7 Tahun Lalu

1003 Words
7 tahun lalu. Sebuah pesta ulang tahun yang ikut dirayakan oleh Lara bersama dengan kekasihnya—Ben Aditya. Rasanya itu sangat menyenangkan ketika usianya baru menginjak angka dua puluh tahun. Semua perjalanan kisah yang indah, ditambah lagi oleh kekasihnya yang sudah dipacarinya sejak bangku SMA ini. Cukup lama menjalin hubungan sampai pada suatu malam di saat pesta itu Ben memberikan minuman untuknya yang ternyata disadari oleh Lara pada pagi harinya bahwa itu adalah alkohol dan juga obat perangsang yang dicampurkan ke dalam minumannya. Pagi hari dia bangun dengan wajah pucat ketika satu helai pun dia tidak menggunakan pakaian. Berada di kamar hotel bersama dengan Ben sudah menjadi petaka besar baginya. Apalagi dia berharap bahwa yang melakukannya itu adalah suaminya, bukan pacarnya. Meskipun banyak dari teman-temannya yang mengatakan bahwa perawan itu tidak penting dan juga memang harus melakukan suka sama suka. Lalu dengan santainya Ben menciumnya saat Lara sedang menangis karena kejadian semalam. Langkah gontainya memasuki gerbang rumahnya yang di mana orang tuanya sudah bersedekap di ruang tengah. “Ke mana aja kamu, Ra. Kenapa nggak pulang semalam?” Matanya yang ingin mengeluarkan butiran kristal itu hanya bisa menahan sedihnya. Ya dia sudah melakukan hubungan hina itu dengan Ben, kekasihnya sudah berjanji jika terjadi apa-apa akan bertanggung jawab dengan segera. “Aku nginap di rumah teman, Pa. maaf aku lupa izin, di sana mati listri terus handphone aku mati,” Orang tuanya langsung merangkulnya dan mengusap bahunya. “Ya udah Papa sama Mama khawatir tau sama kamu, sekarang sarapan dulu ya!” ajak papanya dengan sangat baik. Sebenarnya berat bagi Lara untuk mengikuti sarapan ini dan hanya ingin mengguyur tubuhnya dibawah keran air sambil menangisi kebodohannya. Dia sedikit sadar ketika Ben melakukan itu. Tapi apa daya dia tidak bisa melakukan hal lebih lagi. Tidak disangka bahwa Ben bisa senekat itu dan mengatakan jika dia mencintai Lara. Usia mereka memang cukup jauh. Lara yang menginjak usia dua puluh tahun, dan Ben sudah berusia dua puluh delapan tahun. Usianya memang berbeda cukup jauh. Jadi perjanjiannya adalah ketika Lara lulus kuliah nanti mereka akan langsung menikah. Lara menggiti bibir bawahnya dengan perasaan hancur. Seminggu berlalu kejadian itu. Ia dijemput oleh Ben dengan cara baik-baik ke rumahnya lalu izin dengan orang tuanya Lara untuk membawa wanita ini untuk makan malam. “Kita mau ke mana, Ben?” “Apartemen, kita makan di sana. Aku udah beli makanan,” Lara merasa sangat senang karena Ben masih perhatian padanya dan juga semua yang dia inginkan dituruti. Mereka berbincang selama diperjalanan. “Kamu nggak pengen nonton gitu?” tanya Ben dengan nada yang perhatian karena tahu bahwa Lara paling senang diajak ke bioskop. Sejenak dia berpikir, ketika turun dari mobil ia menggandeng tangan Ben menuju kamar pria itu. Biasanya mereka memang sering makan bersama di apartemen Ben jika keadaan tidak memungkinkan. Pria ini bekerja di salah satu dealer mobil di Jakarta yang sedang memiliki karir bagus. Pernikahan pun sudah direncanakan keduanya. Ben juga berencana untuk membeli rumah saat mereka menikah nanti. Pria itu menekan tombol pintu untuk masuk ke apartemen. “Kamu duduk aja dulu!” Ben meletakkan kunci mobil di atas meja ruang tengah. Sampai pria itu kembali lagi membawakan minuman jus untuknya. “Tenang aja, nggak ada apa-apa kok,” kata pria itu lalu menyalakan televisi dan merangkul Lara sesekali mencium pucuk kepala wanita ini. Ben penyayang, Ben juga selalu menepati janjinya. Saat kejadian itupun sudah lewat Lara berusaha melupakannya dan malah semakin menyayangi Ben lebih dari apa pun. “Ra, aku udah lihat rumah kan. Nah tapi nggak sebesar rumah kamu. Nggak apa-apa kan?” tanya Ben dengan ekspresi yang sedikit ragu memberitahukan itu kepada Lara. Pria itu mengeluarkan ponselnya dan memperlihatkan kepada Lara rumah yang dimaksud. “Kamu cukup uang nggak?” Lara juga berpikir jika menikah dengan Ben tidak mungkin akan bergantung pada orang tuanya. Tidak lama kemudian Ben menggeser gambar selanjutnya. “Aku nggak masalah sama yang ini,” kata Lara pada gambar rumah yang terlihat sederhana. Yang penting mereka tidak tinggal di dalam satu rumah bersama dengan mertua. Ben juga tidak pernah menginginkan itu. Maka dia berusaha keras bekerja untuk bisa membeli rumah sendiri. Dengan ekspresi yang sedikit ragu, Lara menganggukkan kepalanya. “Boleh yang ini?” rayunya pada Ben. Pria itu tersenyum mencium pipi Lara. “Aku bakalan usahakan sayang. Aku pengin bahas ini sama kamu. Kalau aku bahas sama orang tau kamu aku nggak enak, karena ini kan urusan kita berdua,” “Tapi kamu beneran kan selesai aku kuliah kita nikah?” “Ra, mengenai minggu lalu aku minta maaf. Aku nggak bisa kamu pergi dari aku kita udah lama sekali pacaran. Aku takut kamu direbut sama orang, itu adalah bukti kita saling mencintai bukan?” Ada perasaan sesal di hati Lara. Tapi ini adalah Ben, calon suaminya sendiri yang mengatakan itu. Tidak mungkin jika Lara protes lagi terhadap Ben yang justru menyinggung hati pria ini. “Ben,” “Hmmm?” pria itu masih menggeser foto rumah yang akan dibeli oleh Ben. Cukup lama Lara mendongak ke arah pria itu. “Kamu nggak ninggalin kan?” Ben menoleh lalu meletakkan ponselnya. “Nggak sayang. Mana mungkin kita udah lama pacaran aku bisa ninggalin kamu,” jawab pria itu mencium keningnya Lara. “Aku janji kita bakalan nikah. Sebenarnya aku pengin nikah segera, tapi bisa kan kita tunda anak dulu?” “Lho kok gitu?” “Kita pacaran dulu, nggak mau mesra sama suami dulu nantinya?” rayu Ben. Lara malah tertawa dan mencubit perut Ben sampai pria itu terkekeh. “Geli sayang geli,” “Biarin, kamu kan nakal,” Ben memegang kedua tangan Lara sampai wanita itu terdiam dan matanya tertuju pada mata Ben. pelan namun pasti pria itu mencium bibir Lara dengan lembut. Semakin mendalam dan menjadi lumatan. Mereka memang sering sekali berciuman semasa pacaran. Ya itu karena usia mereka juga berbeda delapan tahun sampai Lara harus bisa mengimbangi Ben yang usianya memang jauh sekali. “Ra, mau kan?!” tanya Ben sekaligus ajakan saat mereka sudah berciuman terlalu dalam. “Ngapain?” Ben mencium bibir Lara untuk kedua kalinya. “Aku janji bakalan tanggung jawab apa pun yang terjadi sama kamu,” Lara menatap Ben penuh dengan keyakinan. Matanya tidak bisa berbohong bahwa dia benar-benar mencintai pria ini. Ben mengulurkan jari kelingkingnya. “Janji dulu. Biar kamu percaya sama aku,” Ben mengucapkan itu seolah sangat yakin jika dia akan memberikan hidupnya untuk Lara semata. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD