2. PENGORBANAN YANG SIA-SIA

1261 Words
“Sayang, kok kamu di sini?” Arletha melangkahkan kakinya yang gemetar, lalu mendekati Baskara. Kedua tangannya masih memegang kue ulang tahu dengan lilin yang menyala. Seakan tiada arti, pengorbanan yang sudah ia lakukan kepada pria yang masih saja memeluk wanita yang Arletha kenal. Membuatnya seperti gadis yang sangat bod0h dan menyedihkan. “Letha. Kapan kamu pulang?” tanya Vivi. “Kenapa? Kaget ya karena ternyata malam ini rahasia busuk kalian terbongkar?” tanya Arletha sinis. “Wah! Kalian berdua benar-benar mesra, ya? Sampai nggak tahu malunya di hadapanku.” Seketika Baskara melepas Vivi dan mendorong wanita itu akibat sindiran dari Arletha. Keduanya semakin panik dan juga malu atas apa yang dilakukan. “Aku bisa jelasin, Sayang. Ini semua hanya salah paham. Kamu jangan marah, oke?” Lilin yang masih menyala, ditiup oleh Arletha. Lalu kue tersebut melayang ke wajah Baskara. Kue yang dipesan spesial untuk ulang tahun pria itu, kini menutupi wajahnya yang berparas tampan. Tindakan tiba-tiba Arletha membuat kakak sepupunya menjerit terkejut. “Letha apa-apaan, sih? Kamu kok tega banget sama Baskara?” Vivi membentak Arletha. Lalu dengan sigap membantu membersihkan krim di wajah pria itu dengan tangannya. “Kamu nggak apa-apa, Bas?” tanya Vivi kepada Baskara. Pria itu menggeleng. “Nggak, aku baik-baik saja.” Melihat pemandangan ini membuat Arletha semakin terluka. Gadis itu tersenyum miris, menyaksikan apa yang dilakukan kekasihnya dan juga kakak sepupunya. Sepertinya habis sudah kesabarannya. Ia tidak mau menjadi Arletha yang menyedihkan di hadapan dua orang pengkhianat. “b******k!” Tamparan keras mengenai sasaran. Wajah Baskara yang masih berisi krim dari kue ulang tahun, kini harus merasakan tamparan dari tangan mungil Arlertha namun penuh tenaga. “Letha! Kamu kasar banget, ya!” bentak Vivi. Arletha tidak perlu mengatakan apa-apa. Dua tamparan keras juga mendarat di pipi Vivi. Wanita itu bahkan sedikit terpental akibat tenaga kuat dari tangan Arletha. “Arletha! Kamu?” “Kenapa? Kamu marah karna aku tampar selingkuhan kamu, hah?” “Oke kamu marah. Tapi kita bisa bicarakan ini baik-baik tanpa perlu main kasar sama Vivi. Kalau mau nampar aku, silakan. Tapi dia kakak sepupu kamu, Sayang,” ucap Baskara. “Diam b******k!” Arletha sudah kehilangan akal sehatnya. “Nggak usah sok bijak kalau hanya untuk membela selingkuhanmu. Kalian berdua sama-sama busuk, jadi aku nggak perlu bicara baik-baik.” Baskara berusaha memegang tangan Arletha namun tentu saja ditepis keras dengan tatapan jijik. “Jangan sentuh aku!” ucapnya dengan nada tinggi. “Tega ya kalian berdua. Kalau aku nggak pulang, entah sampai kapan kalian akan membodohiku. Dan kamu, Vivi, kalau kamu memang suka dengan Baskara, nggak perlu sembunyi lagi. Mulai hari ini, silakan ambil bekasku yang sudah nggak aku butuhkan lagi. Pengkhianat memang akan selalu menemukan pasangan yang setara yaitu sampah!” “Tunggu Letha!” Baskara memegang tangan Arletha. “Kita masih perlu bicara. Kamu jangan pergi.” Arletha menepis dengan tatapan mata sinis. Sambil menahan air mata yang susah payah dibendung. “Apa lagi? Aku nggak bod0h, Bas. Mataku masih normal dan Valen juga lihat apa yang kamu lakukan dengan Vivi. Jadi berhenti mencoba mencari celah untuk melakukan pembelaan karena aku nggak akan peduli.” “Tapi Letha …” “Satu lagi, selamat ulang tahun dan semoga kamu nggak panjang umur!” Arletha pergi dari kamar yang kondisinya kotor akibat kue ulang tahun. Valen yang sejak tadi diam dan menjadi saksi atas pengkhianatan yang dilakukan Baskara, langsung mengejar Arletha. Sebagai sahabat, tentu tahu apa yang harus dilakukan. Menemani Arletha yang sedang merasakan kehancuran. “Tha tunggu!” Langkah kaki Arletha tidak melambat sedikit pun. Tidak peduli dengan panggilan Valen yang terus mengejarnya hingga masuk ke dalam lift. Arletha perlu segera keluar dari tempat ini karena merasa dadanya sakit sekaligus sesak. “Aku benar-benar syok. Si Bas sama saja brengseknya dengan mantanku,” ucap Valen dengan napas tersengal. Terang saja, Valen kesulitan mengimbangi langkah sahabatnya karana kakinya yang pendek sedangkan Arletha memiliki kaki yang jenjang. Gadis itu menoleh karena melihat Arletha yang bergeming. “Kamu mau pulang, kan? Biar aku antar, Tha.” “Tidak!” Valen sedikit kaget dengan nada Arletha yang tinggi. “Terus mau ke mana?” “Aku nggak mau pulang, Val. Gimana bisa aku ketemu orang rumah terutama papiku dalam keadaan seperti ini.” “Terus?” Arletha mulai tertunduk, lalu tangisnya pecah. “Terserah kamu mau bawa aku ke mana, asal jangan pulang. Aku nggak mau ketemu sama siapa pun, aku pingin sendiri.” Melihat Arletha mulai menumpahkan kesedihan dan rasa sakitnya, Valen merasa tidak tega. Memang sahabatnya belum mengatakan apa-apa. Tetapi jika ingat kejadian di apartemen Baskara, sudah bisa ditebak seberapa besar luka Arletha saat ini. “Ya sudah, kita ke apartemenku ya. Malam ini kamu bisa di sana dulu, sampai kamu merasa tenang.” Setelah perjalanan kurang lebih 20 menit, mobil yang dikemudikan oleh Valen sampai di apartemennya. Tempat ini hanya digunakan sesekali ketika Valen butuh tempat untuk sendiri. Sedangkan selama ini ia masih tinggal dengan orang tuanya karena ia adalah anak tunggal sama seperti Arletha. “Ayo masuk. Jangan kayak orang lain, kan biasanya kamu sering nginep di sini.” Valen menarik tangan Arletha agar masuk. “Tunggu di sini. Aku mau ambil minum. Semoga minuman yang aku taruh di kulkas, nggak kedaluwarsa.” Arletha duduk di sofa dengan matanya yang basah. Perlahan terdengar kembali suara isak tangis yang sempat terhenti ketika menuju unit apartemen milik Valen. Mengingat semua yang terjadi, membuatnya kesulitan untuk berpikir waras. “Sabar ya, Tha. Aku juga syok sampai nggak tahu harus ngomong apa.” Valen meletakkan sebotol air mineral di atas meja. Kemudian duduk di sebelah sahabatnya. “Sumpah, Tha. Aku nggak nyangka kalau Vivi bisa sejahat itu. Dan Baskara juga sama brengseknya. Masa sepupu pacarnya diembat juga.” Tangis Arletha semakin menjadi-jadi. Inginnya tetap merasa waras tanpa harus mengeluarkan banyak air mata. Nyatanya ia memang serapuh itu. Cintanya yang besar dan tulus kepada Baskara, siapa sangka tidak berarti apa-apa bagi pria itu. “Val, apa sih kurangku? Selama di Paris, aku selalu berusaha membagi waktuku antara belajar, kerja dan juga dia. Bahkan papiku sampai protes karena aku lebih banyak meluangkan waktu menghubungi Baskara daripada papiku sendiri. Yang paling menyedihkan, aku pulang melepas karirku demi dia, tapi ternyata kepahitan dan sakit hati yang harus aku dapatkan,” jelas Arletha sambil terus menangis. Valen mengusap punggung Arletha. Ia merasakan sakit yang temannya rasakan. Tetapi tidak ingin memeluk karena ia tahu, Arletha sangat tidak suka dikasihani. “Ada bagusnya juga kamu pulang dan lihat langsung busuknya mereka. Sakit di awal tapi aku yakin setelah ini kamu akan bersyukur bisa melepaskan sampah seperti Bas dan Vivi.” “Tapi kenapa, Val? Apa salahku sampai mereka seperti ini? Kenapa harus dengan Vivi, kenapa harus kakak sepupuku?” Kedua tangan Valen bertengger di lengan Arletha. Mencoba menyadarkan gadis itu bahwa ini semua bukan salahnya. “Jangan pernah bertanya salah dan kurang kamu apa karena ini semua nggak berasal dari kamu. Otak mereka yang nggak waras. Terutama Bas, dia rugi besar karena menyia-nyiakan gadis seperti kamu. Aku yakin, setelah ini dia pasti menyesal, karena kamu jauh lebih baik dari Vivi, ingat itu.” Arletha menatap Valen dengan berderai air mata. “Kalau aku lebih baik dari Vivi, lalu kenapa Bas harus selingkuh, Val? Jelas kan ada yang nggak bisa aku kasih ke Bas, makanya dia memilih mendua dengan wanita lain.” “Tha …” Valen sampai kehabisan kata-kata. “Aku memang bod0h. Terlalu percaya Bas kalau hubungan kami baik-baik saja. Aku terlalu naif kalau nggak mungkin dia main belakang. Tapi nyatanya sia-sia semua pengorbanan yang baru saja aku lakukan. Menyesal pun, rasanya nggak ada guna, Tha.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD