"Hallo, Sayang?"
"Hallo, Mas. Aku ganggu gak?"
"Gak kok, ini baru nyampe hotel. Kenapa?"
"Enggak. Aku cuma sampein nanti abis pulang dari Bandung ajak Zara mampir ke rumah ya!"
"Zara? Mau apa?" Mendengar namanya di sebut Zara mendekat, namun Aryan kembali menjauh.
"Gak, cuma udah lama aja kita gak ketemu, aku kengen."
Zara kembali mendekat kali ini gadis itu merapatkan tubuhnya lalu membuka kancing celananya. Nafas Aryan mulai terengah saat Zara menelusupkan tangannya ke sela pilarnya yang dengan cepat menegang.
"Ya sudah. Nanti Mas ajak Zara ... udah dulu ya, Sayang. Mas harus siap- siap buat rapat ...." Aryan berusaha menahan dirinya agar tidak mendesah. Dia harus segera mengakhiri panggilan Sera. Dia bahkan harus menahan tangan Zara agar tak berbuat semakin jauh.
Sialan! Bagaimana kalau Sera curiga.
"Oke. Aku gak ganggu kamu lagi."
"Bye, Sayang."
"Bye." Aryan menekan tombol merah untuk mematikan teleponnya, namun karena terburu-buru Aryan justru menekan tombol speaker lalu meletakannya di nakas. Tanpa tahu telepon masih tersambung Aryan menatap tajam pada Zara.
"Kamu apa- apaan, sih. Gimana kalau Sera dengar." ucapnya dengan kesal. Hampir saja dia mendesah karena ulah Zara.
"Sera terus, kamu gak bosen apa tiap hari ketemu dirumah.“ Aryan memejamkan matanya. Bukan satu dua kali Zara bersikap cemburu seperti ini, gadis ini selalu kesal saat dia membicarakan Sera. Dan mengatakan kalau dia terlalu memperhatikan Sera.
"Aku tahu, Sayang. Tapi, gak bisa ya kamu tahan sebentar? Lagi pula kalau kita ketahuan apa yang mau aku bilang sama Sera." Aryan berusaha membujuk Zara. Bukan saatnya dia membuat Zara marah. Dia akan mengatakan niatnya untuk putus setelah mereka selesai dengan pekerjaan mereka disini. Tentu saja Aryan tak ingin masalah perasaan ini berimbas pada pekerjaannya.
"Bilang aja, kamu udah gak cinta sama dia."
"Gila, kamu!" Aryan tidak akan melakukan itu. Cintanya hanya untuk Sera.
"Kamu yang gila, Mas. Kamu mau sama aku tapi tetap pertahanin Sera!" Nada suara Zara meninggi dan Aryan mulai kesal.
"Jangan lupa awalnya kamu yang menggoda aku Zara!"
"Kalau kamu pria baik-baik kamu gak akan tergoda!"
"Kita melakukan hubungan ini dengan kesepakatan sejak awal, Zara. Atas dasar suka sama suka. Jangan lupa kamu yang memohon agar aku gak ninggalin kamu!"
"Karena kamu yang merenggut pertamaku!" Zara mulai menangis.
Aryan meremas rambutnya, lalu menghela nafasnya. "Aku udah pikirin ini. Awalnya aku akan katakan setelah kita pulang. Tapi sikap kamu ini buat aku muak. Aku tidak bisa terus berhubungan dengan kamu. Aku tidak mau Sera tahu dan aku gak bisa bayangin bagaimana marahnya dia saat tahu hubungan kita."
"A-pa maksud kamu?" ucap Zara dengan terbata.
"Aku mau kita putus sampai disini."
Zara menggeleng. "Enggak, aku gak mau. Kamu janji gak akan ninggalin aku."
"Cuma sampai kamu mendapatkan laki-laki lain, Zara."
"Dan aku gak bisa, Mas."
"Bagaimana kamu bisa, kamu terus menempel padaku."
"Mas, bagaimana kalau tidak ada yang mau menerimaku?"
"Apa kamu akan tetap jadi selingkuhanku selamanya? Kamu harus bisa memulai hidup baru, Zara!"
"Gak, aku gak masalah jadi selingkuhan kamu selamanya, Mas. Tapi aku mohon jangan tinggalin aku." Zara bahkan berlutut di kaki Aryan.
"Aku gak tahu harus apa, Mas. Tanpa kamu. Aku gak bisa."
Aryan menghela nafasnya, bukan satu dua kali Zara melakukan ini. Dan Aryan jadi tidak sampai hati meneruskan perdebatan.
"Aku gak mau Sera tahu, aku gak bisa bayangkan gimana kalau sampai Sera tahu tentang kita." Aryan mengeluh.
"Kalau gitu jangan biarin Sera tahu." Zara mendongak. Air matanya masih mengalir di pipinya. "Aku janji akan terus bersembunyi. Tapi aku mohon jangan tinggalin aku." Zara memeluk kaki Aryan dengan tergugu.
Aryan memalingkan wajahnya. Disaat yang sama dia melihat ponselnya menyala.
Sera mematikan teleponnya.
Aryan melepas tangan Zara dan meraih ponselnya. Saat melihat panggilan baru saja berakhir Aryan tak bisa tak membelalakan matanya. Sera mendengar semuanya?
"Sial!" umpatnya, dengan kembali menekan nomer Sera.
"Ada apa?" Melihat Aryan panik Zara tak bisa tak khawatir.
"Sera mungkin mendengar semuanya." Zara memundurkan langkahnya dengan wajah takut.
Habislah. Kalau Sera tahu, Aryan akan meninggalkannya.
Zara menggeleng. Tidak! Kalau Aryan meninggalkannya bagaimana dengan nasib bayinya? Bisa saja dia mengatakan jika dia telah mengandung bayi Aryan. Tapi, Zara yakin Aryan akan memintanya menggugurkan bayinya.
Kesepakatan awal mereka adalah tidak ada anak. Jadi selama mereka berhubungan Aryan memintanya menggunakan KB namun beberapa hari Zara melupakan pilnya hingga kini dia mengandung.
Jika Aryan tahu ini gara- gara kecerobohannya. Pria itu akan marah, dan mungkin meninggalkannya.
"Kita bisa pura-pura gak tahu seperti sebelumnya. Aku yakin Sera akan percaya."
Aryan mendudukan dirinya dengan perasaan kacau, bagaimana jika Sera mendengar percakapannya dan Zara tadi.
Dengan tangan yang gemetar Aryan menekan nomer Sera kembali. Teleponnya berhasil tersambung namun Sera tak juga menerima panggilannya. "Sial!" Aryan semakin gelisah wajahnya nampak tegang saat Sera tak juga menerima panggilannya.
Aryan beranjak lalu merapikan pakaiannya. "Kamu mau kemana?" tanya Zara melihat Aryan yang berbenah diri.
"Aku mau kembali ke Jakarta."
Zara mengerutkan keningnya. "Terus rapatnya?"
"Kamu pikir aku bisa bekerja saat pikiranku tidak menentu. Bagaimana kalau Sera mendengar semuanya tadi. Aku tidak bisa membayangkan kalau Sera meninggalkanku." Zara mengepalkan tangannya. Perasaan cemburunya akan cinta Aryan pada Sera membuatnya benar-benar merasa terbakar. Bagaimana dia terus menguasai tubuh Aryan, dia tetap tak bisa mendapatkan cinta Aryan.
Dia hanya sebatas pemuas nafsu Aryan. Bahkan meski pria itu terus mengatakan sayang, Zara tahu Aryan tak benar-benar mencintainya.
Zara membeku saat Aryan benar-benar menyeret kopernya keluar dari kamar hotel. Zara mengusap air matanya, lalu mengikuti Aryan keluar dari kamar dan memasuki lift.
"Aku akan batalkan rapatnya," ucap Zara dengan membuka ponselnya.
Aryan hanya bergumam tanpa menoleh membuat perasaan Zara semakin hampa. Sikap diam Aryan terus berlangsung hingga keheningan menyelimuti suasana perjalanan kembali ke Jakarta.
Zara meremas tangannya dia menatap takut pada Aryan yang terus menampakkan wajah marah saat di depan mereka jalanan tiba-tiba macet.
Pria itu terus mengumpat saat suasana jalanan semakin padat.
Di sela- sela perjalanan Aryan terus mencoba menghubungi Sera, namun Sera tak juga menerima panggilannya.
"Angkatlah, Sayang." Aryan terus merasa cemas membuat Zara semakin kesal.
"Kamu tenang aja, Mas. Aku akan bantu jelaskan."
Aryan menggeleng. "Jangan. Aku akan memastikan dulu suasana hati Sera. Kalau sampai dia marah kedatangan kamu bisa membuat semuanya semakin kacau."
"Baik, kalau gitu."
Zara tak memiliki cara lain selain mengalah kali ini. Jika sampai Aryan semakin marah dia bisa benar-benar di tendang. Dan Zara tak rela jika akhirnya dia di tinggalkan.