Chapter 1

1473 Words
Marvella POV Aku meringis saat merasakan sakit di kedua kaki aku, gips yang dipasang oleh Jouis tergeser akibat perbuatan pelayan wanita di rumah pria itu. "Bisa tidak kamu bereskan tempat tidurnya hati-hati? Kaki aku sakit tahu!" Protes aku ke maid itu. Dia tidak menjawab, hanya menganguk dan menatap aku horor, merasa kesal.. aku pun menarik lengannya hingga dia terjatuh menimpa tubuh aku, agak berat sih.. tapi aku abaikan, aku menaikan dagunya paksa, menatap tajam tepat di wajahnya yang lumayan cantik. "Jangan mengabaikan aku! Kalau aku bicara ya di balas!" Perintah aku. Anehnya maid itu makin gemetaran, tidak lama maid lain masuk, dia menarik tubuh temannya dari atas tubuh aku. Membungkuk berkali-kali ke aku tapi tetap diam tidak bersuara. "Kalian bicara sesuatu tidak! Jangan membisu gitu!" Bentak aku lagi, agak frustasi. Akhirnya mereka berdua saling tatap, lalu membuka mulut mereka, tidak ada suara.. hanya, "DASAR JOUIS GILA!?" Umpat aku spontan, "Jouis yang memotong lidah kalian?" Tanya aku lagi, dengan nada bicara agak lembut kali ini. Lantaran sudah mengerti kenapa mereka pada gemetaran begitu. Mereka diam, tidak berani mengeleng mau pun mengangguk. Jadi aku simpulkan itu memang perbuatan si psychopath. Kayak mommynya Vance ya gitu, semua pelayannya tidak punya lidah. Makanya kalau aku nemu rumah yang pelayannya tidak punya lidah lebih dari satu, sudah pasti bukan kebetulan. Sebab hanya ada satu jawaban.. pemilik rumahnya psychopath. "Ya sudah, aku tidak akan tanya lagi. Selesaikan pekerjaan kalian." Perintah aku, lalu kembali mencoba tidur, mengingat aku tidak banyak bisa bergerak dengan kaki seperti ini. Mereka kembali bekerja mengabaikan keberadaan aku, sudah seminggu aku tinggal di sini, tidak ada tanda-tanda akan ditemukan oleh Si Jalang yang jago ngehack itu, menjelaskan bahwa dia tidak mencari aku. Eh? Untuk apa memikirkan Si Jalang! Dia bukan siapa-siapa aku! Orang tua aku cuma Mama dan Papa! Mama.. aku kangen Mama Alex, tapi apa Mama kangen aku ya? Ugh! Tidak! Kalau Mama kangen dan peduli sama aku, dia tidak bakal kasih aku ke Si Jalang! Mama sudah punya Abang dan Lexie! Juga adik-adik aku yang kembar tiga itu! Mama tidak sayang aku, aku tidak mau mengingat mereka lagi! Aku baik-baik saja sendirian! Marvella sudah mati! Aku Jules! "Jules.." Tuhkan, ada yang panggil aku. Terdengar merdu dan menusuk seperti akan membunuh siapa saja yang mendengar suara itu. Aku pun membuka mata, menatap bola mata hitam kelam itu, bau darah kembali menyeruak keluar dari tubuhnya. "Oh, sudah pulang? Selamat datang!" Sapa aku menyambut kepulangan Jouis dari tugas dinasnya. Apalagi kalau bukan membunuh? Tentu saja acara sambut menyambut ini perintahnya. Aku kan cuma boneka yang menjalankan perintah dengan baik dan benar. Dia tersenyum, senyuman yang membuat bulu kuduk aku merinding, bahkan pesona wajah tampan-tampan bening itu kalah dari aura neraka yang dia keluarkan. "Aku pulang, Sayang!" Balasnya seraya membawa aku duduk ke atas pangkuannya, memeluk aku erat sambil mencium leher aku. "Hmm.." Aku tidak berbicara, tidak perlu bicara jika tidak di perintah. Membiarkannya melakukan apapun pada tubuh aku sesuka hatinya. "Ayo makan, sudah waktunya makan siang." Ucapnya monolog seraya mengendong aku ke ruang makan, ya.. karena kaki aku tidak bisa dipakai, ingat? Kami pun makan dengan posisi aku masih duduk di pangkuan Jouis, dia menyuapi aku cokelat. Soalnya kami berdua hanya makan cokelat setiap hari, sedangkan untuk kebutuhan gizi tubuh, Jouis memberiku makan vitamin puluhan biji perhari. Aku tidak heran sih.. namanya saja orang gila, ya.. Jouis gila, psychopath, maniak, p*****l, pembunuh pula. Lengkap sudah dosanya.. untung tampan! Satu-satunya hal yang aku pertanyakan adalah mengenai mitos yang aku dengar soal seorang malaikat pencabut nyawa hanya akan memakan apel. Nah.. sedangkan Jouis cuma makan cokelat, aku rasa mitos itu perlu di update deh! "Hmm.." Erang aku saat tiba-tiba saja Jouis melumat bibir aku, tangannya meremas pelan d**a aku yang masih rata. Kan sudah aku bilang dia p*****l! Malaikat pencabut nyawa ini selalu melecehkan aku, dan meniduri aku sesuka hatinya. Aku tidak masalah sih.. soalnya dia hebat di ranjang. Lagipula aku sudah dua belas tahun, sudah dewasa! Apalagi Vance aja sudah tidak perjaka sejak umur enam tahun, dia seriang main booking-bookingan dengan tante-tante menor! Jadinya jangan anggap aku jalang ya!! Aku masih lebih baik dari Vance! Vance.. ugh! Aku mendadak kangen seme denial belok sesat itu.. "Kenapa Jules?" Tanya Jouis, tangannya mengusap pipi aku lembut. "Apanya?" Tanya aku heran, aneh aja mendadak dia berhenti berbuat m***m dan bertanya ke aku. "Kenapa menangis?" Masa sih? Merasa terkejut, refleks aku mengusap pipi aku, kering kok? "Mana ada aku nangis! Mata kamu rabun ya!!" Protes aku. "Ah!!" Tapi p****g aku malah dicubit, dasar p*****l jalang! "Kamu memang tidak menangis dari luar, tapi menangis di sini.. in your heart, Baby. Aku bisa melihat emosimu hanya dengan menatap matamu. Mata manusia adalah cermin hatinya, Jules." Ucapnya dengan nada bicara yang datar, namun menyentuh hati aku. Tidak ada seorang pun yang bisa melihat hati aku sebaik Jouis. Persetan soal dia yang seorang pembunuh! Aku rela dibunuh olehnya nanti, asalkan bisa menikmati saat-saat manisnya dengannya saat ini. "Tidak apa-apa, aku hanya sedikit merindukan adik aku, mantan adik maksud aku!" Ralat aku cepat. Mata aku di cium, so sweet.. "Jangan memikirkan siapa pun. Hanya aku yang boleh kamu lihat, boleh kami pikirkan. Mengerti!?" Perintahnya. "Aku mengerti." Jawab aku mantap. "Bagus!" Setelah itu Jouis kembali membopong aku ke kamarnya, membaringkan aku ke atas tempat tidur yang aku tiduri selama seminggu ini, ya begitulah.. kami tidur bersama selama ini, jika dia sedang tidak pergi untuk membunuh seseorang. Kemudian dia melepaskan kemejanya yang aku pakai, soalnya dia sudah menghancurkan pakaian yang aku pakai saat tiba di rumah ini, memusnahkan semua barang yang aku bawa, termasuk senjata dan alat penyadap yang selalu melekat di tubuh aku, entah bagaimana dia bisa tahu kalau kalung yang aku pakai itu penyadap. Alhasil, dia memerintahkan aku buat memakai pakaian dia, tanpa alas apapun. Hanya selembar kemeja, dasar m***m akut! Tangannya kembali mengelus perut aku, naik perlahan ke d**a aku, sementara lidahnya bermain di leher aku yang kurus. "SAKIT TAHU JOUIS!" Jerit aku saat tanganya meremas d**a aku yang baru tumbuh itu keras-keras. Gila aja, di sentuh aja sakit, ini malah di remas keras-keras. Dasar sadis! "Aku tidak peduli!" Jawabnya santai seraya mengikat seluruh tubuh aku, sudahkah aku bilang kalau Jouis juga pengila b**m? Ya sudah, aku juga tidak peduli kok, lagi pula enak juga, diikat-ikat. Bagi Jouis aku kan boneka, tidak boleh bergerak selama dia menyentuh aku, jadinya biar tidak repot misalnya aku mau mengeliat.. pria ini selalu mengikat aku selama acara making love kami. Setelah selesai dengan talinya, dia kembali menikmati seluruh tubuh aku. Menjilatinya dari ujung kaki hingga ujung kepala yang berakhir dengan kecupan ringan di kening yang paling aku sukai. "Egh!" Erang aku yang buru-buru aku tutupi, mengigit bibir aku sendiri agar tidak menjerit ketika benda panjang besar itu menusuk ke dalam milik aku. Soalnya Jouis tidak mengizinkan aku bersuara, juga harus menatap matanya sepanjang dia menyetubuhi aku. Repot bangetkan? "Jules, buka mulutmu!" Perintahnya. Aku langsung membuka mulut aku, membiarkan lidahnya masuk dan berdansa dengan lidah aku, sementara pinggulnya bergerak cepat mengagahi aku. Enak.. Sial aku terhanyut, mulai frustasi saat tangan itu bergerak memainkan bagian tubuh aku yang sensitif. Tangan aku gatal ingin meremas rambut hitam legamnya, ingin mengelus kulit putih pucat yang dipenuhi oleh luka bakar, tembak dan sayatan itu. Aku ingin menjilati leher jenjangnya. "Jouis, lepaskan talinya.." Mohon aku frustasi, mati-matian agar tidak mengeluarkan desahan. Sebab dia akan berhenti di tengah jalan kalau aku mendesah, mana aku mau! Enak tahu main sama p*****l satu ini. "Tidak, Jules." Tolaknya seraya mendesak makin keras. Owww.. aku tidak tahan! "Kamu boleh teriak." Perintahnya, aku langsung mendesah lega. Menjerit nikmat di setiap hentakannya yang makin keras, meledak saat batang keras itu menyemburkan benihnya ke ujung rahim aku. Napas aku terengah-engah, dengan tubuh yang berlumur keringat ketikan Jouis mulai melepaskan ikatannya, hati-hati agar gips di kaki aku tidak tersentuh. Menutup mata menikmati sisa-sisa pelepasan aku, ketika mulutnya mulai menjilati lubang aku di bawah sana, meminum cairan aku yang keluar bercampur cairannya sendiri. Kemudian dia menindih aku, menyuruh aku mencicipi rasa cairan kami yang bercampur. Awalnya agak jijik sih, tapi lama-lama jadi terasa agak erotis. Setelah puas dengan penutupnya, Jouis membawa aku agar mandi bersama dengannya, dia memandikan aku dengan perhatian dan lembut, tidak mengizinkan aku bergerak sedikit pun. Dasar aneh! Lalu membawa aku kembali ke atas tempat tidur yang sudah di bersihkan oleh pelayan. Memakaikan aku kemejanya yang lain, berjalan ke laci dan mengambil sebutir obat dan segelas air. "Minum ini." Perintahnya, aku langsung nurut kok, meminum obat itu secara rutin sebelum tidur setiap harinya. Itu obat khusus katanya, biar aku tidak hamil. Bukan obat kontrasepsi, tapi sesuatu yang lain, obat untuk menghentikan kerja organ reproduksi dengan efek samping rahim aku akan rusak kalau mengkonsumsinya dalam jangka waktu pajang. Aku sih tidak peduli, belum tentu juga aku akan hidup sampai tahun depan, untuk apa memikirkan soal nasib rahim aku setelah dewasa? Hidup aku sudah berakhir ketika bertemu dengan Jouis, aku sudah tahu dan menerima itu.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD