Waktu menunjukan pukul 8 pagi, ahh Jae Hwan benar-benar tidur seharian tapi rasa pengar nya belum hilang, biasanya Ara akan membuatkan sup pereda pengar untuknya atau sekedar menyodorkan minuman pereda pengar yang ia beli dari market. Lagi-lagi Ara, gadis itu. Memikirkannya saja sudah membuat Jae Hwan menarik nafasnya lelah. Ia kehabisan cara namun tidak ingin menyerah begitu saja.
Jae Hwan memutuskan pergi mandi setelah sebelumnya membuka lemari pendingin dan mengambil minuman pereda pengar lalu turun ke lantai bawah untuk berolahraga sebentar di gym. Apartemen Hannam hill memang salah satu yang paling mewah di Yongsan Gu, menampilkan pemandangan Sungai Han dan Gunung Namsan yang bisa ia nikmati dari jendela kaca besar tanpa sekat di ruang tengah miliknya meski memutuskan tinggal sendiri ia tetap memiliki semua kemewahan itu karena kedua orang tuanya jelas tidak akan membiarkan Jae Hwan hidup dalam kesulitan.
Jae Hwan tengah asik di bench melakukan sit up untuk kesekian kalinya sampai seorang gadis dengan sport bra hitam menghampirinya, memang tidak benar-benar menghampiri tapi Jae Hwan tahu wanita itu mendekatinya dan tengah memancing perhatian darinya. Wanita itu jelas cantik, ia bahkan mempunyai tubuh yang bisa membuat semua lelaki terpesona. Kulit putih, langsing bahkan bisa Jae Hwan tebak ukuran p******a nya 36B ahh tentu saja dia tahu ukuran itu sebab bukan satu dua wanita yang tidur dengannya.
Tapi Jae Hwan sedang tidak berselera, ia bukan lagi Jae Hwan yang dulu, ia tidak akan membiarkan wanita selain Ara masuk ke daerah teritorinya. kamar tidurnya. Ara, gadis itu lagi. Jae Hwan bisa gila di buatnya karena otaknya sendiri seolah terkonsep harus melibatkan Ara dalam setiap apa yang terjadi.
Pukul 10 siang, dan ini musim panas harusnya Jae Hwan tidak pergi ke gym membuatnya semakin berkeringat dan dehidrasi meskipun ruangan itu memiliki pendingin yang cukup, ia kembali mandi untuk menyegarkan diri di bawah shower memikirkan apa yang harus ia lakukan untuk menghabiskan hari tanpa memikirkan gadis itu sampai akhirnya pukul 12 siang kakinya sudah menginjak kampus. Bodoh memang, ia pasti bertemu Ara disana.
"YA! Kim Jae Hwan." Seseorang menepuk pundaknya dari belakang. Itu adalah Do Hyun dan Min Gyu, sahabatnya.
"Oh." Ucap Jae Hwan singkat.
"Kemana saja kau kemarin?"
Jae Hwan tidak menjawab ia hanya mengangkat bahu malas, ada kelas Professor Kim Yoo Chul satu jam lagi Jae Hwan memutuskan untuk masuk padahal biasanya ia melewatkannya dengan tidak peduli. Tapi tentu saja meskipun hadir Jae Hwan malah memasang earphone nya tanpa berniat mendengarkan materi Professor itu sejak awal sampai Ara masuk ke sana karena ia juga harus hadir di kelas ini. Jae Hwan benar-benar tampak bodoh ia tidak bisa mengalihkan pandangannya dari Ara meskipun gadis itu pura-pura tidak melihatnya, untuk apa pikir Ara laki-laki itu adalah seseorang yang ingin ia lupakan. Dan berada satu ruangan dengannya adalah kata lain dari penyiksaan. Langkah Ara semakin dekat tapi lidah Jae Hwan mendadak tidak bisa berucap ia mematung memandang gadis itu dan Ara berlalu begitu saja tanpa pandangan seperti yang diberikan kepadanya dulu.
Gadis itu juga ingin sekali duduk di samping Jae Hwan seperti dulu, menyemangatinya untuk mengikuti kelas dan sedikit menggodanya tapi itu dulu saat hati Ara tidak di hancurkan olehnya berulang dan yang terakhir jelas fatal bagi Ara. Ia tidak ingin membahasnya.
Kelas itu membosankan. Di tambah ia harus melihat Jae Hwan di sana meski hanya dari belakang tapi sudut matanya tidak beralih dari pria itu. Ara rindu. Dan Ara tidak bisa mengontrol hatinya untuk tidak membenci pria itu. Ara melihat Jae Hwan sedikit kacau, ia tampak lelah dan garis hitam di bawah matanya mempertegas hal itu tapi Ara mencoba tidak peduli meski Ara tahu di apartemen besarnya meski ia memiliki 3 orang pelayan Jae Hwan lebih suka Ara yang mengurus segala detailnya.
Tapi sekali lagi, itu dulu. Ara tidak mau kembali lagi. Malam ini, Jae Hwan menghabiskannya seperti malam-malam sebelumnya. Duduk sendirian di temani alkohol, ia tidak tahu harus pergi kemana lagi atau dengan siapa lagi apartemen mewahnya tidak memberikan rasa nyaman dari apa yang tengah ia rasakan. Do Hyun dan Min Gyu sebenarnya berniat menemani tapi Jae Hwan menolak, Ia ingin sendiri.
Memikirkan Ara membuatnya semakin menyesal.
Setelah botol ketiganya, pria itu memberanikan diri menelepon Ara menghitung setiap nada tunggu berbunyi dengan tidak sabar sampai suara gadis itu terdengar hanya sebatas desahan nafas tidak ada sapaan apapun seperti yang biasa mereka lakukan dulu. Jae Hwan juga begitu, mematung tak mengucapkan apapun sampai dua menit berlalu tanpa terasa.
"Apa lagi ...." Ucap gadis itu lirih lalu meneruskan ucapannya.
"Malam itu aku juga menyesal, harusnya aku tidak pulang ke apartemen mu atau harusnya aku berhenti ketika melihat sepatu wanita lain di sana,"
"Juga pakaian wanita lain di sofa ...."
Suara Ara tercekat di tenggorokan ketika harus menceritakan kembali kejadian yang memberinya trauma terhadap Kim Jae Hwan.
"Kau ingat ... itu sofa yang biasa kita gunakan untuk memandang keluar jendela, menghabiskan waktu bercerita,"
"Harusnya pun aku tidak menunggumu keluar kamar ...," Ara menarik nafas panjang mencoba menghilangkan rasa pilu dalam suaranya.
"Harusnya aku pergi dan tidak tahu apa-apa ...,"
"Harusnya ... Harusnya ... kau tidak melakukan itu." Gadis itu menangis, bagaimana tidak lelaki yang ia percaya mengkhianatinya begitu dalam apakah hubungan mereka begitu dangkal sampai pria itu tega melakukannya dengan mudah.
"Aku menunggumu sampai pagi, tanpa berani membuka pintu kamarmu ... aku masih berharap bukan kau yang keluar dari sana,"
"Tapi itu kau ... aku tahu itu kau,"
"Wae (kenapa)?"
"Nega wae (kenapa aku)?" Ara mulai emosional.
Hiikkkssss
Jae Hwan bisa mendengar isak tangis dari gadis itu begitu menyakitkan tanpa pria itu sadari ia pun ikut menangis, ia menutup mata dengan telapak tangannya, tangisan gadis itu sungguh menyakitkan Jae Hwan tahu ia tidak pantas di maafkan ia bahkan kehilangan kata-kata yang sejak tadi dirangkainya untuk pengampunan dosa tapi ia tetap ingin berharap.
"Dan sekarang apa?"
"Kau ingin aku memaafkan mu?"
"Mianhae Ara-ya." Ucap Jae Hwan pelan.
"Kau pikir itu ada gunanya sekarang?"
"Aku tidak akan membela diri, tapi aku benar-benar tidak berniat menyakitimu, kau harusnya mendengarkan penjelasan dariku sebelum berpikir apapun."
"Apa kata-kata yang kau ucapkan pengaruhnya lebih besar daripada apa yang mataku lihat? apa seperti itu?" Ara jengkel pada Jae Hwan yang terus membela diri.
Lalu tak ada kata lagi, Ara dan Jae Hwan menangis tersedu, tangisan yang begitu pilu. Jae Hwan bersalah dan karenanya ia kehilangan arah hidupnya. Wanita yang di cintai nya. Miliknya.
"Aku merindukanmu, setiap apa yang ku lakukan selalu terikat denganmu."
"Aku harus bagaimana agar kau bisa memaafkan ku!"
"Ara-ya ... jebal (ku mohon). Jebal mianhande (ku mohon maafkan aku)!!"
"Neomu himdeuro (ini sangat menyakitkan) ... Jebal!!"
Telepon terputus, namun pria itu masih menangis seperti orang bodoh membuat orang di sekitarnya mengumpat kesal karena merasa terganggu sedang Jae Hwan tidak peduli ia tengah bergumul dengan pilunya.
"Mwo (apa)?" Ia berdiri dan kemudian memandang orang-orang disana dengan arogan.
"YA, YA! aku tidak peduli dengan masalahmu. Semua orang juga memiliki masalah."
"Sekki (kurang ajar)!" ucap Jae Hwan sambil membanting gelas di meja membuat semua mata kini tertuju pada mereka.
Buuuuukkkkk
Lelaki yang juga dipengaruhi alkohol itu memukul wajah Jae Hwan tapi pria bodoh itu malah tertawa, sampai pukulan kedua, ketiga dan kesekian mendarat di wajahnya, hidungnya mengeluarkan darah yang menetes terus menerus juga dari sudut bibirnya yang sedikit robek. Orang-orang mulai melerai tapi saat Jae Hwan sudah tergeletak di lantai ia malah terus tertawa dan entah apa yang ia tertawa kan, kerumunan orang disana mulai bingung dan bertanya-tanya tapi kemudian air mata menetes dari sudut matanya lelaki itu menangis. Lagi.
Hampir pagi ketika ia berakhir di kantor polisi dengan lelaki yang memukulinya, lelaki itu tidak berhenti mengoceh meski polisi memarahinya sementara Jae Hwan diam. Pikirannya tidak sedang disana. Ia tidak peduli pada apapun lagi bahkan rasa perih di wajahnya ia acuhkan.
"Kau perlu ke rumah sakit setelah ini. Berikan padaku nomor keluarga yang bisa membantumu. Akan ku hubungi!" ucap polisi berbadan gemuk yang memasang wajah cemas.
Jae Hwan hanya diam lalu mulai memikirkan satu nama ...
Ia ingin bertemu dengannya ....