Bab 3. Sally Membuatku Gila

1453 Words
Kejadian patah hati sesaat sebelum keberangkatanku ke Amerika merubah hidupku kembali menjadi Sean si introvert dan dingin. Bersama Sally dulu aku bisa menjadi diriku sendiri dan merasa bahagia karena rasa jatuh cinta pada pandangan pertama kepadanya. Aku menyukai Sally yang tidak pecicilan, lembut juga pendiam hampir mirip dengan sifatku versi perempuan. Bicara seadanya tanpa basa basi bahkan aku akan selalu mengingat hari pertama kami bertemu dan dia menabrakku. Gadis lain biasanya merasa beruntung meski hanya berdekatan denganku dulu tapi gadis ini berbeda, Sally memarahiku padahal dia yang menabrakku lebih dulu. Yang membuatku penasaran adalah sinar di bola matanya yang membuatku ingin selalu beradu pandang dengan netra indahnya itu. Sayangnya semua itu ternyata hanyalah rasa semu sementara yang membuatku kecewa dan akhirnya menjadikanku semakin tidak mempedulikan orang lain. Aku menemukan kalau Sally hanya mempermainkanku dan menganggapku seperti sebuah piala untuk dimenangkan. Aku kecewa dan merasa dipermainkan olehnya apalagi semua baru kuketahui di malam sebelum keberangkatanku ke Amerika. Sisi baik yang bisa kulihat dari kejadian ini adalah aku lebih fokus dengan pelajaran karena hidupku hanya memikirkan belajar, belajar dan belajar demi melupakan kegilaanku yang terus mengingat Sally dan terkadang terdorong untuk menghubunginya hanya sekedar untuk mendengar suaranya lagi. Aku kuliah di Amerika selama 3 tahun, kemudian melanjutkan gelar master selama 2 tahun lalu. Sesampainya di Amerika aku memutuskan langsung bekerja dengan papa sambil membangun usaha baru milikku sendiri dan akhirnya menjadi sebuah perusahaan yang cukup dikenal. Menjalankan dua perusahaan sekaligus tidak membuatku kewalahan meskipun harus melakukannya dari Amerika. Hampir sepuluh tahun aku berada di negeri adi kuasa ini. Papa sebenarnya sering menggerutu memintaku kembali ke Jakarta segera, namun entah rasanya masih malas sekali ke kota di mana aku memberikan cinta pertamaku kepada Sally dan merasakan sakit hati sekaligus. Mungkin lebih tepatnya aku masih belum siap untuk pulang dan bertemu lagi dengannya satu hari nanti. Kepulanganku ke Jakarta hanya beberapa kali dan itupun karena kehadiran seorang anak dari pernikahanku yang tidak diketahui siapapun enam tahun silam. Hanya orang tuaku yang tahu siapa Sion sedang Mark sahabatku tidak pernah tahu kalau aku memiliki seorang anak. Sally masih sendiri melalui cerita Mark. Walaupun aku tidak pernah bertanya kabar Sally, Mark selalu memberikan informasi tentang gadis itu setiap kali dia berbicara dengan tunangannya Ceri dan seperti biasa reaksiku selalu cuek meskipun tidak kupungkiri hanya dari cerita Mark saja sudah mengobati kerinduanku pada gadis yang kubenci itu. Mendengar Sally masih bertahan untuk sendiri membuatku banyak bertanya. Apa Sally masih menungguku? Kenapa dia masih menyendiri? Memang benar, aku tidak pernah mengucapkan berpisah darinya, entah kenapa sulit ku katakan perpisahan walaupun saat itu emosiku memuncak. Kekecewaan yang pernah kulontarkan kepadanya anggaplah sebagai tanda perpisahan dariku. Jika mau aku bisa dengan mudah mendapatkan pacar di sini. Bukannya sombong tapi penggemarku di sini memang lumayan banyak apalagi mereka tahu siapa aku. Tentu saja pada akhirnya mereka dekat denganku karena ingin menaikkan level status mereka ataupun mencari pasangan yang setara dari skala ekonomi. Namun karena aku tidak pernah memberi kesempatan pada mereka untuk mendekat, apalagi aku lebih banyak pergi dan bicara hanya dengan Mark dan beberapa kolega. Begitu juga Mark yang menjaga kesetiaannya pada Ceri dengan menghindari berteman dengan perempuan maka gosip antara aku dan Mark sebagai pasangan sesama jenis pun terjadi lagi. Sudah nasib memang. Pelarianku akhirnya harus berujung pulang. Papa memintaku memimpin perusahaan di Jakarta dengan alasan kesehatan maka aku terpaksa pulang. Lagipula kesempatan untukku mengembangkan usaha yang sudah kurintis dari nol sekaligus memajukan kesejahteraan sosial di tanah kelahiranku. Aku yakin Sion juga pasti senang kalau papanya sekarang akan selalu menemaninya setiap hari. Perusahaan fashion sport yang kugeluti dan kupasarkan di Amerika, sejak awal pembuatannya selalu dari pabrik di Indonesia. Maka dari itu membuka kantor pusat di Jakarta adalah keputusan yang tepat. Jadi aku memanfaatkan gedung milik papa untuk dijadikan kantor perusahaannya digabung dengan perusahaanku. Minggu depan aku dan Mark akan terbang ke Jakarta dan aku meminta Mark mencari semua staff terbaik untuk bekerja di kantor. Mark adalah orang kepercayaanku sekaligus sahabatku yang paling mengerti sikapku. Sepertinya kalo Mark adalah seorang wanita, dia memang akan jadi pasanganku seperti gosip yang beredar tentang hubungan kami berdua. Saat meginjakkan kaki di Jakarta, jantungku seketika berdebar hanya karena otak ini terbayang wajah Sally mantan pacarku itu. Entah seperti apa dia sekarang, aku sempat melihatnya sekilas dari tablet Mark saat mereka sedang bicara. Sally terlihat lebih dewasa, semakin cantik dan imut. Lihat kan bagaimana sulitnya aku melupakan wanita itu. Aku masih menyimpan foto kami berdua dulu saat pacaran dan foto dirinya sekarang yang sengaja dikirim Mark ke ponselku. Meski bibirku mengatakan tidak peduli dengan kehidupan Sally lagi pada Mark tapi jauh di dasar hati aku tahu sulit membuang semua kenanganku dengan Sally, bahkan rekaman suara Sally mengenai hal yang menyakitiku pun masih ku simpan dengan baik. Disaat bersamaan ada rasa jengah menginjakkan kakiku di sini karena mulai hari ini hidupku pasti diganggu Mama dengan perjodohan yang diaturnya. Di Amerika saja dia selalu mengatur pertemuan dengan anak perempuan teman-teman arisannya yang juga kuliah di Harvard apalagi di Jakarta. Baru saja memasuki kamar tidur di rumah ini, mama sudah masuk dan mengetuk pintu. Malas sekali rasanya karena aku tahu apa yang akan dikatakannya setelah beberapa saat lalu mengirimkan sebuah foto ke nomorku. "Sean, Mama sudah atur pertemuan kamu minggu depan sama anak teman mama. Fotonya sudah kamu terima kan?" Ucap mamaku perlahan karena ada Sion yang sedang tidur di pelukanku. Sambil mendesah membuka kembali foto yang dikirim lalu memperlihatkannya pada Mama. "Yakin itu anak baik-baik, Ma? Aku kira tadi Mama kirim foto cewek…" Aku menghentikan ucapanku tidak ingin memperpanjang masalah. Bayangkan saja foto perempuan dengan pakaian minim dan mempertontonkan lekuk kewanitaannya dengan bagian depan sedikit menyembul keluar. Meskipun bukan pakaian terbuka tetap saja terlihat seperti wanita yang sengaja menggoda seperti yang dipakai oleh perempuan di pinggir jalan di Amerika yang pernah kulihat. "Gimana maksudnya, Sean? Gladis anaknya baik kok." Seru Mama mengerti apa maksud ucapanku barusan dan aku menyesali mulutku sekarang. "Ah ngakpapa, Ma. Lupakan saja. Lagian apa ngak terlalu cepat mikirin jodoh-jodohan begini? Aku datang ke Jakarta karena harus fokus sama proyek baru disini. Takut ngak sempat ketemuan." Mamaku terdiam sebentar namun bola matanya mulai terlihat mengerikan detik kemudian mulai menyendu memperlihatkan kesedihanya menatapku dan aku tahu apa yang selanjutnya terjadi. Karena Mama selalu memakai cara ini untuk meluluhkanku juga Papa dan hebatnya kami selalu saja kalah kalau dia sudah memasang raut wajah merajuk sedih begini. "Sean kamu dengerin Mama. Usia kamu itu uda nga muda lagi sudah 28 tahun. Kalo kamu ngak pacaran dari sekarang, kapan kamu nikahnya. Kamu ngak kasihan sama papa mama apa? Teman-teman Mama yang lain sudah pada tenang karena anak-anak mereka sudah nikah semua. Kakak kamu juga sudah nikah tapi kamu dikenalin sama cewek saja susah banget. Setidaknya mikirin nasib Sion, masa iyah dia ngak punya mama. Sion suka bilang pingin punya mama loh sampai guru les dia yang dulu mau dijodohin ke kamu. Siapa namanya itu Miss Lili kan." “Kalau gitu aku nikah sama guru les Sion saja, Mam.” Ucapku sembarangan berakhir dengan toyoran tangan mama dikepalaku. “Ngaco kamu. Memangnya kamu sudah ketemu dia, cantik sih orangnya tapi terlalu kutu buku kayaknya ngak cocok sama kamu. Yang ada baru dekat dia sudah nangis lihat muka jutek kamu itu.” Aku memang belum pernah bertemu dengan guru les Sion itu, mama memang pernah mengirimi fotonya meskipun hanya dari samping. Dia memang pantas jadi guru dengan penampilannya memakai kaca mata, rambut hitam diikat dan berponi. Namun siluet tubuhnya mengingatkan aku akan Sally, entah kenapa begitu. “Kamu memang ngak sayang sama mama. Bisa keburu mama sama papa kamu tutup mata sebelum kamu nikah kalau kamu keras kepala kayak gini.” Kalau mama ku sudah memasang raut wajah memelas bercampur sedih apalagi bawa-bawa Sion aku sudah tidak bisa berkelit lagi. "Oke, Mam, kita lihat saja nanti. Aku masih mau fokus membangun karir dulu. Mama ngak mau kan aku masih kerja keras sampai tua. Makanya mumpung masih produktif aku fokus sama bisnis dulu ngak kaya Papa sampai setua ini masih sibuk di kantor." Sengaja menekankan alasanku agar Mama berhenti menjodohkanku dengan gadis lain setelah ini. "Yah sudah, pokoknya kamu kenalan saja dulu yah. Mana tahu yang kali ini kamu kecantol, Sean. Nanti nyesal loh." Sambil melangkah menuju pintu dan keluar. Sedangkan aku hanya mendesah meskipun tahu sulit mematahkan keinginan ibu suri di rumah ini. Sempat terpikir dalam benakku. Apa nikah sama gurunya Sion saja si Miss Lili itu. Tapi rasanya kenapa masih berat menggantikan nama wanita lain di hatiku. Bahkan aku terus membayangkan wajah sendu Sally ketika aku marah. Mark bilang kalau keadaan Sally saat itu benar-benar kacau bahkan sempat jatuh sakit. Tatapannya kosong tidak bersemangat selama beberapa minggu sejak kepergianku. Kenapa dia harus seperti itu kalau niatnya hanya untuk mempermainkan perasaanku. ‘Argh! Kamu apakah aku sampai tidak bisa melupakan kamu, Sal!’
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD