Chapter 3

4199 Words
Marvella POV Aku menatap Jouis yang tengah tertidur pulas di samping aku, tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun, selimut hanya menutupi dari pinggang ke bawah, dia tidur tengkurap sambil memeluk sebuah bantal. Membuat tangan aku gatal, ingin menarik lepas selimut itu. Tapi tidak aku lakukan, sebab sang malaikat pencabut nyawa sangat benci pagi hari, dia akan menyiksa aku kalau berani menganggu tidurnya. Jadi aku putuskan untuk menatap wajah tampan-tampan bening itu saja, memperhatikan bulu mata lentik indah itu. Tubuh Jouis tidak indah, selain wajah semuanya jelek. Kulitnya putih pucat, penuh bekas luka di seluruh bagian tubuhnya. Kurus tanpa ada otot sedikit pun, bulunya tidak ada, polos seperti tubuh perempuan dan rambutnya di potong terlalu pendek tanpa pernah di sisir. Selain itu baunya seperti bau mayat bercampur darah dan cokelat, yang entah kenapa malah selalu membuat aku h***y. Setidaknya tubuhnya tinggi dan perutnya rata sih.. juga tahu caranya menyenangkan aku. Setelah puas menatap Jouis, mata aku mengarah ke atas meja di samping ranjang, terdapat pisau dan pistol di sana, tergeletak begitu saja. Refleks aku mutar mata tiga kali. "Dasar bodoh! Menyimpan senjata seperti itu!? Tidak takut aku bunuh ya?" Protes aku sambil tunjuk-tunjuk pipinya, menganggu tidurnya saking sebalnya. Entah kenapa aku malah merasa kesal karena tahu bahwa pria ini percaya sama aku, sama sekali tidak berpikir bahwa aku berniat membunuh dia, terbukti dengan keadaanya yang bisa tertidur pulas dengan senjata yang terletak begitu dekat dengan aku. Padahal aku yakin kalau para pelayannya akan dengan senang hati membantu aku mengubur mayatnya kalau aku membunuh psychopath satu ini. Kenapa aku malah mendapatkan kepercayaan dari orang asing sepertinya? Bukan dari orang yang sangat aku harapkan? Kenapa Si Jalang tidak bisa mempercayai aku? Eh!? Tidak!! Itu salah! Siapa yang butuh kepercayaan Si Jalang! Dia bukan siapa-siapa aku! Ya ampun Jules.. kamu bodoh banget sih! Sementara pikiran aku berhianat ke sana ke mari, mendadak jari aku yang lagi tunjuk-tunjuk pipi Jouis digigit dengan kejamnya. "Aww!" Spontan aku berteriak, tersadar dari lamunan aku. Jouis menatap aku dengan pandangan menusuk siap membunuh, mengigit jari aku sejadi-jadinya sampai berdarah, mengabaikan ringisan aku. Setelah puas, dia baru melepaskan jari aku seraya mengelus paha aku m***m! "Aku tidak suka diganggu pagi hari Jules.. kapan kamu mau mengerti, hah?" Desis Jouis dengan suara serak baru bangun tidur, kembali merampas jari aku, mengisap dan menjilatnya sensual. "Aku tidak peduli!" Jawab aku, meniru kata-kata favorite Jouis. Detik berikutnya, jari aku di bebaskan, darahnya sudah berhenti mengalir, bersamaan dengan jarinya yang memasuki aku, memainkannya liar. Sial! Aku h***y! "Kamu sudah basah Jules." Bisiknya m***m, lalu segera menganti jarinya dengan benda keras itu, uh! Enak tahu! Aku suka saat miliknya itu menusuk-nusuk lubang aku. Mata aku meram, tangan aku meremas seprai dengan kuat sementara tubuh aku merengkuh. Menikmati sentuhannya, mengerang saat kedua tangannya memilin p****g aku gemes. "Buka matamu Jules, tatap aku dan diam!" Perintahnya yang langsung aku turuti. Menatap bola mata sekelam neraka itu, membiarkan Jouis mendekatkan wajahnya hingga hidung kami begitu dekat. Terengah-engah mengimbangi gerakan pinggulnya yang tengah mengagahi aku, kaki aku yang sudah sembuh itu melingkar manja di pinggangnya, membuat miliknya menusuk semakin dalam. Ugh! Aku suka saat-saat seperti ini. Mati-matian agar tidak bersuara saat p****t aku diremas dengan kerasnya, mendorong tubuh aku agar lebih mendekat padanya, rasanya enak sekali saat miliknya menyapa bibir rahim aku. Setelah itu pikiran aku makin kosong, pasrah membiarkan Jouis menjilati seluruh wajah dan leher aku selama dia menyemburkan benihnya yang hangat itu. Jatuh lemas di atas tubuhnya, lelah dan puas. Sementara Jouis kembali tidur sambil memeluk pinggang aku dan mengelus rambut aku lembut. Aku ikutan tidur, menunggu sore tiba untuk jadwal latihan kami. Ya, seperti inilah hidup aku sejak kaki aku sembuh, bercinta di pagi hari, tidur hingga sore, latihan.. lalu menemani Jouis bekerja di malam hari. Pria ini selalu membawa aku saat dia ingin membunuh targetnya, memerintahkan aku untuk mengamati caranya membunuh. Gila bukan? Tapi masa bodoh, aku bahagia kok, aku bahkan tersenyum manis saat Jouis menghidangkan sepiring cokelat vanila, dengan segelas s**u cokelat yang manis. Menikmati sarapan yang sudah terlambat amat lama itu, duduk berhadapan di taman mawar belakang kastil. Rupanya kastil Jouis terlihat indah saat siang hari, juga bersih terawat, seperti kastil di dongeng-dongeng yang selalu Lexie dan Vivi baca.. ugh! Aku kangen mereka, kangen menghabiskan waktu bertiga. "Sudah aku bilang bukan, berhenti memikirkan apapun selain aku!" Perintah Jouis. Refleks aku mengerjapkan mata, terkejut kala lamunan aku disadarkan. Ya ampun.. aku suka sekali mata hitam kelam yang selalu bisa menyusup ke dalam hati aku itu, seolah-olah dia bisa membaca isi pikiran aku. Setiap kali aku bersedih, Jouis selalu tahu caranya membuat aku fokus padanya. Menit berikutnya dia memetik setangkai bunga mawar merah, membersihkan durinya dan memberikan mawar itu ke aku. So sweet kan? "Terima kasih, mawarnya indah" Balas aku seraya tersenyum tulus. "Hmm." Gumamnya, hanya begitu saja. Kami jarang saling berbicara lho.. memang seperti itulah hubungan aneh yang terbentuk di antara kami. Mungkin karena Jouis itu apatis, acuh dan punya pola pikir yang rumit. Tapi satu hal yang aku tahu, Jouis suka sekali skinship. Kami terbiasa menyampaikan perasaan kami lewat sentuhan kecil, bukan kayak making love ya! Aku kan tidak jalang! Tapi seperti sentuhan-sentuhan kecil yang membuat aku berdebar-debar bahagia. Contohnya seperti sekarang, Jouis sudah berpindah ke belakang aku, menyisir rambut aku pelan dan lembut, menguncirnya sedemikian rupa hingga terlihat manis dengan sentuhan beberapa hiasan ramput yang dia beli khusus buat aku. Padahal rambutnya sendiri aja tidak pernah di sisir, kan bikin senang! Lalu tangannya berpindah mengelus pipi aku, turun ke pundak aku yang kecil, meremasnya pelan."Jules, ayo latihan menembak." Bisiknya lembut di telinga aku. Huft! Kalau yang ini tidak jadi sweet deh! Dasar hitman mah gitu.. suka sekali melakukan hal yang barbar. Padahal aku sudah menunggu dia mengatakan sesuatu yang seperti rayuan! Eh.. Ini malah ajak latihan. "Oke!" Jawab aku riang sembari berlari kecil mengikuti langkahnya yang cepat, menatap punggung tegap memberi rasa hangat tersendiri buat aku. Lagipula aku suka latihan menembak kok! Yang tadi aku cuma bercanda doang, aku suka semua latihan yang Jouis ajarkan, seperti berpedang, melempar pisau, memanah, seni mengikat tali, sampai cara kabur melompati gedung tinggi. Walau agak sulit dan menakutkan, tapi asik kok. "Sekarang rakit pistol ini, lalu tembak sasaran yang di sana!" Perintah Jouis. Di depan aku sudah tersedia meja panjang dari kayu yang berisikan puluhan pistol berbagai type yang sengaja di pisah-pisah acak, biar aku cari sendiri mana perangkatnya. Tangan Jouis sendiri menunjuk pada sebuah pohon berjarak lima meter yang di pasangi dengan sasaran tembak berbentuk cup cake cokelat. Imutnya.. Pohon-pohon lainnya juga dipasangi sasaran menembak yang lain, seperti chocolate cheese cake, macaron, chocolate sponge cake, dan lain-lain. Pokoknya tiap pohon ada kue cokelatnya, nanti dia tinggal sebut nama kue yang harus aku tembak. Dalam sepuluh detik, pistol yang aku pilih sudah terpasang sempurna, aku mengarahkan pistol itu ke wajah Jouis yang masih tersenyum itu, menarik pelatuk tanpa merasa ragu sedikit pun. BANG! Aku tertegun membeku di tempat, menatap rumput yang berwarna merah akibat darah yang mengalir dari luka tembak pistol aku. Berpindah menatap wajah pucat seputih mayat milik Jouis. "Kenapa kamu tidak menghindar sama sekali? Apa kamu sama sekali tidak berpikir bahwa aku akan menembak kamu, Jouis?" Tanya aku, terdengar sedikit bergetar karena rasa shock yang tersisa. "Tidak. Aku bisa tahu apa yang menjadi sasaranmu hanya dengan menatap wajahmu Jules, lagipula aku bisa mendengar suara rumput yang terinjak kelinci itu." Jawab Jouis tenang. Kemudian dia mengelus wajah aku lembut, mencium kening aku dan berbisik. "Kemampuan menembakmu bagus, aku semakin menyukaimu, Jules." Uh! Aku melayang! Tapi orang yang membuat hati aku berbunga-bunga itu malah pergi mengambil mayat kelinci yang aku tembak tadi, meletakannya di atas meja yang telah dia singkirkan isinya. Mengeluarkan pisau dari sakunya seraya tersenyum manis. "Akan aku ajari cara menguliti kelinci, simpan pistol itu dan perhatikan, Jules!" Perintah Jouis riang. Aku kesal! Ke mana perginya suasana romantis tadi? "Begini cara.." Dia mulai menjelaskan sambil mempraktikannya, sementara aku menatap serius semua yang dijelaskan oleh Jouis. Setelah selesai menguliti, aku membantu Jouis membersihkan daging kelinci itu, sementara dia menyiapkan api unggun untuk memasak daging itu entah buat apa, mengingat kami sama sekali tidak akan memakannya. "Untuk apa di masak? Toh kita tidak akan memakannya kan?" Tanya aku yang merasa penasaran, lagipula dapur hanya berjarak belasan meter dari tempat kami membakar kelinci itu, kenapa tidak memasaknya di dapur saja? Dasar aneh! "Untuk mengajarimu Jules. Kita tidak akan tahu apa yang terjadi di masa depan, bisa saja suatu saat kamu tersesat di hutan sendirian dan tidak ada makanan lain selain yang di sediakan oleh alam. Bila demikian, saat itu kamu akan punya pengangan, bagaimana cara mencari makan di alam terbuka. Mengerti?" Jelas Jouis panjang lebar. Sekali lagi aku tersentuh, dia bahkan memikirkan cara agar aku bisa bertahan hidup sendiri suatu saat nanti, padahal belum tentu juga masa itu akan datang. Kadang entah mengapa aku merasa bahwa Jouis tidak lagi punya keinginan untuk membunuh aku, terbukti dari apa yang dia perbuat untuk aku. "Iya." Aku pun menganguk mengerti, menatap wajah tampan itu. Bersandar pada lengannya yang kurus, menikmati elusan lembut di kepala aku. Menghirup aroma angin sore seraya menatap matahari yang mulai terbenam bersama dengan Jouis. Seseorang yang kini telah berhasil mencuri sebagian ruang di hati aku, seseorang yang membuka pintu hatinya untuk aku. ∞ Aku bertompang dagu menatap lurus ke depan, menikmati pemandangan Jouis yang tengah menguliti manusia yang baru saja dia bunuh. Wajah tampan-tampan bening itu terlihat amat berbinar-binar bahagia menikmati darah yang mencuat ke mana-mana dari mayat itu. Bahkan Jouis tersenyum amat manis, sampai-sampai terkadang terlihat seperti sesosok uke idaman. "Sudah lihat, Jules? Sekarang praktikan ke anaknya!" lihat? Bahkan Jouis memerintahkan aku untuk menguliti anak dari pria yang baru saja dia kuliti. Ewww!? Menjijikan.. "Aku tidak mau! Mayat itu kotor dan bau, Jouis!" protes aku. Tolong ya, walau pekerjaanya membunuh juga.. kan bisa pakai cara bersih dan rapi? Kenapa mesti capek-capek menguliti dan memotong-motong tubuhnya segala? Dasar psychopath mah gitu! "Jangan membantah! Kerjakan!" Perintahnya tiran. Mau tidak mau, ya aku turutin.. memenguliti anak berumur sekitar dua puluhan tahun yang super sangat sulit mengingat badan aku yang lebih kecil dari mayat itu. Setelah beberapa jam berlalu begitu saja hanya demi mengubah dua buah mayat pria dewasa itu menjadi daging siap santap, kami pun pergi meninggalkan rumah mewah yang telah menjadi lautan darah ini. Pulang ke kastil. Membersihkan diri, berlanjut dengan latihan membaca ekspresi manusia, dengan cara memperhatikan ratusan foto yang harus aku tebak emosinya. Cih! Menyusahkan sekali hidup seorang hitman, mesti belajar ini dan itu, tidak hanya sekadar asal tembak, asal tusuk seperti keluarga aku. Mantan keluarga maksud aku! Aku kan Jules, bukan Marvella lagi! Untung aja latihan kami diselingi dengan ciuman manis setiap kali aku menebak dengan benar. Ugh! Kan asik~. Deg deg degan gimana gitu.. Setelah kelas memahami emosi usai dengan hasil akhir aku salah tebak 372 kali dan benar 128 kali dari 500 tebakan itu.. Jouis yang sebal karena aku bodoh. Alhasil dia menghukum aku dengan kejamnya, melemparkan aku ke dalam sumur sedalam 10 meter yang gelap dan di penuhi oleh lumut yang licin. "Panjat sendiri! Silakan pakai cara apa saja, jika berhasil kamu boleh istirahat. Tapi.." Perintahnya tiran, di gantung lagi kata-katanya! Huh!! Aku benci Jouis yang kayak gini! Tidak sweet! "Apa!?" Dengus aku kesal! "Tapi kalau gagal memanjat sebelum matahari terbit besok, maka kamu yang harus membunuh target berikutnya!" Sambungnya. Aku langsung mendudukan p****t aku, menatapnya santai. "Oke! Aku lebih memilih harus membunuh target kamu dari pada harus memanjat dinding berlumut itu!" Menatap Jouis menantang. Untuk sesaat, aku sempat melihat keterkejutan Jouis ketika mendengar perkataan aku. Namun dengan cepat raut wajahnya berubah bengis dan kejam, terkekeh memuakan. Dasar hitman mah gitu.. suka mendadak kambuh jiwa psychopath-nya! "Memangnya kamu bisa Jules? Membunuh manusia tidak segampang membunuh seekor kelinci, Nona!" Ledeknya sambil tertawa kecil dari atas sumur. Menyorot senternya tepat di wajah aku. Sialan! Jouis meremehkan aku! Awas saja kamu Jouis! Dasar p*****l jalang m***m! "Bukankah kamu memang ingin menjadikan aku sebagai hitman? Kenapa malah berpikir aku tidak mampu? Aku sudah pernah membunuh manusia sebelumnya Jouis, jauh sebelum kita bertemu." Balas aku angkuh, menatap langsung bola mata hitam yang entah kenapa masih bisa terlihat jelas tengah malam seperti ini. Dan seperti biasanya pula.. Jouis kembali mengintip ke dalam pikiran aku, dengan segera dia tahu bahwa aku memang sudah pernah membunuh, tangan aku tidak sebersih yang dia kira. Detik berikutnya, Jouis melemparkan sebuah tali untuk aku, aku pun segera menaiki sumur menggunakan tali itu, berjalan memasuki kastil. Mengikuti langkah-langkah Jouis yang cepat namun tidak bersuara itu. Bukti bahwa label seorang hitman profesional miliknya bukan hanya sekadar embel-embel belaka. Besar di keluarga Angelo cukup untuk mengajari aku cara membedakan seorang predator karnivora dengan seorang mangsa herbivora yang baik dan benar. Tentu saja Jouislah si karnivora itu, pria tampan dengan sejuta kekuatan dan keahlian membunuh dibalik tubuh kurus yang tampak lemah. Memiliki daya tarik tersendiri bagi aku, terlebih ketika kedua tanganya meraup pipi aku seperti ini.. deg-degan tahu! Napas aku bahkan tertahan. "Siapa sebenarnya kamu, Jules? Dari mana kamu belajar kemampuan mengunakan senjata? Apa alasanmu hingga memutuskan untuk membunuh?" Tapi Jouis mah gitu.. aku sudah deg-degan, eh..!? Dia malah membahas soal masa lalu aku! Kan menyebalkan! "Dari mantan keluarga aku! Lagipula aku membunuh untuk melindungi diri. Membunuh atau dibunuh, bagaimana jika kamu dihadapkan hanya dengan dua pilihan itu? Tentu saja kamu memilih membunuh bukan!?" Sergah aku. Jouis langsung terdiam. Mengingat profesinya sebagai pembunuh sekaligus orang gila, p*****l tidak tahu diri, dia pun menutup mulutnya, berhenti mempertanyakan asal-usul aku. Bagus deh! ∞ Seminggu berlalu sejak insiden hukuman sumur itu, Jouis kembali mendapatkan tawaran pekerjaan. Saat ini kami tengah di bandara, menunggu pesawat yang akan kami tumpangi lepas landas. Berkali-kali aku menarik majalah makanan manis yang tengah dia baca, menganggunya dengan sengaja. Merasa sudah muak.. Jouis memutuskan untuk menanggapi aku. "Apa maumu, Jules? Ingin aku ikat di dalam toilet pesawat dan menyetubuhimu hah!?" Ucapnya sakaristik. Uh! Aku mau lah! Mau banget! Pasti rasanya enak-enak gimana gitu~. "Aku mau!" Jawab aku sambil tersenyum manis. Tapi Jouis mah gitu.. suka PHP-in aku! Bukannya mewujudkan kata-katanya.. Jouis malah cuma memberikan sebuah ciuman singkat. Kurang tahu! "Dasar perempuan m***m!" Ejek Jouis. Aku langsung melotot tidak suka. "AKU TIDAK m***m TAHU!" Bentak aku kasar. Aku kan tidak m***m! Dia yang m***m! Enak aja bilang aku gitu! "Kamu juga perempuan yang suka berbohong. Tapi percuma saja bagimu untuk membohongiku, aku bisa dengan mudah tahu bahwa ucapanmu itu bohong atau benar. Jadi apa maumu mengangguku dari tadi?" Jouis kembali bertanya dengan santainya, mengabaikan bentakan aku. Huft! Ya sudahlah.. Memang percuma berbohong padanya. "Aku mau tahu ke mana tujuan kita!" Balas aku jujur, dari tadi aku sudah penasaran tahu. "Jakarta. Palingan juga kamu tidak tahu di mana itu, untuk apa tanya!?" Mendengar jawaban Jouis yang terdengar seperti pernyataan itu, membuat aku terkejut bukan main. Jakarta? Siapa orang yang mau membayar hitman semahal Jouis di sana? Negara tenang yang tidak banyak konflik politiknya? Jangan bilang kalau.. "Siapa sasaran kita? Maksud aku siapa yang harus aku bunuh?" Tanya aku panik, merasa takut kalau-kalau Tuan Sulvian yang menjadi targetnya. Tuan Tiran itu kan banyak musuhnya, banyak yang benci, dan banyak yang mau mengeluarkan uang sebanyak apapun agar dia mati. "Seorang siswa SMA, anak pengusaha di sana. Bukan target yang sulit.. Jangan terkejut hingga seperti itu, Jules! Kemampuan pengendalian dirimu amat sangat buruk!" Fuih! Aku langsung bernapas lega, mengabaikan segala ocehan Jouis. Dan lagi-lagi psychopath peka ini langsung tahu ada yang menganggu pikiran aku. Jadinya dia memutar dagu aku semau hatinya. "SAKIT TAHU!" Protes aku kasar, yang dia jawab dengan acuhnya seperti biasanya. "Aku tidak peduli." Tuh, kan kurang ajar! "Ada apa? Apa yang kamu pikirkan?" Jouis pun langsung bertanya, mengintrogasi. Selama beberapa menit berikutnya.. kami hanya diam, karena aku tidak menjawab pertanyaannya. Hingga akhirnya Jouis muak dan mulai mencengkram rahang aku keras-keras. "Jawab, Jules!" Perintahnya, sedangkan aku hanya meringis tanpa menjawab. Jouis mah gitu.. kalau aku mengacuhnya, dia bakal menyiksa aku. Sebaliknya, kalau aku bersikap manis dan menurut, dia akan memperlakukan aku super manis dan lembut juga. 'GIVE AND TAKE' Itu motto hidupnya, aku hanya akan menerima apa yang aku beri ke dia. Kan menyebalkan!? "Aku tidak mau!" Bantah aku, lalu membuang muka. Begitu juga dengan Jouis, dia ikut membuang muka ke arah sebaliknya. "Baiklah jika kamu tetap diam. Jangan harap aku akan mau mendengarkanmu nanti saat kamu merengek tidak tega membunuh target atau terdesak, aku akan mengacuhkanmu dan menonton dari jauh!" Ketusnya. Aku sih tidak peduli! Masa bodoh! Membunuh anak SMA mah gampang, tidak dia bantu juga aku bisa kok! ∞ Sekarang kami sudah berada di sekitar sekolah tempat di mana target aku bersekolah. Mencari celah untuk membunuhnya, walaupun sampai sekarang juga.. Aku masih belum tahu siapa target aku. Salah Jouis yang masih sok misterius! Kami pun mengendap-endap memasuki halaman samping sekolah, memanjat pohon guna mengawasi target, mencari celah untuk menembaknya jika memungkinkan. Di tangan aku sudah ada sebuah senapan lengkap dengan peredam suaranya, siap digunakan jika target sudah terdeteksi. Sedangkan Jouis berdiri di batang pohon yang berbeda, membawa sebuah teropong kecil, mencari si target. "Arah jam tujuh, target berambut cokelat sedikit panjang, duduk di meja nomor empat dari depan, tepat di samping jendela. Tembak dia, Jules!" Perintah Jouis. Aku langsung mencari letak target itu, namun begitu aku temukan.. Jantung aku langsung berdegup kencang, napas aku tersedak, keringat dingin mulai keluar dari tangan dan kening aku, mata aku bahkan memanas saat secara tidak sengaja 'target' kami itu bertatapan dengan aku. Wajahnya pias akan rasa terkejut yang sama seperti aku, menatap ke arah aku dengan pandangan mata yang amat sedih, terlebih karena aku yakin bahwa dia melihat senjata yang aku arahkan padanya. Rasanya menyakitkan.. aku tidak tega membunuhnya, bahkan tidak tega melihat Jouis membunuhnya jika aku tidak mau melakukannya. "Cepat lakukan, Jules!" Ugh! Tangan aku bahkan mendadak gemetaran saat perintah dengan nada memaksa dan mendesak itu terdengar. SIAL! MANA BISA AKU MENBUNUHNYA? Aku bahkan menangis. "Aku tidak bisa membunuhnya, Jouis.." Isak aku. Menurunkan senapanku. Jouis terkejut, lalu mendengus. "Karena dia terlihat seperti anak baik-baik tanpa dosa? Makanya aku sudah katakan bahwa membunuh itu tidak mudah! Orang tuanya berdarah dingin dan kejam, jadi tidak masalah kamu bunuh anaknya. Cepat lakukan!" Desak Jouis lagi, aku mengeleng. Jouis yang kehilangan kesabaranya itu pun melompat ke pohon yang sama denganku, merampas senapan aku, mengarahkannya ke 'target' "Baiklah! Biar aku yang lakukan! Siap-siaplah terima hukumanmu nanti setelah kita pulang!" menembak tanpa keraguan. BANG! Bersamaan dengan suara letusan senjata api teredam itu.. aku menjerit tertahan, menutup mulut aku dan menangis makin keras. Berbeda dengan Jouis yang sedikit terkejut dan segera menarik aku pergi dari sana, meninggalkan senjata kami begitu saja. Tanpa perlu takut akan merugikan kami, sebab kami menggunakan sarung tangan. "Berhenti menangis, Jules! Mentalmu benar-benar lemah! Akan aku tambah jadwal latihanmu!" Aku bahkan mengabaikan kata-kata ketus Jouis, pasrah membiarkan dia membawa aku pergi. Aku hanya bisa berharap bahwa orang itu bisa selamat dari timah panas milik Jouis. ∞ Suara pintu terbanting mengejutkan aku, keras berdemum, bersamaan dengan tubuh aku yang dilemparkan Jouis ke atas tempat tidur di kamar hotel tempat kami menginap. Bola mata kelam nan gelap itu menatap khawatir ke aku. Sementara aku belum bisa menghentikan isak tangis aku, di dalam kepala aku penuh oleh warna merah yang pekat. Ingatan akan kejadian tadi menghantui aku, saat Jouis menembak Lexie, uke kesayangan aku. "Hiks.. huk.. hik.. " Aku kembali terisak sesunggukan ketika tangan kasar yang telah merenggut nyawa ratusan orang itu mengusap kepala aku pelan. Berusaha menyalurkan kehangatan dari sentuhannya, walau usaha Jouis kali ini tidak berhasil menyentuh hati aku. "Kamu kenapa, Jules? Ini bukan pertama kalinya kamu melihatku menbunuh, lalu kenapa menangis seperti itu?" Tanya Jouis. Kayaknya kali ini dia tidak berhasil mengintip ke dalam pikiran aku, mungkin karena bola mata aku yang biasa dia tatap.. basah oleh air mata, serta pias oleh rasa sakit. Aku bahkan masih bisa mengingat raut wajah terkejut Lexie saat dia menatap wajah aku tadi, ada rasa sayang dan kekhawatiran di sana. Tapi apa yang aku berikan kepadanya? Kematian! "Jules! Aku bertanya padamu!" Bentak Jouis, kini tangan itu tidak lagi mengusap lembut kepala aku. Melainkan menekan kedua bahu aku yang berada di bawahnya, pandangan matanya tajam mengancam. "Lexie.. " Jawab aku dengan suara yang bergetar, Jouis menaikan sebelah alisnya, menunggu aku menyelesaikan kalimat yang aku suarakan. Aku hirup udara banyak-banyak, mencoba menenangkan diri.. Lalu menghembuskannya keluar, memberanikan diri melanjutkan perkataan aku. "Kamu menembak Lexie! Lexie itu kakak aku tahu!" Lanjut aku dengan teriakan frustasi, kayaknya aku gagal menangkan diri. Terbukti dari tangisan aku yang makin keras, merasa amat sangat sakit. Detik berikutnya Jouis telah menarik aku ke dalam dekapannya, mengusap punggung aku lembut.. "Aku tidak membunuhnya Jules, tenanglah.." Berbisik menenangkan aku. "BOHONG! AKU MELIHATNYA SENDIRI!! ADA DARAH YANG MENYEMBUR DARI JENDELA TEMPAT DUDUK LEXIE! KALAU PUN BUKAN LEXIE YANG TERTEMBAK, ABANG LEXUS YANG KENA!" Aku tidak tenang, mendorong tubuhnya menjauh. "Abang Lexus juga saudara aku Jouis.." Sambung aku makin terisak. Jouis mendekat, kembali memeluk aku erat, "Kenapa tidak bilang dari awal? Jika kamu bilang, aku akan membatalkan misi ini untukmu Jules.." Ucapnya, terdengar jernih dan halus namun tidak cukup untuk menenangkan aku. Harusnya aku tersentuh, tapi aku tidak merasakannya saat ini. Ya, ini salah aku! Bukan Jouis yang salah, aku yang tidak mengatakan apa-apa.. Dan sekarang aku tidak tahu keadaan Lexie. "Aku yang membuat Lexie terbunuh.." Gumam aku frustasi. "Dia tidak kena tembak, Jules!" Sama halnya dengan Jouis yang begitu frustasi untuk menenangkan aku dengan kebohongannya. "Hentikan Jouis! Aku tidak mau mendengar kebohongan kamu!" Bentak aku kasar, tidak percaya kepadanya. Kedua pipi aku diraup, wajahnya mendekat hingga jarak di mana aku bisa merasakan embusan nafasnya, mata kami saling bertatap, mencoba berkomunikasi. "Aku tidak bohong, Jules.. " Ucap Jouis pelan. "Aku berani bersumpah, saat peluru itu hampir mengenai Lexie, saudaranya datang dan melindunginya, aku melihat sendiri peluru itu mengenai bahu Lexus.. dan itu tidak akan membunuhnya." Mendengar kata-kata itu.. Harapan kembali timbul di hati aku, tangisan aku berhenti seketika, berubah menjadi sebuah senyuman penuh kelegaan. "Benarkah?" Tanya aku. Jouis hanya diam, tapi mengangguk sekali sebagai jawaban. Setelah aku sudah benar-benar tenang.. Barulah Jouis kembali membuka suaranya, mempertanyakan apapun yang menggangu pikirannya. "Jadi.. Apa hubunganmu dengan keluarga Angelo, Jules? Aku ingin jawaban jujur, agar bisa mengambil keputusan yang tepat saat menerima tawaran pekerjaan." "Aku putri bungsu keluarga Angelo." Jawab aku jujur, tidak mau lagi menyembunyikan apapun dari Jouis. Aku tidak mau lagi kejadian tadi terulang, untung saja ada Abang Lexus di sana dan Abang hanya tertembak di bahu. "Apa?" Dahinya mengerut, menatap aku tidak percaya, untuk beberapa detik.. Jouis tampak shock, walau dengan cepat raut wajahnya kembali tenang. Dia memijit keningnya, menghela nafas dan kembali menatap aku menilai. "Apa tadi kamu bilang kamu adalah anak keluarga Angelo, Jules?" Tanya Jouis, mencari kepastian. "Hu uh" Aku mengangguk. "Apa kamu tahu apa yang kamu katakan? Kamu tahu seperti apa keluarga Angelo itu?" Tanya Jouis lagi, aku mutar mata tiga kali. "Tahu lah! Aku kan bagian dari mereka!" ketus aku, sebal dengan sikap Jouis yang seolah-olah tidak mempercayai kata-kata aku. "Tidak ada datamu dalam list targetku Jules!" Serunya seraya melempari sebuah map kertas ke arah aku, refleks aku mengambilnya. Membuka map itu dan membaca isinya, data tentang Tuan Sulvian, Auntie Mika, Abang, Lexie dan Vivi. Mata aku langsung melotot kaget, berteriak tanpa bisa menguasai emosi aku. "APA KAMU t***l JOUIS!? MENARGETKAN TUAN SULVIAN? KAMU TAHU SEKUAT DAN SEKEJAM APA DIA? KAMU PASTI MATI JIKA BERHADAPAN DENGANNYA!!" Tapi Jouis mah gitu.. hidung aku di sentil, dia bahkan mendengus kesal, ikut-ikutan kebiasaan aku. "Bukan itu yang kita bahas! Jika kamu memang anak keluarga Angelo, kenapa datamu tidak ada di sana?" Tanya Jouis lagi. "Aku tidak bohong tahu!" Protes aku, menendang lututnya sebal.. Jouis mengabaikan lututnya begitu saja, malah mendesak aku ke dinding, menatap mata aku dalam-dalam. Ugh! Aku deg-degan tahu! "Kalau begitu bisa jelaskan kenapa datamu tidak ada di sana?" Tanya Jouis kembali, sembari tetap mempertahankan kontak mata kami. Hah~ Aku pun menghela napas lelah, menatapnya balik.. "Soalnya kami semua lahir dari orang tua yang sama.. Tapi dibesarkan oleh orang tua yang berbeda, jika kamu membaca baik-baik data itu, kamu pasti bisa menemukan faktanya. Bahwa akta kelahiran Abang dan Lexie dan Vivi tidak memakai nama Tuan Sulvian. Kepala keluarga Angelo itu gay, Jouis.." Jawab aku, menjelaskan. Awalnya Jouis masih bingung, dia bertanya begitu banyak pertanyaan, sudah kayak introgasi gitu.. tapi setelah aku memberitahukan silsilah keluarga Angelo ke Jouis, menjawab semua yang ingin dia ketahui.. akhirnya dia percaya juga. Ternyata dia masih bisa menilai emosi aku dengan cukup baik. "Siapa yang sangka bukan? Pantas saja kamu terlatih dengan baik Jules." Ucapnya sembari menjatuhkan diri ke atas tempat tidur. Aku pun ikut naik, berbaring di sampingnya, menjadikan lengannya sebagai bantal. "Ya, tapi saat ini aku milik kamu, Jouis.." Lirih aku, entah kenapa aku merasa bahwa aku perlu mengatakannya. Mempertegas status kami, padahal kami bahkah tidak punya hubungan apa-apa. "Tentu kamu milikku, aku tidak peduli siapa dirimu yang sebenarnya, bagiku.. kamu adalah partnerku, Jules." Ucapnya posesif. Memberi rasa hangat tersendiri bagi aku.. Kami pun melanjutkan dengan obrolan ringan sambil berpelukan, membicarakan hal-hal yang selama ini kami abaikan. Biar kesalahpahaman seperti ini tidak terulang lagi! Setelah dia tenang dan bisa menerimannya, aku pun memberanikan diri meminta izin untuk memeriksa keadaan Lexie dan Abang dengan mata kepala aku sendiri. Untungnya Jouis setuju, dengan syarat dia harus ikut sih.. Aku tidak keberatan kok, lagipula aku juga tidak berniat kembali kekeluarga aku setelah Lexie melihat sisi kejam aku, setelah aku dibuang oleh Si Jalang. Lagipula aku nyaman hidup bersama dengan Jouis.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD