ZAHRANA - BAB 5

1347 Words
Dua bulan telah berlalu. Aku menikah dengan Leo lewat sebuah perjodohan yang tak ku kira akan semulus ini jalannya. Namun, rindu untuk di cintai suamiku masih tergenggam erat di hatiku. Suamiku belum mencintaiku. Meskipun perhatian dan kelembutan hatinya sudah aku milikki seutuhnya. Ya, aku merindu untuk di cintai suamiku. Aku akan terus berusaha, merapal doa di sepertiga malamku. Meminta pada Rabb-ku untuk meleburkan kerinduan ini. Untuk meminta hati suamiku agar dia mencintaiku. Selama aku bersamanya, aku belum pernah merasakan cinta yang mengalir dari diri suamiku untukku. Memang rindu perempuan adalah rindu yang sakral. Menjelaskan semua isi rindu yang ada dalam hatinya hanya pada Rabb-Nya. Aku percaya, bahwa permintaan hati sebaik-baiknya dikatakan pada Yang Maha Agung, pemilik Segala-Nya. Perempuan bisa menanggung rindunya sendiri dengan ketabahan dalam hatinya. Meskipun hanya diam saja, dalam sujudnya ia mampu menampung ribuan tetes air mata. Meski rindu sudah terlampau temaram, ia tetap merawatnya agar tidak lekas padam. Karena, ia selalu percaya, bahwa  doa-doa terbaik selalu lebih mulia, dibandingkan permintaan yang memaksa. Ya, memaksa suamiku untuk mencintaiku. Aku tidak akan memaksa itu. Memaksa Leo untuk mencintaiku, sama saja mencampurkan air dengan minyak, itu tidak akan mungkin. Aku lebih memilih bercengkrama dengan Rabb-Ku, sang pemilik hati setiap insan. Aku percaya Rindu ini akan melebur dan berlabuh pada pemilik Rindu. Di sepertiga malam, tak henti aku merapal Doa. Doa terbaik untuk menyampaikan rindu yang ku genggam. Perempuan yang menggenggam rindu, untuk di cintai suaminya. Perempuan yang menggenggam rindu, untuk mendapatkan hak di cintai oleh suaminya. Itulah aku, yang selalu merindu, rindu di cinta dan dimiliki hatinya oleh suamiku. Rindu yang begitu menyayat kalbu. ^^^ Pagi ini aku makan bergitu lahap lagi. sudh tiga hari ini, aku aneh dengan diriku. Selalu ingin dekat dengan Leo, makan melebihi porsi makanku setiap harinya. Dan, aku tidak suka dengan aroma wangi yang begitu menyengat. Leo juga merasakan ada keanehan dalam diriku ini. “Rana, kamu makan lahap sekali?” tanya Leo. “Iya, kak. Tidak tahu, dari kemarin aku makan sangat lahap sekali,” jawabku sambil menikmati sarapanku. “Kamu sudah telat menstruasi?” tanya Leo. “Terakhir menstruasi aku seminggu setelah dari vila, Kak,” jawabku. “Rana, kamu sudah test?” tanya Leo lagi. “Test? Test apa, Kak?” aku balik bertanya pada Leo. “Test kehamilan, sepertinya kamu ngidam,” jawabnya dengan santai. Aku berhenti mengunyah makananku, aku benar-benar Shocked mendengar kata-kata suamiku, yang mengatakan aku hamil. Bagaimana bisa aku hamil? Ah, jelas bisa, karena aku selalu melakukan  itu denga suamiku. Maksudku, bagaimana kalau iya aku hamil? Leo tidak mencintaiku. Janin ini akan tumbuh tanpa cinta dari ayahnya. “Ya Allah, aku harus bagaimana? Kalau aku hamil, Leo tidak mencintai? Apa ini adalah sebuah kebahagiaan? Atau mungkin ini adalah cobaan?” gumamku dalam hati. Aku tercenung sebentar, memikirkan hal ini. Aku belum siap, sungguh belum siap. Suamiku tidak mencintaiku, dan aku hamil. Lantas, jika nanti masa lalu cintanya suami hadir apa kabar diriku yang tengah berbadan dua? Aku meneguk air putih, rasanya aku tidak percaya jika aku benar-benar di beri kehidupan dalam rahimku. “Zahrana, kenapa melamun? Ayo kita ke rumah sakit, kamu harus memeriksakan kandunganmu,” ajak Leo. “Ehmm...apa sebaiknya besok saja?” tanya ku. “Hei, aku tidak mau menunda, ada anakku di dalam perutmu, Rana. Aku tidak mau anakku kenap-napa,” ucap Leo. “Ya Allah, yang di pikirkan hanya darah dagingnya saja? Sedangkan aku?” gumamku. “Iya, aku akan siap-siap,” jawabku dengan suara datar. Akhirnya aku bersiap-siap untuk memeriksakan kandunganku ke rumah sakit dengan diantar Leo. Aku sama sekalin tidak merasakan mual atau letih, lesu, capek. Aku biasa saja, aku ke sana ke mari mondar-mandir dari cafeku yang satu ke cafe yang lainnya. Aku hanya merasakan porsi makanku bertambah saja dan  tidak suka bau wewangian yang terlalu menyengat di indera penciumanku. ^^^ Kami sampai di rumah sakit. Aku sudah berada di ruangan pemeriksaan. Dokter yang kupilih adalah dokter perempuan. Aku tidak mau di sentuh laki-laki lain selain suamiku. Untung saja Dokter Ajeng ada jam praktik hari ini. “Selamat Pak Leo, Ibu Rana hamil, usia kandungan istri bapak sudah 6 minggu,” ucap Dokter Ajeng. “Selamat Rana, kamu hamil. Ada anakku dalam perut kamu,” ucap Leo sambil mengusap perutku. “Hai, Assalamualaikum, anak ayah, baik-baik di perut Bundamu, nak,” bisik Leo di perutku di depan Dokter Ajeng. Ada rasa bahagia dalam diriku. Leo benar-benar hanya sayang dengan anakku saja. Dia tak memelukku seperti suami pada umumnya saat mendengar kabar kalau istrinya hamil. Peluk dan cium tak ada untukku. Dia langsung mencium dan mnegusap perutku saja. “Pak Leo, Ibu Rana, kandungan ibu masih sangat muda, biasanya sangat lemah, tapi tergantung kesehatan Ibu Rana juga. Kalau ibu sehat, kandungan ibu pasti baik-baik saja,” tutur Dokter Ajeng sambil memberi resep obat pada Leo. Kami keluar dari rumah sakit, seusai melakukan pemeriksaan dan menebus obat di ruang Farmasi. Aku tidak tahu ini kabar baik atau kabar buruk. Tapi, aku percaya ini adalah rezeki dari Allah untukku. Semoga dengan hadirnya anak di tengah-tengah kami, hati Leo akan terbuka dan mencintaiku.   ^^^^^ (P.O.V. LEO) Istriku hamil. Ini adalah suatu kenyataan yang tak kuduga. Ya, mau bagaimana lagi. aku setiap hari melakukannya dengan istriku, tak heran jika Rana hamil. Ada calon anakku dalam rahim Rana. Aku bahagia, tapi aku benar-benar belum bisa mencintai Rana. Masih ada Carla yang bersemayam dalam hatiku. Dan, aku akan selalu menunggunya dia kembali. Aku akan menunggunya. Jika kelak Rana mengizinkan aku menikahi Carla, aku akan menikahinya, jika tidak. Aku akan tetap menikahinya. Aku tidak mau mimpiku hilang untuk hidup dengan Carla. Meskipun Carla yang kedua di hidupku. Dia orang pertama yang aku cintai. Bukan aku kejam, aku tidak bisa, sungguh tidak bisa membuang rasa ini. Aku tidak bisa mencintai Rana. Sudah aku paksa hati ini. Semakin aku  memaksanya, semakin sakit yang aku terima. Aku melihat Rana yang hanya diam dari tadi. Aku tahu, hatinya bimbang menerima kenyataan dirinya hamil dan aku tak mecintainya. Mungkin aku egois. Tidak mungkin lagi. Ya, aku egois. Aku benar-benar egois. Tapi inilah aku, yang hanya bisa mencintai satu wanita di hidupnya. Walaupun aku memiliki seorang wanita yang menemani ragaku setiap hari. Zahrana sering menanyakan perihal cinta padaku. Dia menanyakan samapi ke detail-detailnya. Aku selalu mempersilakan dia menanyakan itu semua. Karena jawabannya selalu sama, hanya dia saja, pada akhirnya. Iya, hanya Carla yang aku cinta. Mungkin ini kenyataan pahit bagi Rana. Aku tidak mencintainya. Dua bulan menikah, bukan membuatku semakin mencintai Rana, tapi malah semakin ingin mencari Carla. Aku kira, aku akan melupakan Clara dan bisa mencintai Rana. Tapi, tidak bisa. aku tidak bisa, dan aku semakin berat untuk melupakan Carla.     ^^^^^^   Usia kandunganku sudah memasuki 3 bulan. Aku tidak pernah ngidam yang aneh-aneh, hanya saja aku lahap sekali kalau makan. Dan, aku tak benar-benar tak bisa mengendalikan nafsu makanku yang sedikit berlebihan. Hari ini aku ke cafe dengan mobilku sendiri seperti biasanya. Pernikahanku masih baik-baik saja. Meskipun tak ada cinta dalam pernikahanku dan Leo, walau aku sudah hamil darah daging Leo. Leo hanya mencintai anak dalam kandunganku. Dia tidak mencintaiku. Betapa malangnya hati ku ini. Tapi, aku tak mengapa. Aku menerima semua ini, aku mengerti hati Leo. Aku berpamitan dengan suamiku, aku akan pergi ke cafeku. Aku sudah membuka anak cabang lagi. Dan, aku akan mengunjungi Cafe baruku. Abil yang mengurusi Cafe baru ku. Dia sahabat paling mengerti aku. Dia rela membagi waktu saat di kantor dengan mengurus cafe baruku. “Kak aku ke cafe, ya?” pamitku pada suamiku. “Iya, kamu hati-hati. Kalau sudah sampai kabari aku,” ucap Leo. “Itu pasti, Kak.” Jawabku. “Kamu baik-baik di perut bunda ya, sayang?” Leo mencium perutku, tanpa mencium kening, pipi, bahkan bibirku. Aku semakin merasa, Leo memang tidak bisa mencitaiku. Rinduku untuk di cintai Leo semakin bertumpuk. Aku tak kuasa menahan sakit ini. aku bergegas masuk ke dalam mobilku. Aku nyalakan mesin mobilku. Aku terdiam sejenak memikirkan Leo. Sungguh malang diri ini. Aku menangis di dalam mobil. Aku baru meraskan sakit yang teramat sakit selama aku menikah dengan Leo. Aku yang sedang hamil bukannya mendapat perhataian lebih, tapi itu semua tidak aku dapatkan. Menyentuh aku saja Leo sudah jarang. Memelukku tidur juga sudah jarang. Aku melajukan mobilku menuju ke cafe. Aku mengendarai mobilku dengan hati-hati. Namun, pikiran kosong menyelimutiku saat ini. Aku masih memikirkan Leo, dan berandai-andai kalau Leo bisa mencintaiku. “Tinnn....tinnnnt....” Suara klakson mobil membuyarkan lamunanku. Dan....mobilku menabrak sebuah mobil lalu terpental dan menaberk pohon. “Akkhhhhhh......!” Aku menjerit kesakitan. Aku masih sadar, aku  melihat seorang wanita dengan beberap orang menghampiriku. “Ya Allah, Mbak, ayo keluar. Mbak tidak apa-apa?” tanya wanita itu. “Tolong, tolong, perutku.....” Aku memekik kesaiktan perutku sakit, darah mengucur keluar mengalir di kakiku.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD