BAB 2

1432 Words
Aku kembali menggelar sajadah dan bersimpuh di atasnya, memohon untuk masa depanku, untuk rumah tangga yang akan ku jalani seminggu kemudian. Aku berharap ini adalah jodoh terakhirku dan tidak akan ada pernikahan kedua dalam hidupku. Hanya kepada Allah aku berserah diri, walaupun pernikahanku ini adalah hasil perjodohan, tapi aku yakin Allah menunjukkan jalan ini karena Mas Rafiz memang jodohku. Aku berusaha membuang pikiran jelek tentang Mas Rafiz yang sudah berhasil melukai hati dan melukai harga diriku. "Ya Allah ... ya Rabb. Kepada siapa aku berserah diri, jika bukan kepada Mu? Segala sesuatu yang Engkau tunjukkan adalah yang terbaik untukku, aku yakin itu dan aku bersimpuh di depan Mu untuk kebahagiaan pernikahan yang ku idamkan, selama ini Menjadi jamaah di belakang imamku dan berdoa bersama. Semoga hal itu terpenuhi, ya Allah … ya Rabb. Hanya kepada-Mu aku meminta, hanya kepada-Mu aku berserah diri, Langkahkan kakiku untuk menjadi wanita dan istri yang salihah untuk suamiku. Aamiin Allahumma aamiin." Ku gulung sajadahku dan membuka mukena yang ku kenakan, aku meminta mahar seperangkat alat salat karena menurutku itu lebih berarti dari berlian atau uang sekalipun, karena dengan mukenah, tasbih, sajadah dan Alquran, itu bisa membimbingku menjadi istri yang baik, aku sejak dulu memang menolak setiap kali Ibu berusaha menjodohkanku, tapi kali ini ku terima karena ini amanah Ayah untuk ku jalani. Suara ketukan pintu kamarku terdengar, membuatku melangkah menuju pintu dan memutar gagangnya. Ku lihat Ocha, sahabatku, sedang menatapku. "Ocha?" "Aku meneleponmu, tapi gak kamu angkat, " ujar wanita berambut sebahu ini, aku tahu dia datang karena baru saja mendengar tentang perjodohanku. "Masuk," kataku, "Aku baru saja selesai salat Isya. Ada apa kamu kemari malam-malam begini?" "Apa menurutmu, aku bisa diam setelah mendengar kamu menerima perjodohan ibumu? Ya … gak mungkin lah! " gerutu Ocha. "Mau gimana lagi, Ca, semakin aku menghindari perjodohan Ibu, semakin kuat usaha Ibu untuk menjodohkanku. Lagian ini amanah ayahku, jadi aku harus menerimanya." "Tapi, kali ini, siapa pria nya?" "Namanya Mas Rafiz Hamdan!" "Rafiz Hamdan? Kayak pernah dengar, ya," Wajah Ocha menunjukkan rasa penasaran. "Dia pengusaha dan pemilik perusahaan tekstil di Jakarta. Usahanya ada di mana-mana, dan wajahnya juga profil hidupnya pun ada di mana-mana, " jawabku. "Ha? Rafiz Hamdan yang tampan itu?" "Astagfirullah ... nyebut, Ca, " "Astgfirullah Al-‘azhim, maafkan aku." Kekeh Ocha "Terus, kamu terima?" "Kamu kemari pasti sudah tahu, aku menerimanya dan aku akan menjadi istrinya, " jawabku. "Ya ampun ... segitunya, ya. Tapi, semoga bahagia aja," "Insya Allah." "Aku ada acara launching pekan ini, kamu datang, ya Kalau bisa, sih, ajak Rafiz juga, " ujar Ocha. "Pernikahanku, kan, pekan ini, Ca!" kata Hazanah, "Ha? Pekan ini?" Ocha menatapku "Kok kedengarannya mendadak?" "Permintaan keluarga Hamdan, sih,  begitu, Harus di percepat." jawab Hazanah. "Duh ... gimana dong? Launching ku, kan, pekan ini juga, Aku gak mungkin gak ngehadirin acara pernikahanmu." "Kalau memang launchingmu gak bisa di tinggal, ya sudah sih, Ca, gak usah datang." kata Hazanah, sedikit menunjukkan ekspresi kecewa. "Aku jadi gak enak nih," ujar Ocha, menoleh ke arahku, "Masa pernikahan sahabat sendiri, gak aku hadirin, sih, " "Launching mu, kan, lebih penting, Itu demi masa depan kamu juga, jadi gak apa-apa, Ca!" "Yang bener?" “Iya, bener. Kamu fokus saja menyambut launching produkmu." "Setelah acaranya selesai, aku pasti akan langsung ke acara pernikahanmu kok." Aku mengangguk, "Iya." "Aku nginap, ya," kata Ocha. "Iya, Ca, aku senang malahan kalau kamu nginap." Hazanah menunjukkan wajah senangnya, ketika mendengar sahabatnya akan menginap. **** "Saya terima nikah dan kawinnya Hazanah Widayatul binti Ramin Wardana dengan mas kawin seperangkat alat salat di bayar tunai." kata Mas Rafiz, dengan satu tarikan nafas. "Bagaimana saksi? Sah?" tanya penghulu kepada kedua saksi. "Sah, sah." jawab saksi bersamaan. Di sambut dengan sorakan tepuk tangan dari para tamu undangan, aku mencium punggung tangan Mas Rafiz yang kini sudah sah menjadi suamiku. Setelah penyerahan buku nikah, Aku dan Mas Rafiz berdiri di pelaminan untuk menerima ucapan selamat dan menyambut para tamu undangan yang hadir. **** Setelah mandi, Mas Rafiz keluar dari kamar dan melihatku masih memakai hijab, Mas Rafiz mendengkus kesal, karena menurutnya, aku kemungkinan terlalu berlebihan, wanita yang di kenalnya selama ini, tidak pernah berlebihan sepertiku. Sedikit memiliki pandangan yang berbeda. "Aku sudah siapkan segelas s**u untuk Mas!" kataku, berusaha ramah. "Apa kamu tidak bisa membuka topeng ninjamu itu? Aku gerah lihatnya," tutur Mas Rafiz. "Ini bukan topeng ninja, Mas, ini hijab yang wajib di pakai semua wanita." Jawabku tetap santun, meskipum setiap kali Mas Rafiz berbicara selalu melukai hatiku. "Hijab? Apa kamu sudah merasa sempurna menjadi seorang wanita? Selalu saja berbicara agama di depanku." "Aku wajib menjawab setiap pertanyaanmu kan, Mas?" "Ellahhhh ... jangan membantahku, aku tidak suka di bantah," tekan Mas Rafiz membuatku menundukkan kepala. "Aku sudah bilang,‘kan?" Mas Rafiz menatapku, "Aku tidak suka dengan kemunafikanmu," "Astgfirullah Al-‘azhim, aku tidak seperti itu, Mas!" "Lebih baik kamu tidur disofa, aku tidak suka tidur dengan ninja sepertimu, itu hanya akan membuatku mimpi buruk." tekan Mas Rafiz, membuatku mencari pembenaran dari perkataannya. "Tapi, Mas−" "Tapi, apa? Mau ku ulangi kata-kataku?" "Mas, aku istrimu, kenapa aku di suruh tidur di sofa? Bukan kah wajib suami istri tidur seranjang setelah mahram?" "Tapi, aku tidak suka dan tidak akan sudi seranjang denganmu." tekan Rafiz, membuatku menelan ludah, sangat sakit, tapi sebagai istri, apa pun yang di katakan suamiku, aku harus berusaha mendengarkan dan memahaminya. "Baiklah, Mas, aku akan tidur di sofa, seperti yang kamu inginkan." kataku mengambil bantal di atas ranjang dan menaruhnya di sofabed. Mas Rafiz mengeluarkan seringai mengerikan, Mas Rafiz memang sejak awal tidak menyukai perjodohan ini, tapi desakan orang tua yang membuat kami bertemu, lalu menikah. "Aku akan salat Isya, Mas, apa Mas mau ikut?" tanyaku, dengan nada bicara yang sangat lembut, penuh harap agar dimengerti. "Salat saja sendiri, kenapa mengajakku?" "Sebagai umat muslim, kita di wajibkan untuk mengikuti segala yang di ajarkan agama kita, Mas!" kataku. "Aku sudah bilang, jangan berbicara tentang agama didepanku, kamu juga seperti ini, belum tentu masuk surga, ‘kan? Jadi, jangan selalu merasa bahwa dirimu itu sempurna, kamu sama dengan perempuan lainnya, sama-sama munafik, sama-sama berusaha mengambil hati pria kaya sepertiku." kata Mas Rafiz, nmembuat hatiku selalu sabar. Aku menghela nafas panjang dan berjalan masuk ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, aku harus kuat demi rumah tangga yang sedang ku jalani, aku di amanahkan untuk menjadi istri yang salihah. "Aku tidak akan pernah menyerah untuk terus mengingatkanmu, Mas!" aku bergumam. Di menit kemudian, setelah mengambil air wudhu, aku berjalan keluar kamar mandi, masih memakai ciputku, lalu ku pakai mukenah yang telah ku terima sebagai mahar. aku menggelar sajadah dan menggenggam erat tasbih. Aku menyadari jika Mas Rafiz menyaksikanku, sedang menunaikan ibadah salat Isya, aku yang kini menjadi istrinya itu menunjukkan sisi baru di dalam hidupnya yang selama ini jauh dari urusan agama. Keluarga Mas Rafiz begitu kagum, ketika aku meminta mahar seperangkat alat salat untuk menjadi mahar pernikahanku, jika saja itu wanita lain, mungkin akan meminta berlian, rumah, atau mungkin sejumlah uang, tapi aku berbeda, aku membuktikan diri bahwa uang dan segala bentuknya bukan sesuatu yang ku butuhkan. Hidup ini memang membutuhkan uang, siapa yang tak butuh uang, semua orang membutuhkannya, tapi hidup sering kali di salah gunakan dengan sebuah kekuasaan karena sejumlah uang, sedangkan dalam hidup yang terpenting adalah siapa yang berlomba-lomba mencari pahala. Di saat Allah memanggil untuk pulang, tak ada satupun harta yang di bawa mati, hanya satu yang akan menjadi teman sejati di akhirat yaitu pahala. "Ya Allah ... ya Rabb, aku tahu, bahwa pernikahan adalah bukan hal yang mudah untuk di jalani, tapi aku mohon kepadamu agar membuat rumah tanggaku sakina mawaddah warohma, aku sudah menjadi istri dari Mas Rafiz, bantu dan tuntunlah aku untuk terus mengingatkan suamiku tentang ajaranmu ya Allah ... tuntunlah aku untuk terus bersabar atas cobaanmu dan tuntunlah aku untuk menjadi istri yang baik untuk suamiku, Aminn Allahumma aminn." aku membatin. Ku buka mukenah, menoleh melihat Mas Rafiz yang sudah tertidur, aku menghela nafas panjang, berusaha meredam luka hatiku. "Aku akan terus bersabar menghadapimu, Mas, karena aku mengerti, kamu tidak menerima perjodohan ini." batinku. Aku beranjak dari dudukku, melipat perlengkapan salat dan melangkah menuju sofabed. Aku menatap wajah pria yang kini telah sah menjadi suamiku, wajah damai yang menawan, Mas Rafiz sebenarnya pria yang baik, tapi sikapnya kepadaku menutupi kebaikannya, setelah menikah semua pun berubah, dari status dan tanggung jawab baru. "Luka akan mampu terobati dengan sebercik kasih, bantulah aku untuk terus bersabar menghadapi suamiku. Aminn." aku lagi-lagi membatin.     BERSAMBUNG. . . Jika kalian suka jalan ceritanya jangan lupa tekan like / love ya, karena dari love / like kalian, saya bisa berkarya dan memberikan cerita-cerita yang lebih baik lagi. Salam cintaku. Irhen Dirga      
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD