BASKET.

2310 Words
BASKET. DELTA tengah berdiri di tengah lapangan dengan terik mentari membakar seluruh kulitnya. Ia menyeka keringat di dahinya dengan menggunakan lengan kiri yang bebas dari debu. Siang ini, ia dan teman-temannya berencana untuk bermain basket sepulang sekolah. Mereka memulai olahraga itu sejak pukul taiga sore hari. Hanya satu jam setelah sekolah berakhir. Delta merasa sangat bersemangat memulai olahraga ini. Di sekolah barunya, ia memiliki banyak teman yang menyenangkan. Dan tahun pertamanya di sekolah yang baru berjalan selama dua bulan, terasa jauh menyenangkan karena setiap harinya ia bisa meliht gadis itu “Delta!” seru temannya saat ia nyaris mendapatkan bola yang dilempar oleh rekan satu timnya. Delta mengabaikan teriakan Nick dan tetap fokus pada bola basket. Ia membawa bola itu ke ring dan melemparnya. Yap! Bola tersebut masuk dengan indah ke dalam ring basket. Nilai sempurna untuk timnya. Permainan masih berlanjut, tetapi ia menyempatkan diri untuk melihat Nick yang kini duduk di sisi lapangan dengan membawa sebotol air minum. Nick adalah teman yang ia temui sejak pertama kali masuk ke sekolah tersebut. Ia dan Nick berada di dalam satu kamar di asrama. Mereka melakukan banyak hal bersama-sama. Dan Nick juga, satu-satunya orang yang mengetahui tentang rahasia besarnya. “Dia…” Nick menggunakan dagunya untuk menunjuk seseorang yang lewat di samping lapangan basket. Delta dengan bodohnya mengikuti arah pandang Nick. Ia seketika terpaku pada sosok yang saat ini berjalan seorang diri dengan mengenakan dress santai berwarna putih dengan taburan bunga matahari hampir di setiap bagiannya. Sosok itu tampak luar biasa di bawah bias terik matahari sore, rambut panjangnya tergerai indah dan menari-nari kala semilir angin menerpanya. Selama sesaat yang cukup panjang dan menyenangkan, Delta tidak mau beranjak dari sana. Dunia di sekitarnya seolah lenyap begitu saja, meninggalkan dirinya dan gadis yang kini perlahan menjauh darinya. Namun, bayangan yang semakin lama semakin tampak estetik itu tiba-tiba menolah, menatapnya. Tepat di saat itulah… Nick kembali meneriakkan namanya. Namun semua sudah terlambat. Salah satu rekan satu timnya telah melempar bola ke arah Delta dengan cukup keras dan bola itu tepat menghantam kepalanya. Delta tidak merasakan apa pun saat itu, tetapi saat ia maju satu langkah, tubuhnya limbung dan kesadarannya hilang begitu saja. Hal terakhir yang ia dengar adalah teriakan teman-teman satu timnya. Lalu… semuanya gelap. ** Sore itu, Ava berencana bertemu dengan beberapa temannya dan berkumpul di taman untuk membahas tugas sekolah yang harus mereka selesaikan minggu ini. Sebenarnya, ia sudah menyelesaikan tugasnya bahkan sebelum hari ini. Namun karena teman-temannya meminta tolong padanya untuk membantu mereka, ia dengan senang hati akan membantu mereka. Ava mengenakan baju yang baju yang baru saja dikirim oleh ibunya hari senin lalu. Ibunya memang memiliki selera fashion yang sangat baik, seperti saudara kembarnya. Sedangkan dirinya, sama sekali tidak peduli dengan penampilan. Semua itu bukanlah masalah bagi Ava, ia tetap bisa tampil modis berkat bantuan saudara kembar dan ibunya. Ia lebih suka tumpukan buku dan ipad yang selalu memberinya pengetahuan baru. Sama persis seperti ayahnya. Itulah yang selalu ia katakan pada dirinya sendiri. Dalam perjalanan menuju taman, ia sempat melihat beberapa anak dari tingkat di bawahnya bermain bola basket. Ia mengenali salah satu dari mereka yang bernama Nick, teman dekat Delta. Ava menyempatkan diri untuk menoleh dan mendapati Delta tengah bermain. Senyumnya mengembang melihat pemandangan tersebut. Usianya dengan Delta memang terpaut kurang lebih satu tahun, tapi entah mengapa ia merasa bangga dengan anak itu. Delta memiliki tinggi yang hampir sama seperti dirinya. Dan anak itu, meskipun ceroboh dan kerap kali membuat onar, tetap saja menyenangkan di matanya. Hal selanjutnya yang terjadi adalah Delta ikut menatapnya. Ia tidak sadar kalau rekan satu timnya melempar bola ke arah Delta sehingga bola tersebut mendarat di kepalnya. Ava meringis tertahan, semula ia berharap semua akan baik-baik saja. Ia tetap berdiri di tempatnya, menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya. Setelah lama menunggu dan Delta tidak kunjung bangun saat dikerumuni orang-orang di sekitarnya, ia tidak bisa menahan diri lebih lama lagi. Ava bergegas menghampiri lapangan basket sambil berlari. Ia harus melihat dengan mata kepalanya sendiri apa yang terjadi pada pria itu. Sesampainya Ava di lapangan, ia melihat Delta tidak sadarkan diri. Nick tampak panik, ia menepuk-nepuk pipi Delta sambil memanggil nama anak itu. “Delta… Delta… Delta, bangun.” Ava berjongkok, “Ada apa?” tanyanya pada kerumunan itu. “Kurasa dia pingsan.” Sahut Nick dengan ekspresi yang sama. “Kurasa kita harus membawanya kembali ke kamar atau setidaknya ke tempat yang lebih manusiawi.” Ucap Ava spontan. Semua orang di sana memandanginya dengan ekspresi bingung. Salah satu di antara mereka menyeletuk. “Kau pikir lapangan ini tidak bisa disebut manusiawi?” Ava meringis sambil terkekeh. “Bukan itu maksudku.” “Bagaimana kalau kita membawanya ke ruang ganti?” usul Nick. “Ide bagus, Nick. Nah, bisakah kalian mengambil tandu?” pinta Ava pada dua orang yang berjongkok tepat di hadapannya. Kedua anak itu mengangguk dan langsung beranjak menuju ruang ganti tempat di mana tandu disimpan. “Nick, bisakah kau pergi ke taman dan mengatakan kepada teman-temanku kalau aku tidak bisa datang? Aku takut mereka menungguku.” Nick menggeleng tegas. “Maaf, aku tidak bisa meninggalkan Delta di sini sendirian.” Katanya sendu. “John, bisakah kau menggantikanku?” tanya Nick pada salah satu temannya. John mengangguk lalu pergi meninggalkan lapangan secepat mungkin. Tak berapa lama kemudian, punggungnya menghilang di balik pohon besar yang sudah tumbuh puluhan tahun din lingkungan sekolah mereka. “Bagaimana bisa dia pingsan?” tanya Ava pada Nick. “Entahlah, kurasa dia tidak konsentrasi saat bemain.” Sahut Nick malu-malu. Ava tahu ada yang Nick sembunyikan darinya. Meski begitu, ia tidak bisa memaksa anak itu untuk mengatakan apa yang tengah dipikirkannya. Tak lama kemudian, dua orang anak datang dengan membawa tandu. Mereka bergotong-royong mengangkat tubuh Delta dan meletakkannya di atas tandu lalu. Empat orang anak dengan tubuh paling tinggi mengangkat tandu tersebut dan membawa Delta menuju ruang ganti. Ava meminta salah satu teman Nick untuk pergi mencari minyak aromatherapy. Ia berharap Delta bisa segera pulih dengan minyak tersebut. Ia juga berharap Delta hanya pingsan. Tidak lebih. Sesampainya mereka di ruang ganti, Delta segera dipindahkan ke atas meja. Ava menggosokkan minyak aromatherapy ke tangannya. Ia lalu meletakkan salah satu tangannya di atas hidung Delta dan berharap dengan aroma itu Delta bisa segera pulih. Setelah percobaan beberapa kali, usahanya membuahkan hasil. Delta perlahan membuka mata. “Oh, syukurlah.” Ia mendesah lega. “Apa kau baik-baik saja?” Ujung bibir Delta terangkat sehingga membentuk sebuah senyum simpul. Ia mengagguk lemah lalu menggeleng. Setelah beberapa saat Delta kembali menutup matanya. Ava dan beberapa orang di sana tampak bingung. Ia menyentuh pipi Delta sambil bertanya, “Delta… apa kau mengenalku? Apa yang kau rasakan?” Delta kembali membuka mata. Kali ini terlihat bingung. Ia menggerakkan bola matanya ke kanan dan ke kiri, mengamati sekitar. “Ini aku Ava. Apa yang kau rasakan?” Delta hanya menggelem samar. “Aku… baik-baik saja.” Katanya sambil meneguk saliva. “Syukulah.” Ava mengembuskan napas. Teman-teman satu tim Delta mulai membubarkan diri, menyisakan Delta, Ava dan Nick di sana. “Apa yang saat ini kaurasakan?” Wajah Delta bersemu merah. “Pusing.” Jawabnya jujur. “Kurasa kepalamu terkena bola dan kau pingsan.” Jelas Ava. Delta mengangguk, “Aku mengingatnya.” “Apa kau mau kembali ke asrama sekarang? Atau kita harus menunggu sampai kepalamu tidak pusing lagi? Aku akan menemanimu di sini.” Delta berusaha bangkit dengan dibantu Nick dan Ava. “Pergilah, Nick akan menemaniku.” “Kau yakin?” tanya Ava dengan ekspresi cemas. Mustahil ia meninggalkan Delta dalam situasi seperti sekarang. Mereka berteman baik sejak masih kecil, ia merasa punya tanggung jawab yang cukup besar untuk menjaga anak itu. Di matanya, Delta akan selalu menjadi anak laki-laki yang harus dijaga dan dilindungi sampai kapan pun. “Nick, bisakah mau mencari minum untuk kami? Air mineral saja.” Nick langsung mengangguk penuh semangat. “Baiklah.” Katanya lalu pergi meninggalkan Delta dan Ava berdua di ruang ganti. Ava menyandarkan punggungnya di kursi. Saat ia melihat Delta bergerak, ia segera berdiri dan nyaris terjatuh. “Kau mau kemana?” tanyanya panik. “Turun. Aku tidak mungkin berbaring di sini semalaman, kan?” “Kau yakin?” Ava menyentuh bahu Delta. Di luar dugaannya, Delta justru tersentak kaget. “Apa bahumu cidera?” “Tidak.” Delta menggeleng cepat. “Sama sekali tidak. Aku hanya… masih merasa pusing.” “Sebaiknya kau berbaring. Apa aku perlu menghubungi orangtuamu?” tanya Ava, memastikan kalau saat ini Delta baik-baik saja. Delta kembali menggeleng lagi. “Tidak, Ava. Sama sekali tidak perlu. Aku baik-baik saja. Sungguh.” Ava mengulurkan tangannya untuk membelai rambut Delta yang berantakan. “Jangan sok kuat. Kalau kau butuh apa-apa, kau bisa memintanya dariku. Aku akan selalu ada di sampingmu untuk menjagamu.” Mereka saling menatap satu sama lain untuk sesaat. Namun tiba-tiba Delta memalingkan wajahnya, tampak malu. “Delta…” panggilnya. “Aku sudah besar sekarang. Jangan perlakukan aku sepeti anak-anak.” Ucap Delta dengan nada frustasi. “Aku tahu. Kau sudah besar. Aku hanya khawatir padamu. Terkadang kau sedikit… ceroboh.” “Kau selalu menganggapku seperti itu.” tuduh Delta. Ava sama sekali tidak keberatan dengan tuduhan tersebut. Ia mengakui semua itu. Baginya Delta memang seorang ceroboh yang selalu membuat masalah untuk menyakiti dirinya sendiri. “Kau ingin aku menganggapmu apa?” tanyanya. Biar bagaimana pun, Ava tidak mau membuat Delta tersinggung. “Entah.” “Laki-laki dewasa? Begitu?” Delta menggeleng cepat. “Setidaknya, anggap saja usia kita sama dan tolong jangan perlakukan aku seperti anak-anak.” “Delta, aku tidak berpikir seperti itu. Kapan aku memperlakukanmu seperti anak-anak? Itu hanya firasatmu saja.” “Hari ini.” Gerutu Delta kesal. “Kau pingsan. Jadi aku harus diam saja? Begitu maksudmu? Kau tidak suka aku memperhatikanmu?” “Aku suka kau memperhatikanku, tapi bukan begini caranya. Kau selalu menatapku seolah aku boneka porselen yang sangat rapuh.” Ava terkejut mendengar penuturan Delta. Apakah dirinya semudah itu untuk dibaca? Dan apakah selama ini Delta tersinggung dengan semua tingkah lakunya? Bukan apa-apa, ia hanya tidak tahu bagaimana menghadapai anak laki-laki yang sangat ceroboh ini. Sepanjang hidupnya, ia hanya memiliki satu saudara kembar. Mereka nyaris tidak pernah bertengkar dan selalu bisa bertukar pendapat. Sementara kehadiran Delta, sejujurnya ia juga kebingungan bagaimana menghadapi anak itu. “Aku minta maaf.” Hanya itu yang bisa ia ucapkan. “Hey,” Delta memakukan pandangan padanya. “Jangan meminta maaf. Aku…” “Maaf karena membuatmu tidak nyaman dengan sikapku.” Potong Ava cepat. “Bukan itu maksudku.” “Aku tahu kau tersinggung.” “Tidak, sama sekali tidak. Aku hanya tidak suka diperlakukan seperti anak-anak. Itu saja.” Delta mencoba turun dari meja. Ava dengan sigap berdiri dan membantunya. “Terima kasih.” Katanya. “Sama-sama.” Di belakang mereka, Nick datang dengan membawa dua botol air mineral. Ia segera bergabung dengan Ava dan Delta. “Maaf kalian harus menungguku cukup lama.” “Tidak masalah, Nick. Terima kasih.” Ucap Ava lengkap dengan senyuman. Ava lalu membuka tutup botol dan memberikannya kepada Delta. “Minumlah, kau membutuhkan ini untuk memulihkan tenagamu.” Delta menerima botol itu dari Ava lalu meneguknya hingga hanya tersisa separuh. “Apa kalian akan kembali ke kamar sekarang?” tanya Ava pada Delta dan Nick. “Nick akan kembali sekarang dan membawa barang-barang kami. Bukankah begitu, Nick?” Delta menjawab lebih dulu. Mendengar hal itu, Nick tampak tidak suka. Namun ia hanya bisa pasrah. “Ya. Aku ada urusan dengan temanku.” Setelah mengucapkan hal itu, Nick bergegas memunguti tas miliknya dan milik Delta. Ia lalu pergi meninggalkan ruang ganti, meninggalkan Ava dan Delta berdua di sana. “Maukah kau menemaniku kembali ke kamar?” Delta mengalihkan pandangannya dari Nick dan menatap Ava penuh harap. Ava menghela napas. Saat ini tidak ada yang bisa ia lakukan selain menuruti permintaan Delta. Mereka lalu keluar dari ruang ganti dan berjalan menuju kamar Delta. Sepanjang perjalanan, keduanya tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ava tidak tahu apa yang saat ini dipikirkan oleh Delta. Sedangkan saat ini ada banyak hal yang ada di benaknya. Sebenarnya, sampai sekarang ia masih bertanya-tanya kenapa Delta memilih sekolah yang sangat jauh dari rumahnya. Ava sempat terkejut saat pertama kali mendengar kabar Delta akan bersekolah di sekolahnya. Dan selama dua bulan ini, hubungannya dengan anak itu menjadi semakin dekat. Baginya, Delta dalah anak yang sangat baik dan penuh semangat meski terkadang bertindak ceroboh. Sesampainya mereka di depan kamar Delta, keduanya berhenti dan masih saling membisu. Ava memutuskan untuk berkata lebih dulu. “Mandi, makan dan beristirahatlah.” “Aku tahu, jangan ingatkan aku untuk itu.” “Kau tidak suka aku memperhatikanmu?” tanya Ava dengan nada rendah. Di sekeliling mereka anak-anak lain berlalu-lalang. Satu dua dari mereka memperhatikan Ava dan Delta. “Aku suka kau memperhatikanku. Tapi tolong lihat aku dari segi yang berbeda.” “Kita sudah membahas ini, Delta dan aku sudah meminta maaf padamu.” “Ava, jangan berhenti memperhatikanku meskipun nanti kita sudah beranjak dewasa.” Ava menahan tawanya. “Iya. Apa lagi sekarang?” “Sudah.” Jawab Delta sembari membuka pintu kamarnya. “Dan jangan anggap aku sebagai anak kecil lagi.” “Iya… iya…” Ava mendorong punggung Delta hingga melewati bingkai pintu. “Berjanjilah kau akan selalu ada untukku sampai tua nanti.” Kali ini Ava tidak bisa menahan diri. Ia terkekeh saat mendengar permintaan konyol Delta. “Ava…” Delta menatapnya dengan cemberut. “Iya, Delta.” “Kau belum berjanji.” Desak anak itu. “Aku berjanji akan selalu ada untukmu hingga tua nanti.” “Goodgirl.” Ucap Delta lalu masuk ke kamar dan menutup pintunya. Ava menghela napas lega. Setidaknya, drama bersama anak bernama Delta sudah berakhir. Kini saatnya ia kembali ke kamar dan beristirahat. Sebagian dari dirinya merasa terbebani dengan janji itu. Dan sebagian lagi… ingin mengabaikannya. Betapa jahatnya kau, Ava.                  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD