ingin melihat Dion. Dia tidak ingin berurusan dengan lelaki itu lagi. Dina bahkan tidak peduli pada dus yang ia letakkan itu sudah tumpah. Kertas-kertas berserakan dari sana karena Dina meletakkannya asal-asalan. Dina menarik pintu pagarnya, tapi…. “K-kenapa tidak mau ditarik?” Dina menatap panik. Dina terus berusaha menarik pagar itu sekuat tenaga. Ia menariknya lagi, lalu berhenti, kemudian menariknya lagi. Melakukannya berulang-ulang dengan tatapan mata yang semakin resah. Wajahnya bahkan hingga memerah karena Dina mengerahkan semua kekuatannya, tapi tidak juga berhasil. Suara besi pagar yang duguncang-guncang itu berderit keras. “Duh, kenapa, sih?” rintih Dina. Hingga tiba-tiba… sebuah tangan terjulur dari sampingnya. Membuat Dina melotot kaget. “Minggir!” ucapnya. Dina terkejut dan langsung melangkah mundur. Dia hanya menganga saat melihat Dion menarik pagar besi itu. Dion datang untuk membantunya. Hanya butuh sekali percobaan saja, Dion bisa menarik pagar itu hingga kemudian ia bergeser keluar pagar dan mendorongnya lagi hingga pagar itu terkatup sempurna. Dina masih termangu. Dia berdiri di balik pagar. Dion pun juga berdiri di baliknya. Sekarang keduanya bisa saling melihat satu sama lain di antara celah pagar besi itu. Dion masih di sana dan hanya menatap nanar. Menanti sepatah kata dari Dina. Barangkali hanya sekedar ucapan ‘makasih’ atau sejenisnya. Tapi ternyata Dina lekas mengunci pagar dan berlari begitu saja masuk ke dalam rumah, kemudian mengunci pintu. Tak sampai disitu, Dina juga menarik gorden jendela hingga semua tertutup rapat. Sunyi. Dion yang masih tertegun di tempatnya berdiri merasa sedih. Padahal dia ingin menyapa Dina. Tapi sepertinya Dina memang berusaha keras untuk menghindarinya. Hari ini bagaikan hari yang teramat sial untuk Dion. Pertama Dina juga mengabaikannya ketika ia datanng menjemput Asep di pagi hari. Kedua dia gagal masuk ke dalam tim futsal Garuda. Dan sekarang… Dina lagi-lagi menampakkan sikap ketidaksukaannya dengan sangat kentara. “Udahlah… sebaiknya lo berenti. Dari awal apa yang lo lakuin emang salah.” Asep berkata lirih. “Ini pendapat pribadi gue sih… tapi semua jadi kacau karena cewek itu. Kalau aja lo nggak berurusan sama dia… pasti hubungan lo sama si Bagas baik-baik aja. Segala drama pertengkaran itu nggak akan terjadi dan lo pasti udah gabung dalam tim Garuda,” tukas Asep. Dion terpekur. Tapi kemudian dia tersenyum pelan. “Tanpa perempuan itu pun… gue tetep akan mencari masalah sama dia. Dan semua ini baru PERMULAAN!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD