Penjara Bawah Tanah

1014 Words
Mungkin bukan karena tidak ada yang bisa dilakukan, tapi karena tidak ingin melakukan apa-apa. *** Aul tidak bisa melihat apa-apa. Gelap. Sampai terdengar suara seseorang. Ternyata Joni, ia menyalakan lampu senter dari ponselnya. "Kau baik-baik saja?" Joni bertanya. "Ya, hanya sedikit pusing, apa mobilku terbalik?" Aul memegang kepalanya yang berdengung hebat. Matanya juga terasa sangat perih. Joni mengarahkan ponselnya ke atas. Tak terlihat apa-apa, cahaya ponselnya tak bisa menjangkau lebih jauh. Tangannya kemudian menepuk-nepuk bajunya dan mengusap-ngusap wajahnya. Terasa kotor dan perih. Sepatu yang mereka kenakan juga basah dan berlumpur. Benar-benar kacau tadi. "Mungkin benar, mobilmu sudah terbalik. Kita juga tidak mungkin ke atas," ujar Joni sambil mendongak. "Ponselku juga hilang," Aul meraba-raba saku celananya. Kemudian, ia ingat, ponselnya di letakkan di dashboard mobil. Bukan di saku. "Apa yang akan kulakukan tentang mobil antik kakek? Kacau sudah!" "Ini bukan waktu yang tepat untuk mencemaskan mobil, Ul." "Kita sekarang dimana?" lanjut Joni sambil terus mengarahkan ponsel ke sembarang tempat. "Seperti ...." Aul mencoba mengingat. Ini tidak asing. "Di Museum Fatahillah?" tanya Joni lagi. "Ya, persis seperti itu. Namun penjara bawah tanah ini, lebih besar dan sepertinya menampung banyak tahanan," keduanya terus berjalan. Beberapa sel terlihat tanpa penghuni. "Jakarta Underground. Nama penjara ini, dibangun tahun 2025. Masih baru. Kerja sama dengan Amerika," lanjut Aul. "Kautahu banyak?" "Ya, aku pernah membaca. Namun tidak ada yang tahu persis letaknya. Semua orang mungkin pernah dengar dan tahu, tapi mereka tak pernah benar-benar tahu persisnya dimana. Di Kota Jakarta. Hanya itu saja. Sekarang, aku berada di sini. Sulit dipercaya." "Sengaja dirahasiakan?" "Ya, demi keamanan. Bahkan, kunjungan keluarga sangat dibatasi." "Kaubisa hubungi seseorang?" tanya Aul. Joni baru tersadar dengan ide itu. Ia segera mencari kontak. Nomor polisi terdekat. Ia yakin, masih ada yang bertugas. "Sudah kucoba. Lihatlah, sinyalnya," Joni menyodorkan ponsel. Aul hanya melihat layar dengan peringatan tanpa sinyal. Ini tidak akan berhasil. "Biar kucoba lagi." "Tidak, itu tidak akan berhasil." Joni mengangguk, ia melihat layar ponsel yang memang tanpa sinyal sama sekali. "Tak ada cara lain, kita harus berjalan terus. Semoga ini bukan keputusan yang salah." "Tentu, untuk apa, kita diam dan menunggu? Itu keputusan yang sangat salah." Mereka terus berjalan dengan hati-hati. Samar terlihat beberapa penjara dengan penerangan. Aul menyuruh Joni mematikan ponsel. "Mungkin berbahaya." Aul melihat ke dalam sel. Tepatnya, mencoba mengintip, beberapa tahanan terlihat sedang meringkuk. Mungkin tidur. "Tak ada yang bisa mereka lakukan, di saat orang-orang sibuk untuk pergi, mereka masih di sini," bisik Aul pelan. "Kasihan, mereka mungkin tak punya pilihan. Eh, dimana para sipir? Ini mengerankan," Joni benar-benar tidak mengerti. Beberapa sel terlihat kosong. Pintunya terbuka lebar. Suasana benar-benar terasa sedikit mengerikan. Suara hujan juga membuat nuansa kelam tambah sempurna. "Ada yang kabur?" tanya Joni penasaran. Aul menggeleng, ia tidak tahu sama sekali. Ia hanya tahu bahwa penjara bawah tanah ini disebut sebagai penjara teraman. Harusnya, ada beberapa sipir yang masih tinggal, atau lebih dari itu, harusnya semua tahanan sudah dipindahkan. "Ssst!" Aul memberi isyarat agar berhenti berjalan dan tidak bersuara. Mereka berharap itu sipir, tapi ternyata bukan. "Siapa kalian?" laki-laki berbaju tahanan itu segera mendekati Aul dan Joni dengan perlahan. Tidak terlihat berbahaya. Seperti seseorang pada umumnya. "Kami, dua orang yang terjebak," jawab Aul dengan ragu. "Terjebak?" tahanan itu terlihat tidak percaya. Memandang Aul dan Joni dengan seksama. Arloji di tangan Aul. Laki-laki itu terus saja memandangnya. "Kau mau ini?" Aul membuka arlojinya begitu saja. Tanpa ragu, menyodorkannya kepada Sang Tahanan. Tahanan itu sumringah menerimanya. Ia memegang arloji itu dan segera memakaianya. "Terlihat cocok," ucap Joni. Meskipun sebenarnya tidak. Itu hanya sebuah pujian yang bohong sekali. Demi mendapatkan hati Sang Tahanan. Dengan tergesa, Joni juga meraba gelang di tangannya. Memang, Sang Tahanan itu, ia yakin tidak akan tertarik. Namun, ia takut gelangnya akan diambil juga. "Kalian, aku percaya kalian terjebak. Aneh jika kalian sengaja datang ke tempat seperti ini." "Tentu saja, kami tak pernah berniat ke sini sama sekali. Apa kau bisa tunjukkan jalan keluar?" tanya Aul bersemangat. Tahanan itu menggeleng, "Aku tidak tahu jalan keluar, tapi aku kenal beberapa orang di sini. Teman-temanku dan salah satunya aku yakin, dia tahu." "Boleh kami menemuinya?" tanya Aul lagi. "Tentu, tapi sebelum itu, siapa nama kalian? Panggil aku Ipang." "Aku Aul." "Aku Joni." "Aul dan Joni. Senang bertemu kalian. Walaupun dalam keadaan kalian yang mengkhawatirkan. Seperti baru saja jatuh dari pesawat terbang." "Tidak, kami tidak jatuh dari pesawat, kami jatuh dari mobil." "Tanah yang bergerak, hujan badai?" atau angin yang besar?" tebak Ipang. "Tanah bergerak, kau tidak tahu? Pasti semua penghuni di sini merasakannya juga, kan?" "Ya, tapi bencana bisa sangat beragam, bukan?" Aul mengangguk. Tahanan yang banyak bicara ini, ternyata mengetahui banyak hal. "Bagaimana rasanya di sini?" tanya Joni penasaran. Merasakan tanah bergerak di bawah tanah? Apakah sangat menakutkan? "Itu hal yang biasa, sebenarnya. Sebab, ada hal yang lebih mengerikan dibandingkan kejadian semacam itu." "Hal mengerikan seperti apa? Aku hanya ingin tahu tentang mengapa kau dan yang lainnya tidak panik dan terlihat baik-baik saja dengan fenomena ini? Tunggu, penjara ini bahkan terlihat masih utuh." Semua pertanyaan yang sama yang ingin Aul katakan sudah diborong oleh Joni. Ia hanya diam menunggu tanggapan Ipang. "Kami pernah mengalami ini sebelumnya. Tanah begerak, dan bahkan banjir yang lumayan tinggi. Penjara ini didesain khusus, tidak sembarangan. Kautahu, negara kita bekerja sama dengan Amerika untuk mencari desain yang sempurna. Penjara ini kokoh dan gagah." "Kautahu banyak hal, Ipang." "Semua tahanan di sini tahu hal itu." Mereka masih terus berjalan perlahan. Melewati sel demi sel yang minim penerangan. Beberapa penghuninya ada yang sedang makan, ada yang sedang tidur. Kebanyakan dari mereka terlihat sedang tidur. "Apa mereka tidak panik, saat tanah bergerak terjadi?" Ipang menggeleng. Mendengar pertanyaan Joni untuk yang ke sekian kali. "Kami tak punya pilihan. Sekalipun alam semesta ini berakhir, mungkin aku dan semua tahanan akan tetap di sini." Mendengar itu, Aul dan Joni bungkam. Masih banyak yang ingin mereka tanyakan. Namun urung, Aul dan Joni hanya ingin semuanya segera berakhir. Aul bahkan sedang membayangkan bagaimana ibunya sekarang. Ia yakin, perempuan paling dikasihinya itu sangat cemas sekarang. Tiga langkah kaki di lorong pejara terdengar lebih jelas sekarang. Hujan sudah mulai reda. Suara langkah kaki itu turut membangunkan beberapa tahanan lain.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD