3

1045 Words
3 Sebenarnya Viona merasa risi menerima tamu pria pada tengah malam begini, apalagi jika pria itu adalah atasannya yang punya sejuta pesona dan berpredikat playboy. Namun ia tidak bisa berbuat apa-apa mengingat Christian datang untuk mencari dompetnya yang mungkin saja ketinggalan kemarin malam. Pintu kondominium tertutup. Christian mengikuti langkah Viona menuju ruang tamu. Viona mulai sibuk mencari-cari dompet Christian. Pria itu juga melakukan hal yang sama. Setelah beberapa saat, mereka masih saja belum menemukannya. "Tidak ada," gumam Viona sambil masih menatap ke sekeliling. "Apakah kau yakin dompetmu ketinggalan di sini?" Ruang tamu itu tidak terlalu luas, jika benar dompet pria itu terjatuh di sana, maka dengan mudah akan ditemukan. Christian duduk di salah satu sofa. "Mungkin aku lupa meletaknya di mana, atau bahkan hilang di jalan. Uang kontan di dompet itu tidak seberapa, hanya beberapa kartu kredit dan debit, dan aku sudah memerintah pihak terkait untuk memblokirnya." Viona menghela napas lega mengingat Christian tidak menuduhnya menyembunyikan dompetnya. "Syukurlah kalau begitu," ujar Viona. Ia masih berdiri kaku tidak jauh dari Christian, di dalam hati berharap pria itu segera berpamitan dan meninggalkan kondominiumnya. "Boleh buatkan aku segelas kopi, Viona? Aku terbiasa minum kopi jam segini." Bertolak belakang dengan apa yang Viona inginkan. Viona menarik napas panjang. Meski sebenarnya merasa keberatan dengan permintaan Christian, ia tetap menyanggupinya. Lima menit kemudian, kopi hitam panas dengan uap mengepul terhidang di atas meja ruang tamu. "Maaf jika aku merepotkan dan mengganggumu malam-malam begini," kata Christian. Viona duduk di hadapan Christian dan mengangguk samar. "Tidak apa-apa." Christian menatap Viona dengan tatapan intens, lalu menatap ke sekeliling. "Kondominium ini cukup nyaman." Viona tersenyum samar mengiyakan kalimat Christian. "Tapi, Viona, aku rasa sebaiknya kau pindah ke kondominium milikku saja, lebih luas dan nyaman. Selain itu, lebih dekat untuk ke kantor, dan di sana juga keamanannya terjamin. Saat menunggumu tadi, aku melihat seorang pria bertampang sangar masuk ke kondominium sebelah. Mungkin dia tinggal di sana. Aku pikir sangat berbahaya jika wanita lajang sepertimu bertetangga dengan pria seperti itu." Kerut kecil menghiasi dahi Viona. Sudah lama ia tinggal di kondominium ini, tapi tak pernah sekali pun bertemu dengan pria bertampang sangar yang Christian maksud. "Bagaimana, Viona? Tenang saja. Tidak dipungut biaya. Aku punya banyak kondominium. Jadi tidak masalah jika salah satunya ditempati olehmu. Lebih bermanfaat daripada kosong begitu saja sepanjang tahun," bujuk Christian lembut. "Aku tidak mau merepotkanmu, Christian. Bisa bekerja di perusahaanmu saja, aku sudah sangat senang," tolak Viona halus. Tentu saja ia tidak akan menerima tawaran Christian. Viona tahu Christian baik. Hanya saja ia takut tak akan mampu membalas kebaikan itu, apalagi jika dalam bentuk kehangatan. Bukan ia terlalu percaya diri Christian menginginkan tubuhnya, tapi mengingat atasannya tersebut pernah berkencan dengan sekretaris-sekretaris sebelumnya, Viona jadi waspada. Ia tidak mau menjadi salah satunya. "Tapi kau tidak aman di sini." Viona tersenyum tipis. "Kau boleh berpikir dulu, Viona. Aku ingin sekretarisku merasa aman agar bisa fokus pada pekerjaan.” "Baiklah, akan kupikirkan," kata Viona berusaha menyenangkan hati Christian. Tentu saja ia tak perlu memikirkannya lagi. Jawabannya tetap sama. Ia lebih nyaman tinggal di kondominium sepupunya yang sejak lama ia tinggali. Sekilas Viona seperti melihat kilat kepuasaan di mata gelap Christian. Namun ekspresi pria itu datar. Viona pikir mungkin ia salah melihat dan memilih tidak mengacuhkan hal tersebut. *** Tidak ada dompet yang ketinggalan, tentu saja. Semua hanya akal-akalan Christian untuk bisa menemui Viona. Dan ia lega wanita itu tampak tidak curiga sedikit pun akan hal tersebut. Juga tidak ada tetangga berwajah sangar. Christian hanya ingin Viona tinggal di salah satu kondominium mewahnya, yang letaknya bersebelahan dengan kondominium yang ia tinggali saat ini. Biasanya kondominium itu ia sewakan kepada turis kelas atas dengan tarif tinggi. Namun demi bisa berdekatan dengan Viona, ia rela kondominiumnya itu ditempati secara gratis oleh sang sekretaris. Senyum tipis dengan setia mekar di wajah Christian saat ia mengendarai mobilnya pulang meninggalkan kondominium Viona. Respons Viona atas kehadirannya tadi dan tanggapan tawarannya akan kondominium itu masih jauh dari yang Christian harapkan. Namun ia yakin, dalam waktu dekat Viona akan semakin dekat dalam jangkauannya. Dan saat itu tiba, Viona akan dengan mudah jatuh ke pelukannya, bukan? *** Tiga hari berlalu. Viona sudah mengabarkan kepada Christian bahwa ia merasa tidak perlu pindah dan yakin kondominium yang ia huni saat ini aman-aman saja. Sekilas Viona melihat Christian tampak kecewa, tapi kemudian ekspresi itu dikuasai dengan baik, wajah tampan yang sempat mengatupkan rahang itu kembali datar. Kejutan datang pada Viona saat ia baru tiba di kondominium malam harinya. Dinie, sepupunya yang tinggal di luar negeri itu, menghubunginya. Kali ini Dinie bukan ingin bertukar kabar, melainkan mengabarkan berita yang membuat Viona serasa disambar petir di siang bolong. Dinie menyatakan ada orang ingin membeli kondominiumnya dengan harga tinggi, dan ia minta maaf karena tergiur untuk menjualnya. Viona kecewa. Akan tetapi tentu saja ia mendukung keinginan sepupunya itu. Kondominium tersebut adalah milik Dinie, dan hak penuh terletak di tangan wanita itu. Viona berterima kasih selama ini dibiarkan tetap tinggal tanpa dipungut biaya sewa. Yang menjadi pertanyaan di dalam benak Viona adalah, untuk apa si pembeli membeli kondominium Dinie yang sederhana, sedangkan dengan harga yang ditawarkan tersebut, bisa membeli kondominium mewah? Setelah lelah bertanya-tanya sendiri, akhirnya Viona memutuskan untuk tidak memikirkannya lagi. Yang harus ia lakukan adalah mencari tempat tinggal baru secepatnya. Ia tidak punya banyak waktu. Si pembeli benar-benar keterlaluan, meminta kondominium tersebut dikosongkan dalam waktu seminggu. Harga yang ia berikan terlalu tinggi hingga sekali lagi Dinie meminta maaf karena terpaksa menyuruhnya pindah secepatnya. Viona hanya bisa menerima dengan pasrah. *** "Apakah di tempatmu masih ada kamar kosong yang disewakan, Navia?" tanya Viona saat akan pulang dan melintas di depan meja Navia. Navia menatap Viona dengan dahi berkerut. "Ada apa? Bukankah kau tinggal di kondominium yang nyaman?" Viona menghela napas panjang. "Itu kondominium sepupuku, dan sekarang sudah dijual. Aku cuma punya waktu satu minggu untuk mengemas barang-barangku dan angkat kaki dari sana," jelas Viona frustrasi. Navia manggut-manggut. "Jadi? Apakah ada?" Viona mengulang pertanyaannya dengan tak sabar. "Setahuku tidak ada, tapi akan kutanyakan nanti." Senyum lega mengembang di bibir Viona. "Terima kasih, Navia. Omong-omong aku pulang dulu. Aku harus mengemas barang-barangku," kata Viona. Navia yang masih saja berkutat dengan pekerjaannya, mengangguk mengiyakan. "Hati-hati di jalan, Vi." Viona mengangguk. Ia melambaikan tangan lalu berjalan menuju pintu keluar. Perlahan ia menyusuri lorong menuju elevator dengan pikiran berkecamuk. *** Love, Evathink Follow i********:: evathink
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD