Prolog

1048 Words
- When I See The Daylight - Knock! Knock! "OPEN THE DOOR!" Knock! Knock! Sebuah pertengkaran hebat tidak pernah ada di dalam bayangan Regina malam itu, selama ini hubungannya selalu berjalan lancar, penuh kesenangan, penuh gairah dalam setiap pertemuan mereka, jika itu hanya permasalahan kecil mereka akan mengakhirinya dengan sebuah ciuman dan sentuhan yang memabukkan tapi tidak untuk pertengkaran tadi pagi. Ia mengabaikan pertengkaran itu karena ia tidak ingin berdebat panjang tentang hal kekanak-kanakan, banyak hal yang harus seorang Regina lakukan sejak pagi hingga malam, dan di malam hari itu pun ia terlalu lelah untuk berbicara atau bahkan menatap pria yang masih menggedor pintu kamar mandinya sedikit kasar. Suara gemericik air mengisi bathub kamar mandi berdinding dan berlantaikan marmer berwarna krem, cukup luas untuk ukuran sebuah kamar mandi apartemen yang tidak terlalu luas untuk Regina hidup seorang diri. Selama hampir setahun ia memilih tinggal di salah satu hotel di Downtown Los Angles dan tepat tiga bulan lalu ia menempati sebuah apartemen yang terbilang mewah setelah perdebatan panjang. Suara ketukan itu lagi-lagi terdengar, sedikit lebih keras dan Regina sama sekali tidak berniat untuk menanggapi. Ia yakin suaranya mampu menggema, sehingga ia memilih diam dihadapan sebuah cerim wastafel berwarna senada dengan satu pot bunga mawar putih di dekatnya. Di situlah ia menatap pantulan dirinya, bernapas berat dengan kedua mata yang bergetar sembari tersenyum kecil tanpa memudarkan merah muda pada bibir tebalnya. Ia tak mencoba tersenyum, hanya menertawai dirinya sendiri. "Please, Regina. Aku tidak bisa membiarkan masalah seperti ini." Kedua matanya kalah, ia teralihkan, ia menatap ke arah pintu yang terkunci itu dengan wajah datar sebelum sebuah suara yang ia harapkan terdengar, suara yang jauh lebih lembut dari sebelumnya—suara putus asa. "Regina, we need to talk, please." Regina berbalik untuk membuka pintu kamar mandi tanpa berpikir panjang. Menemukan sosok pria berdiri tepat di hadapannya dengan mata sayu begitu pintu terbuka. Pria bertubuh tinggi-bugar sedikit kurus itu sedang menatapnya tanpa ekspresi, Regina tak menyukai tatapan kesal dari kedua mata rubah yang tak bersahabat malam itu. Seingatnya kedua mata itu selalu menatapnya hangat dan terkadang menggoda, tak jarang kedua mata jernihnya melengkung manis membentuk sebuah garis saat mengaguminnya. Tapi tidak malam itu, Regina menemukan wajah pria itu terasa dingin seperti es. "Aku sangat lelah." "Do you change your mind?" "Theo, aku sedang tidak ingin membahasnya, tidak hari ini, ok!" "Karena kau terlalu lelah bekerja? Tadi pagi aku berusaha membahasnya dan kau memilih pergi begitu asistenmu datang. Aku hanya butuh sedikit waktumu untuk membahas tentang kita, apa aku salah?" Kedua mata Regina menatap pria bernama Theo itu tak kalah tajam. "He's just my assistant, ok! Kami mengenal sejak lama! Harus berapa kali aku bilang?! Aku rasa kau tidak cukup bodoh untuk mengerti kata-kataku." "Ya, tapi kalian selalu bersama." "Do i had to tell you every time when you turn to be so high school coded? Huh?" "Kau tentu tidak lupa bagaimana kita dulu adalah rekan kerja yang berakhir di ranjang dan saling jatuh cinta? Dan sekarang kau lebih banyak menghabiskan waktumu bersama dia." Regina meraih pintu kamar mandi hendak menutupnya untuk mengakhiri percakapan namun belum sempat pintu tertutup, Theo menahan dan mendorong pintu itu hingga membentur tembok. Regina yang terkejut bergerak mundur seperti merasakan pukulan tepat di dadannya, ia tak pernah melihat Theo dalam sosok seperti itu. "Aku hanya ingin bersamamu, apakah itu salah? Kau sendiri yang berjanji untuk terus bersamaku, bukankah itu yang juga kau inginkan?" "Ya, but the timing— it' just not right. I have a lot things to do and i can't threw it. Not now, Babe." "Then, when?" Regina terdiam sebentar. "I don't know, aku—" "So you really change your mind?" Perlahan kedua kaki Theo mendekat, memberi wajah marah yang membuat wajah tegas Regina perlahan luntur digantikan rasa takut. "Kau ragu? Look! Kau bukan belum memikirkannya tapi kau tidak pernah memikirkannya. I told you many times! Aku hanya ingin bersamamu dan kau juga mengatakan hal yang sama padaku." Kedua tangan Theo tiba-tiba menjulur ke arah Regina yang perlahan menjauh, ia tahu apa yang mungkin Theo lakukan, tapi ia mengingkari, tidak munkin seorang Theodore yang ia kenal begitu lembut akan melukainya. Sampai akhirnya ia tersadar bahwa apa yang ia pikirkan benar saat kedua telapak tangan pria itu mendarat tepat di lehernya dan ia tidak bisa bernapas. "Theo! What are you do—" Kedua telapak tangan yang biasa menggenggam tangan dan memeluk Regina erat pada malan itu seperti kehilangan akal sehat, kedua tangan itu berusaha mencengkeram erat leher Regina seolah tidak memberi kesempatan sedikitpun untuk bernapas, terasa kian erat mengapit sehingga membatasi napas Regina yg coba ia perjuangkan sepenuh tenaga. "The—Th—Th—T!" Suaranya pun berjuang meski tertahan hingga membuat darah terasa bekumpul di kepala dan kedua matanya. Perlahan dadanya terasa panas, membuat kedua tangannya yang masih memiliki sedikit tenaga mencoba berjuang dengan memukul juga mendorong pundak Theo untuk menjauh namun tenaga sorang Theo jauh lebih besar darinya. Seolah tak puas dengan Regina yang tersiksa, Theo berusaha mendorong Regina tanpa melepaskan cengkeraman eratnya, wanita bertubuh kurus itu tak berdaya dan hanya mampu mencengkeram pergelangan tangan Theo yang berhenti melangkah ketika kedua kaki Regina menabrak bathub. Tubuhnya tenggelam begitu saja, tenggelam di dalam air hangat yang ia siapkan untuk menghangatkan tubuh lelahnya. Meskipun begitu ia tak berhenti berjuang untuk menyelamatkan dirinya di saat Theo terus mendorongnya masuk dan melarangnya keluar. Payah Regina berusaha bernapas di dalam air sembari berusaha melepaskan tangan Theo darinya sampai pada akhirnya ia menyerah, ia tak sanggup lagi untuk menyelamatkan diri sendiri bahkan berjuang untuk hidupnya, ia hanya mampu menatap Theo yang masih berusaha seperti ingin membunuhnya. Kemana kedua mata yang biasanya menatapnya dengan tenang dan hangat? Kemana perginya senyuman manis menenangkan yang menjadi bagian dari wajah seorang Theodore? Kemana perginya? Sampai kini yang bisa Regina lihat hanyalah sebuah amarah dan kebencian dari wajah dan matanya. Regina tak lagi mampu berpikir hingga ia merasa lelah untuk berusaha, ia merasa mungkin hari itu adalah akhir hidupnya, akhir dari segala usahanya untuk bertahan dan membuatnya muak. Mungkin ini memang adalah akhir dari hidup seorang Regina Charlotte Watson yang berantakan. "Miss Watson! Miss Watson!!! Regina!" Samar suara itu terdengar tak kala kedua mata Regina menutup dan sosok Theo menjadi wajah terakhir yang dilihatnya. - When I See The Daylight -
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD