5

1130 Words
5 Viona meninggalkan lemari pakaiannya dan berjalan mendekati Christian. "Maaf aku tidak bisa menemanimu mengobrol, Christian. Aku ..., aku harus pindah malam ini, jadi aku harus segera mengemas semua barang-barangku," kata Viona dengan suara tercekat. Ia benar-benar ingin menangis saat ini. Sedih, kesal, semua melebur di dalam d**a. "Tinggal di kondominium milikku saja, Vi," tawar Christian dengan suara lembut. Viona menghela napas berat. Ia menatap Christian ragu. "Teman-temanku juga sering tinggal di kondominiumku. Terkadang semingu, sebulan, bahkan pernah setahun. Seperti yang kubilang, aku punya banyak kondominium, jadi tidak masalah." "Tapi ...." "Sudahlah, tidak usah dipikirkan lagi. Malam ini juga kau boleh langsung tinggal di kondominiumku itu. Kebetulan aku memiliki dua kondominium di sana. Kita tinggal bersebelahan. Lebih mudah, bukan? Kita bisa pergi dan pulang kerja bersama-sama." Viona terdiam ragu. Tentu saja tawaran Christian saat terdesak seperti ini berubah menggiurkan. Jika sebelumnya Viona sama sekali tidak ingin menerima tawaran itu, tapi malam ini berbeda. Ia benar-benar butuh tempat tinggal atau pilihan lainnya ia harus pulang ke rumah orangtuanya. Jaraknya sangat jauh untuk ke kantor jika ia tinggal di sana. Lelah berpikir, akhirnya Viona mengangguk. Di dalam hati ia meyakinkan diri bahwa ini hanya untuk sementara waktu. Pelan-pelan ia akan mencari tempat tinggal baru. Apartemen sederhana dengan sewa terjangkau, misalnya. *** Hati Christian riang bukan main saat akhirnya Viona setuju tinggal di kondominium miliknya. Dengan perasaan senang, ia membantu Viona mengemas barang-barang. Christian mengulum seringai mengingat sebentar lagi Viona akan jatuh ke dalam pelukannya. Ia sudah tidak sabar menunggu saat itu tiba. Namun kesenangan Christian tidak berumur panjang. Saat mereka sudah memindahkan barang-barang Viona ke bagasi taksi karena mobil sport Christian tidak memungkinkan membawa barang sebanyak itu, ponsel Viona berdering. Christian memperhatikan dengan dahi berkerut saat Viona berbicara di ponsel. Ekspresi wanita cantik itu berubah-ubah. Sebentar mengerut kening, lalu terdiam. Tak lama kemudian tersenyum lebar, membuat bibir ranumnya makin tampak menggoda. Viona mengakhiri pembicaraan lalu menatap Christian dengan wajah berseri-seri. "Christian, akhirnya aku mendapatkan kamar sewaan juga!" ucap Viona dengan ceria dan penuh semangat. Christian mengerut kening. "Barusan itu Navia. Katanya gadis yang menyewa kamar di sebelahnya tiba-tiba pindah hari ini. Kamar itu kosong dan disewakan. Aku sudah mengabari Navia agar mengatakan pada pemiliknya bahwa aku akan menyewanya. Maukah kau mengantarku ke sana? Atau aku ikut taksi ini saja." Viona menunjuk taksi yang sudah siap dengan semua barang-barangnya. Marah dan kecewa. Kedua emosi itu seperti siap meledakkan Christian saat itu juga. Sedikit saja lagi ia akan semakin dekat dengan Viona, tapi sepertinya wanita itu selalu berhasil menyelamatkan diri darinya. Christian tersenyum enggan. "Tapi bukankah kondominium milikku lebih nyaman dibandingkan kamar sewaan, Viona?" Di saat-saat terakhir Christian masih berusaha menggoyahkan keinginan Viona. Viona tersenyum tipis. "Tidak apa-apa, Christian. Ini hanya sementara waktu. Aku tidak mau merepotkanmu. Lagi pula, kata Navia di sana cukup nyaman." "Aku tidak merasa direpotkan!" tukas Christian cepat dengan nada tajam dilumuri perasaan kesal. Viona menatap Christian terkejut. Christian mengumpat dalam hati. Ia tersenyum kaku. "Tapi aku sungkan," kata Viona pelan. Christian ingin mendengkus kesal, tapi sebisa mungkin menahan diri. Akhirnya mereka masuk ke dalam mobil mewahnya dan bersiap menuju tempat tinggal baru Viona, diikuti oleh taksi yang membawa barang-barang wanita itu. Christian tahu, Viona wanita yang memegang teguh prinsipnya. Percuma memaksa. Di dalam hati Christian bertekad, jika ia tidak bisa mendekati Viona dengan cara membuat mereka tinggal berdekatan, maka ia akan mencari cara lain. *** Kesuraman sudah menghilang dari wajah Viona. Hari ini ia bekerja dengan penuh semangat. Masalah mencari tempat tinggal baru yang beberapa hari ini membebaninya, kini sudah teratasi. Kamar yang ia tempati sejak tadi malam itu cukup memuaskan meski tak senyaman kamarnya di kondominium Dinie. Namun Viona tetap bersyukur, daripada tinggal di kondominium Christian dan berutang budi pada atasannya yang terkenal playboy itu. Jam digital di laptopnya menunjukkan pukul lima sore. Setelah memastikan semua pekerjaannya selesai, Viona segera merapikan meja dan mematikan laptop. Tadinya ia berencana pulang bersama Navia karena sekarang mereka tinggal di tempat yang sama, tapi berhubung Navia masih sibuk dan kemungkinan akan lembur, rekan kerjanya yang baik hati itu menyuruhnya pulang lebih dulu. Awalnya Viona keberatan dan memilih untuk tetap menunggu, tapi Navia meyakinkannya untuk pulang. Akhirnya setelah mengobrol sejenak, Viona pun pamit. Dengan membawa pikiran bahwa ia akan menyusun barang-barang bawaannya di kamar sewaannya yang baru, Viona melangkah ringan meninggalkan kantor. Bermenit-menit berlalu, tak terasa Viona tiba di beranda menara. Karena sedang larut dengan pikirannya, tanpa sengaja ia menabrak seorang yang sepertinya sedang terburu-buru. "Maaf," desis Viona spontan. Ia menatap orang yang bertabrakan tubuh dengannya itu, dan seketika merasa lega menyadari orang tersebut tersenyum tipis menandakan tidak marah. "Kau tidak apa-apa?" tanya pria itu simpatik. Senyum Viona mengembang. Ia menggeleng pelan. "Syukurlah. Oh ya, kenalkan, namaku Fabian. Kantorku di lantai dua puluh. Dan kau?" "Sama. Aku juga di lantai dua puluh." "Baru di sini, ya? Selama ini aku belum pernah melihatmu." Viona mengangguk mengiyakan dengan senyum manis. Dan kejadian tak terduga itu pun berlanjut ke perkenalan lebih dekat. Fabian memberi kartu namanya. Ia juga meminta nomor ponsel Viona. Viona ragu untuk memberi nomor ponselnya kepada pria yang baru berkenalan dengannya itu—meskipun pria itu tampak tidak berbahaya. Akhirnya Viona hanya memberitahu nama perusahaan tempat ia bekerja. Fabian tampak kecewa, tapi senyum menawan tetap terukir di wajah tampannya. Mereka berbincang ringan sejenak sebelum akhirnya berpisah dengan senyum mengembang di wajah masing-masing. *** Perkenalan Viona dan Fabian tak luput dari pandangan Christian. Ia sedang mengendara mobil mewahnya menuju jalan keluar menara tatkala melihat kejadian tersebut. Christian kenal pria itu. Fabian Pratama namanya, seorang CEO dari perusahaan lain. Meski hampir tak pernah bertegur sapa, tapi Christian tahu sedikit sebanyak tentang pria itu. Sepak terjangnya juga tak berbeda jauh dengan dirinya. Seorang playboy dengan sejuta rayuan maut. Dan Christian cemas jika Viona akan terpesona pada pria itu. Tanpa sadar Christian meremas kemudi mobil. Ia yakin perkenalan Fabian dan Viona tak akan berhenti sampai di sini. Memikirkan itu, Christian semakin gregetan. Ingin segera memiliki Viona, tapi sepertinya gadis itu semakin tak tersentuh, tak tergapai. Sikap Viona padanya terlalu sopan dan formal, sama sekali tak tampak ingin menggodanya padahal ia sudah memberi lampu hijau. Ponsel yang berdering membuyarkan lamunan Christian. Ia melirik sejenak ponselnya yang tergeletak di dasbor mobil. Angelica memanggil .... Christian mengumpat kecil. Pasangan kencannya minggu ini adalah Angelica, seorang model yang sedang naik daun. Namun entah mengapa minat Christian pada gadis itu memudar begitu saja. Angelica cantik, bentuk tubuhnya juga sangat menggoda mengingat ia seorang model majalah dewasa. Angelica bisa membuat hasrat para pria terbakar dengan hanya menatap tubuhnya saja. Namun benak Christian yang dipenuhi bayangan Viona benar-benar telah mengikis habis hasratnya pada model satu itu. Ponselnya terus berdering. Christian menjadi semakin jengkel. Akhirnya ia meraih ponselnya, menyentuh tanda off lalu meletakkannya kembali ke dasbor dengan kasar. Yang ia inginkan saat ini adalah Viona, bukan Angelica atau wanita lainnya. *** Love, Evathink Instagram: evathink
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD