Bab 1

2069 Words
Kata orang, kamu itu tak tersentuh sama sekali. Tapi aku tau, kamu hanya akan merespons orang yang menurutmu dekat denganmu. Hari ini, suasana di koridor sekolah jauh lebih ramai dibandingkan hari kemarin. Para siswi berlarian keluar kelas dan terang-terangan berbisik dengan suara yang keras. Beberapa di antaranya bahkan melempar  senyuman genit saat seorang siswa populer berjalan di depan mereka, tindakan sontak membuat para siswa mendengkus iri pada cowok populer yang tak menghiraukan apapun. Cowok bernama Juan Ervandra Vian itu memang sangat populer di sekolahnya. Ia terkenal dengan sifatnya yang dingin dan pendiam. Juan juga mendapat julukan The Most Wanted dari fans dadakannya yang entah muncul darimana. "Juan!" Panggilan itu sontak membuat Juan berhenti melangkahkan kakinya dan menoleh ke belakang. Ia hanya menatap datar pada orang yang memanggilnya tanpa memedulikan sekitarnya yang semakin ricuh. "Lo mau ikut kita ke kantin gak?" tanya Ken ketika sudah berhasil menyamakan langkahnya dengan Juan. Masih ada waktu setengah jam sebelum bel masuk kelas berbunyi. "Laper nih gue. Nih perut minta diisi mulu. Maafkan Mama ya, Nak karna selalu telat kasih kamu makan," ujar Aldo sambil mengelus perutnya. "Astaga! Dia bukan temen gue. Gue gak ada temen yang modelan otaknya setengah kayak gini." Riko menjauhi Aldo yang berdiri di sebelahnya. "Kamu kan emang bukan temen aku, Mas. Kamu itu suami aku, Mas. Tanggung jawab dong dengan apa yang kamu lakukan, Mas. Jangan coba-coba tinggalin kami!" kata Aldo memeluk mesra lengan Riko sembari menyandarkan kepalanya. Suasana yang sudah ribut dengan teriakan nama Juan itu semakin membahana diikuti suara tertawa yang menggelegar sehingga menarik perhatian beberapa orang yang berada di kelas ikut keluar karena ingin mengetahui apa yang terjadi. "Ogah gue. Drama lo gini banget." Tatapan jijik dilayangkan Riko, ia berusaha melepaskan pelukan Aldo di lengannya yang entah mengapa kian mengerat. "Kamu jahat banget, Mas. Waktu lagi suka-sukanya, kamu lembut padaku. Tapi sekarang? Jangankan lembut, kamu bahkan terlihat jijik padaku. Sakit hati ini, Mas." Aldo yang jahil semakin mendramatiskan keadaan, ia tak memedulikan banyak orang yang jatuh terjongkok karena lelah menertawai curhatannya dan wajah Riko yang sudah keruh. "Lo ngomong apa sih? Gak ngerti gue. Pergi sana. Ya ampun... lo udah kronis banget sakit jiwanya, Do! Udah stadium akhir!" ketus Riko dengan wajah memerah karena malu dan kesal karena dijadikan pemeran utama di drama gak berfaedah. Aldo mengerucutkan bibirnya. "Kamu kok gitu sih?" Raut wajahnya dibuat-buat seolah sedih, "lho kok marah? Jangan gitu sayang." "Mendadak nyanyi lo sekarang? Drama lo dah selesai?" tanya Ken sambil terkekeh geli. "Gak dong, gue sengaja to be continue-kan bentar drama gue, biar makin banyak yang penasaran sama ending-nya. Sekarang gue mau ngamen dulu. Nyari duit jajan," jawab Aldo ringan, "yuk makan, guys. Kasian nih cacing di perut gue. Udah pada minta dicincang," lanjutnya lalu mengejar langkah Juan yang sudah berjalan cukup jauh dari mereka. Ken, Riko dan Aldo memang sempat berhenti berjalan demi membuat drama dan menertawakan kelakuan ajaib Aldo. Sedangkan Juan, ia tetap melanjutkan langkah kakinya. "Lo jalan kayak lagi dikejar hantu, Ju," rutuknya pada Juan yang hanya memasang wajah datar. "Muka lo gitu bener. Lo lagi cosplay jadi triplek atau batu?" cibir Aldo main-main. Juan hanya meliriknya malas. "Hn." "Biasa nih ya, kalo orang dismsin terus balesnya singkat, bakal ditanyain, 'keypad lo kurang abjad, makanya balesnya singkat?' Nah lo? Masa iya, gue tanya lo, 'mulut lo kurang abjad, ngomongnya singkat amat?'" Ocehan Aldo membuat Juan semakin mempercepat jalannya. Juan memang sering kesulitan untuk berbicara panjang lebar. Bukan, bukan karena mulutnya kekurangan abjad seperti yang dikatakan Aldo, cowok itu hanya lebih suka diam daripada menciptakan polusi suara, seperti yang sering Aldo lakukan. Tak mendapati respons Juan, Aldo menghela napasnya kesal. "Elah. Gue berasa ngomong sama patung. Ngenes amat hidup gue punya temen kayak lo," sindirnya yang dibalas kekehan mentah dari Ken dan Riko. "Bukan patung, Do. Patung mana bisa jalan kayak gini." Tunjuk Ken pada kaki Juan yang tak berhenti melangkah. "Terus apa?" tanya Aldo dengan polosnya, "robot? Robot kan bisa gerak terus ya, Cuma ya gak bisa ngomong banyak. Kayak lo, Ju," sindirnya lagi dengan memasang cengiran konyol. Air muka Aldo terasa mendidih kala dengan santainya cowok the most wanted di depannya merespons. "Hn." Tak ingin semakin kesal, Aldo mengatup bibirnya rapat-rapat. Ken dan Riko hanya menggelengkan kepala tanda heran. Aldo itu tak akan bisa diam orangnya, berbanding terbalik dengan Juan yang diam selalu. Dan ini selalu terjadi ketika Aldo mengajak Juan berbicara, berakhir dengan kekesalan di Aldo dan ketidakpedulian Juan. "Pesenin gue bakso dong, Ken!" pinta Riko ketika mereka sampai di kantin dan sudah duduk di tempat mereka biasa nongkrong. "Gue juga mau titip, Ken," sambung Aldo yang tak peka dengan raut wajah kesal Ken. Ken menghela napasnya pasrah. "Lo mau juga gak, Ju?" tanyanya pada temannya yang paling diam itu. Juan duduk di samping Riko sembari mengeluarkan ponselnya dari saku. "Hn." "Lo kayak gak ada kosa kata yang lain, Ju," sahut Riko sambil menyeruput teh es yang diberikan Bella, pacarnya yang duduk di meja sebelah kanan dia. Juan menolehkan kepalanya cuek. "Maksud lo?" Riko mengangkat bahunya malas. "Hn mulu lo." "Juan mah kalo mau dia banyak ngomong cuma pas diminta jelasin mapel doang. Sisanya ya nikmatin aja apa yang ada," ujar Aldo sambil merebut ponsel Juan. "Elah. Udah epic lo? Kapan lo bisa naik ke legend?" lanjutnya mengembalikan ponsel Juan. "Kapan-kapan," jawab Juan cuek seraya memainkan ponselnya kembali. "Terus kapan kamu dan aku menjadi kita? Aku lagi nungguin lho," tanya Aldo lagi berusaha mengganggu Juan, ia mengacuhkan teman-teman semeja Bella yang sedari tadi menyapa Juan. Terutama Vena, cewek itu terus-menerus mencari perhatian Juan. Yang dipastikan gagal, karena Juan hanya diam. Juan menatapnya sinis. "Gak akan pernah," jawabnya penuh penekanan dan fokus bermain game. Riko sibuk menahan semburan tawa kerasnya. "Baperan banget sih lo dari tadi, Do. Salah bawa perasaan ya lo hari ini? Gini amat beloknya tuh otak." Ia terkekeh kala Aldo menekuk wajahnya sebal. "Gue baperan aja, lo sayang. Apalagi nggak? Dah pasti bakal tergila-gila lo sama gue," ceplos Aldo tak mau kalah. "Eh, kutu kupret. Kapan gue bilang sayang sama lo?" Riko menunjuk hidung Aldo yang pesek. "Sekarang," jawab Aldo mengangkat dagunya, menantang. "Gak usah diangkat muka lo. Mual gue liatnya," sahut Riko. Aldo menertawakan tampang Riko yang tak karuan antara sebal dan jijik. "Jadi anak gue berpindah sama lo sekarang? Lo lagi hamil?" Refleks. Riko melempar sendok pada Aldo yang duduk di hadapannya. "Anjir! Untung gak kena nih jidat keramat gue. Bisa jadi lohan gue kalo sampe kena," rutuknya pada Riko yang sekarang berbincang dengan Bella, mengabaikannya yang hampir menjadi korban sendok melayang. Tak lama setelah kerusuhan Aldo, Ken datang dan duduk di sebelah Aldo. "Muka lo kenapa, Do? Lupa disetrika lagi tadi pagi?" tanyanya santai. "Lo kata muka gue baju emak-emak apa?" ujar Aldo semakin gusar. Ken terkekeh. "Bukan sih. Muka lo kan mirip sempak." Aldo membelalakkan matanya sebal. "Sempak lo? Mirip spiderman dong gue?" "Si monyet menghayal." Ken misuh-misuh sendiri karena gemas dengan Aldo yang tak pernah mau mengalah sedikitpun. "Bukan menghayal kok Adek nih, Bang. Adek mah tau kalo tampang Adek mirip Tom Holland. Gak usah malu-malu kalo mau muji gue, Bang." goda Aldo yang langsung disambut jitakan cinta dari Ken. "Tom and Jerry mah kalo lo," kata Riko sambil tertawa jahat. Juan melirik teman-temannya yang selalu heboh di mana pun mereka berada. Mereka seperti memiliki jutaan pembahasan setiap kali berkumpul. Terutama Aldo. Cowok itu selalu bisa mencairkan suasana, bahkan membuat suasana seperti di medan perang berkat mulutnya yang lihai beragumen. Akhirnya, bakso pesanan Juan dan teman-temannya sudah di atas meja mereka. Dengan rakus, Aldo melahap baksonya. Ia tak menghiraukan teman semejanya yang terganggu dengan cara makannya. "Lo abis gak makan berapa tahun sih, Do? Nafsu amat. Jijik gue liat lo," cibir Riko. Aldo menatapnya tajam seraya memasukkan bakso besar ke dalam mulutnya. "Ya kagak usah liat. Gue juga gak suruh lo liat gue makan," jawabnya santai. "Ju, lo mau jus apel? Kebetulan nih si Bella udah pesenin buat gue. Padahal gue udah ada," tanya Vena yang duduk di depan Bella, sebelah Aldo. Suaranya yang dimanis-maniskan itu tak berpengaruh dengan Juan yang dingin. Juan hanya meliriknya sebentar lalu kembali menyantap baksonya dengan tenang. "Gak." "Juan takut lo masukin obat tidur, terus diperkosa lo. Ilang deh keperjakaan Juan," serobot Aldo seenak jidatnya. Riko lantas menutup mulutnya dengan wajah memerah karena tak kuat menahan tawanya yang sudah di ujung lidahnya. "Anjir! Lo jujur amat, Do. Gas mulu!" "g****k lo, Do! Anjir," keluh Ken yang tak kuasa memberhentikan laju tawanya. Juan, cowok itu hanya memejamkan matanya sejenak. Tak memedulikan raut wajah ganas Vena dan semburan tawa dari kedua temannya. Mereka selalu seperti ini, mencari lawan untuk berdebat dan tertawa terbahak-bahak setelahnya. "Jeane, duduk di sini aja." Suara itu berasal dari arah belakang Juan. Memang hanya ada tempat kosong di samping kiri meja Juan. Kantin sudah ramai biarpun hari masih pagi. Meiva dan Jeane menghela napas lega, sedari tadi mereka kesulitan menemukan meja kosong. "Meiva!" Panggil Ken. Ah, Ken dan Meiva adalah pasangan manis dari bulan lalu. Ken menembaknya di kelas yang penuh balon melayang di atap kelas dan tulisan besar di papan tulis, 'do you want to be my girlfriend, Meiva Larasati?' Suasana romantis langsung tercipta saat Meiva menganggukkan kepalanya. Yang sayangnya, dirusak oleh Aldo dengan celetuk unfaedahnya, 'lo gak mati abis ditembak Ken, Va?' Mengingat itu,  rasanya Ken ingin menjahit mulut beracun Aldo yang suka asal ceplas-ceplos itu. "Oh? Hai Ken." Meiva sedikit kaget mendapati Ken yang duduk di sebelahnya. Ia tak sadar jika ada Ken di kantin. "Gabung sini aja." Ken mengulum senyum manisnya yang direspons Meiva dengan sedikit salah tingkah. "Gimana Jeane?" tanya Meiva pada Jeane yang diam dari tadi, tak tahu harus merespons apa. Jeane sedikit terlonjak kaget. "Terserah aja sih. Tapi Kanta sama Ginta gimana?" Teman kembaran mereka itu masih mengantre makanan. Meiva nampak berpikir sejenak. "Ken, gak aja deh. Soalnya temen gue masih pada ngantre di situ." Tunjuknya ke arah sekumpulan orang yang sibuk mengerumuni stan nasi kuning. Ken mendengkus kecil. "Gabung aja. Masa misah sih kita?" tanyanya tak rela. Riko terkikik geli. "Ya elah. Meiva masih duduk di sebelah lo kali, Ken. Cuma pisah lima jengkal, berasa misah puluhan meter." Ucapan Riko sukses membuat Aldo tertawa terbahak-bahak hingga tersedak bakso yang belum selesai dikunyahnya. "Diam lo, jones." Ken melotot pada Aldo yang tak kunjung berhenti tertawa sambil terbatuk kecil. 'Apanya yang lucu sih?' Aldo dengan santainya menunjuk Juan. "Dia juga jones." "Juan bukan jones kayak lo ya!" bentak Vena yang tak terima Juan diejek. Aldo mengerutkan dahinya. "Gue ngatain lo, Ven?" tanyanya polos. Vena menajamkan kedua matanya s***s. "Lo ngatain Juan. Jadi—" "Jadi nama lo Juan sekarang?" potong Aldo disambut kekehan Riko dan Ken. Mereka tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa jika Aldo di hadapan mereka. Cowok tengil itu mempunyai banyak bahasan yang dapat mengocok perut. "Ish. Cowok lo nyebelin banget, Bel," decak Vena yang berpura-pura sibuk dengan nasi goreng pesanannya. Percuma berdebat dengan cowok ember seperti Aldo, perdebatannya tidak akan pernah selesai. Riko mengerutkan dahinya. "Lah? Kenapa jadi kena gue? Gue gak ngomong apa-apa," ucapnya tak terima. "Karna lo ikut ketawa," jawab Vena tak mau kalah. Riko memutar matanya sebal. "Gak ada sign larangan ketawa di sini." "Adanya sign, silakan makan dengan hikmah di kantin ini!" ejek Aldo yang malah tertawa terpingkal-pingkal hingga memegangi perutnya yang terasa sakit. "Bel," adu Vena pada Bella. "Riko!" panggil Bella. "Aldo!" balas Riko cuek. "Juan!" Aldo pun tak mau kalah. "Apa?" Hening. Krik... krik... krik... "Jadi, Va. Duduk di sini ya?" Setelah berdehem, Ken menarik meja Meiva dan Jeane agar merapat dengan mejanya. Kanta dan Ginta hanya saling pandang sedetik, mereka tahu status Meiva dengan Ken sehingga tak mempermasalahkan apapun. "Ya udah deh," jawab Meiva setelah mendapat kode dari Kanta dan Ginta. Meiva akhirnya duduk di samping Ken. "Tunggu!" seru Vena yang membuat Meiva dan Jeane serempak menoleh ke arahnya, "lo duduk di sini aja, Jeane. Gue yang duduk di sana." Ah! Jeane yang mendapat tempat duduk di samping Juan diminta berpindah tempat dengan salah satu primadona sekolahnya itu. Jeane mengerti, ia tahu seberapa besar kepopuleran Juan di sekolahnya. Sehingga ia sama sekali tidak heran jika para siswi berebutan untuk duduk dengan cowok cuek tersebut. "Jangan, Jeane. Juan bisa mati dihimpit sama dia," Kata Aldo dengan santainya mengabaikan tatapan maut yang terarah padanya. Jeane bingung memilih untuk memandang Juan, meminta jawaban. Ia tak masalah untuk duduk di mana saja selama masih bisa makan. Pikirannya hanya tertuju pada perutnya yang terus berbunyi minta segera diisi. "Duduk aja di sini... Jeane," kata Juan akhirnya menarik kursi Jeane. Jeane membelalakkan matanya kaget, ia tak mengira Juan justru memilih duduk dengannya dibanding dengan Vena yang sudah siap berpindah tempat dengannya. Mau tak mau, Vena kembali duduk di tempatnya sembari mendelik sebal. Pelan, Jeane menduduki kursi di sebelah Juan. Ia sepenuhnya sadar jika Vena menatapnya tajam. Namun, apa pedulinya? Ia hanya peduli dengan makanan di hadapannya untuk saat ini. "Hati-hati lo natap Jeane kayak gitu. Jatuh cinta entar," celetuk Kanta jengah dengan Vena yang tak juga memalingkan pandangannya. "Ogah!" Jawab Vena kasar yang justru mengundang tawa Aldo. "Ampun deh. Bisa mati nih gue gara-gara banyak ketawain lo," ujar Aldo di sela-sela tawanya. Vena menyilangkan tangannya di depan d**a. "Mati aja lo sana." "Mati bareng aja yuk," goda Aldo sambil menyengir tak jelas. "Najis. Mati sendiri aja sono." Vena menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD