Tari berdiri, kemudian menatap Rigi dengan ekspresi tidak percaya. Sorot matanya memperjelas, jika dirinya saat ini sedang tidak aman. Apa Rigi lupa dengan kesepakatan yang mereka buat? Jangan sampai semua curiga hanya karena kebodohan lelaki itu.
Tari tampak murka, ia tidak peduli lagi dengan orang-orang di sekitarnya. Kalau Rigi seperti ini, bisa-bisa rahasianya akan terbongkar dengan mudah.
"Kak!" bentak Tari membuat semua yang ada di sana diam. Cita berusaha menenangkan emosi Tari, tapi gadis itu terlihat sedang dipengaruhi emosi yang memuncak.
"Sabar, Tar, sabar." Sambil mengelus lembut pundak Tari. Cita berusaha meredam emosi gadis itu.
Tari memandang Cita sekilas, dihiraukannya tatapan Cita yang memandangnya nanar. "Diam kamu, Cit! Tidak usah ikut campur!"
Dibentak seperti itu membuat Cita sedikit sedih, tapi ia berusaha memahami kondisi Tari. Gadis itu sedang kalap, sekarang. "Oke, aku diam," pungkas Cita sedikit kecewa.
Sebenarnya, Tari agak menyesal sudah membentak sahabatnya. Tapi ia tidak bisa mengerem emosinya lagi. Dalam hati hanya kata maaf yang mampu diucap.
Viola yang tidak terima jika kekasihnya dibentak, sudah bersiap menerkam Tari, Gadis itu memberi sedikit jambakan di rambut panjang milik gadis itu. "Kurang ajar, beraninya lo bentak pacar gue! Mau cari mati lo?"
Rigi yang melihatnya, dengan sigap berusaha melerai Viola dengan mendorong tubuh gadis itu ke belakang. Dengan begitu, otomatis jambakan Viola di rambut Tari pun terlepas.
Tari memegangi rambutnya yang memanas. Jambakan Viola lumayan kerasa di kepalanya. "Apa? Kakak mau bela cowok ini?" Tari menujuk Rigi dengan dagunya. Pandangannya menatap lurus pada Viola yang tampak murka.
Saat Viola ingin melayangkan tamparan di wajah Tari, Rigi berusaha menahannya.
"Tidak usah ikut campur!" perintah Rigi sambil memegang lengan Viola.
Viola yang diperlakukan seperti itu mendadak kesal, ia berpikir jika Rigi membela Tari.
"Ish! Kamu kok jadi belain dia sih? Pacarmu kan aku?" gerutunya.
Rigi merotasikan sepasang kelereng bundar miliknya. "Bukan gitu maksud aku. Aku cuman gak mau kamu bermasalah di kampus."
Setelah meyakinkan Viola, Rigi pun membalas tatapan Tari tak kalah nyalang. Tatapannya melembut ketika gadis itu merunduk dalam. "Apa? Saya cuman ingin membahas turnamen basket sama kamu. Gak usah GR!"
Tari merasa malu, dugaannya salah. Ia pikir, Rigi akan dengan sengaja membocorkan hubungan mereka. Ia pun tak berani menatap Rigi. "Kenapa gak dibicarakan di kampus saja? Emang harus di luar kampus?" suaranya melembut. Tari nampak takut-takut.
Tari menggigit bibir bawahnya dalam. Ia takut jika dirinya salah bicara. Rasa asin dan aroma amis dari bibirnya tak dihiraukan lagi, Tari bahkan tidak sadar jika bibirnya berdarah.
Wisnu yang geram dengan situasi ini, ia pun membela Tari yang terlihat lemah. "Betul apa yang dibilang Tari. Harus banget, bahas itu di luar kampus? Di kampus kan bisa?"
"Gak bisa! Waktunya sudah sangat mepet. Nanti pulang kampus, saya tunggu di parkiran. Gak ada bantahan." Tari melotot tajam. Enak sekali Rigi membuat keputusan sepihak seperti ini?
"Gak! Aku gak bisa. Ada urusan penting." tolak Tari tegas.
"Urusan penting apa? Jalan sama cowok ini?" Rigi menatap Wisnu sengit. Tatapan keduanya pun saling beradu.
Tari menahan geram. "Memangnya aku perlu laporan ya? Kamu bukan siapa-siapaku!"
Mendengar jawaban Tari, Rigi pun jadi geram. "Saya tidak menerima bantahan."
Tari pun mendesah pasrah. "I-iya. Tunggu saja di parkiran," putus Tari cepat.
Tari yang kesal, kemudian berlalu dengan menggandeng paksa Cita. "Ayo, Cit."
"Maaf, aku permisi dulu." Cita dan Tari pun pamit kembali ke kelas tanpa meninggalkan sepatah kata lagi.
Di dalam kelasnya, Tari terlihat tengah menggerutu. Wajahnya tertekuk masam, dengan sudut bibir yang manyun. Perempuan itu tengah menahan geram yang siap meledak kapan saja.
"Mau tuh cowok apa sih? Sejenak jidat banget nyuruh-nyuruh orang. Kalau gini caranya, sandiwaranya bisa terbongkar, Cit."
Cita yang diajak bicara tampak bingung meresponnya bagaimana. Ia tidak tahu harus senang atau sedih. Melihat sikap Rigi yang seperti ini membuatnya merasa senang, karena secara tidak langsung, Rigi mulai mengakui keberadaan Tari dalam hidupnya. "Aku gak tahu, Tar, mesti seneng apa sedih. Soalnya dari sikap Kak Rigi ke kamu, kayaknya dia udah mulai menerima keberadaan kamu di hidupnya. Kamu sendiri bagaimana? Perasaan kamu sama Kak Rigi gimana?"
Bukan solusi yang Tari terima, ia malah mendapatkan pertanyaan aneh dari sahabatnya. Tari bertopang dagu di atas meja. "Bagaimana apanya? Aku sih biasa aja, gak mau berekspresi lebih. Lagian, aku sama dia itu bak langit dan bumi, Cit. Kita beda kasta dan segalanya. Aku gak mau terlalu berharap. Harapanku ketinggian malah jatuh nanti."
Cita menghela napas berat. "Hemmm ... bener juga sih. Sulit juga ya, Tar. Tunggu waktu yang bicara deh, aku juga gak bisa apa-apa."
Tari tersenyum getir. Lebih tepatnya seperti menertawakan nasibnya yang malang. Bahkan ia pun heran, mengapa takdirnya securam ini? Memang, dosa apa yang Tari lakukan di masa lalu? "Emang nasib aku aja yang apes!"
Tidak tahu mau membalas apa, Cita pun hanya mampu diam.
Tak terasa, waktu yang masuk sudah tiba, terlihat seorang desen tengah berjalan menuju ruang kasnya. Tari dengan semangat menurun pun mau tidak mau harus mengikuti kelas mata kuliahnya.
Waktu berlalu sangat lama. Tari merasa bosan dengan materi pembelajaran yang begitu-begitu saja.
"Cit, bosen," bisiknya pada Cita.
"Sama, Tar, aku juga ngantuk."
Keduanya pun terpaksa menunggu hingga jam pulang berdentingi. Semua ilmu yang diajarkan pada jam terakhir tidak ada yang terserap di kepala. Ketika jam pulang yang menjadi pertanda kelas berakhir berbunyi, wajah keduanya terlihat sangat antusias.
"Yes, pulang!" Sorak Tari kegirangan.
"Baik anak-anak, mata kuliah hari inj Ibu akhiri, sampai jumpa di pertemuan yang akan datang. Selamat sore."
"Sore, Bu," jawab semua murid dengan kompak.
Setelahnya, dosen pun meninggalkan kelas dengan setumpuk berkas yang ada di tangannya.
Tari dan Cita nampak antusias membereskan buku-buku yang baru selesai digunakan. Keduanya langsung bangkit dan berjalan menuju luar. Tari sudah tidak sabar untuk segera mandi dan merebahkan punggungnya di kasur.
"Cita dijemput? Tumben gak bawa motor?" ujar Tari ketika Cita tak mampir di parkiran.
"Iya nih. Aku dijemput. Motornya lagi di pakai. Kamu sendiri ngapain keluar? Bukannya bareng Kak Rigi?"
Tari menepuk dahinya keras. Seketika mukanya panik dan tertekuk masam. "Astaga, aku lupa, Cit. Dia pasti udah nunggu. Aku ke parkiran dulu."
Dengan buru-buru, Tari pun pamit pada Cita. Ia terpaksa meninggalkan Cita sendirian di gerbang kampus.
"Hati-hati!" ucap Cita setengah berteriak.
Tari pun berlari menuju parkiran. Benar dugaannya, di sana sudah ada Rigi yang menangkring di atas jok motornya dengan ekspresi dingin.
Tari dengan takut-takut datang perlahan menghampiri Rigi yang terlihat bak singa kelaparan.
"Maaf, aku telat," ucapnya merasa bersalah.
"Telat dua puluh menit dari jam pulang."
Tari menghela napas berat. "Iya, maaf, aku lupa tadi."
Rigi merotasikan bola matanya malas. "Alasan yang klasik." Lalu kemudian meminta ponsel milik Tari dengan paksa. "Mana ponsel kamu?"
Rigi menodongkan tangannya di hadapan Tari, membuat gadis itu mengernyit bingung. "Buat apa?" tanyanya.
"Mau kasih nomor aku di dalamnya. Biar kalau kamu macam-macam aku bisa langsung hubungi kamu."
Tari menolak mentah-mentah keinginan Rigi. "Buat apa sih, Kak? Sikap Kak Rigi yang kayak gini malah bikin semuanya terbongkar. Kita kan udah sepakat buat hidup masing-masing, jadi buat apa Kak Rigi urus hidup aku? Aku udah bebasin Kakak buat pacaran sama Kak Viola, kurang apa lagi? Jangan usik hidup aku."
Rigi yang tetap kukuh dengan keputusannya, tidak akan mungkin menyerah begitu saja. "Mana ponsel kamu?"
Tari merasa ini semua tidak adil. Laki-laki itu saja bisa bebas, mengapa dirinya tidak? "Stop, Kak! Aku gak mau ngasih ponselku!"
Rigi yang kehilangan kesabaran pun akhirnya membentak Tari. "Jangan keras kepala. Kalau ada apa-apa sama kamu, aku juga yang disalahin Mama. Jangan buat kesabaran aku habis, Jingga Mentari!"
Dengan hati yang tidak iklas, Tari pun memberi ponselnya pada Rigi. Terlihat laki-laki itu tengah menuliskan deretan nomor di ponsel Tari. "Nih, kalau ada apa-apa, hubungi saya."
Tari memutar bola matanya malas. "Iya, iya. Tenang saja, aku pasti jaga diri baik-baik."
"Jaga diri apanya? Orang dideketin cowok mau-mau aja!" sindir Rigi.
Tari semakin geram dibuatnya. Ini sudah lebih dari melanggar privasinya. Rigi sudah ikut campur terlalu jauh dalam hidupnya. "Ada hak apa kamu larang-larang aku? Toh kita udah sepakat buat hidup masing-masing! Terserah aku dong, mau deket sama siapa aja? Masalah buat situ?"
Sindiran Rigi berhasil membangun sisi macan dalam diri Tari. Wanita itu menggenggam kesal.
"Sudah, buruan naik."
Bukannya merespon ucapan Tari, laki-laki itu malah mengalihkan pembicaraan. Kendati begitu, Tari tetap menurut. Meski dalam hatinya ia merasa dongkol atas sikap Rigi yang semena-mena padanya.
Tak kunjung merasakan rangkulan tangan Tari, Rigi mulai geram.
"Pegangan kayak tadi pagi," perintahnya tegas.
Tari menggerutu dalam hatimya. "Kalau nyuruh orang, main seenaknya! Untung anak Tante Mayang."
Tari pun melingkarkan tangannya di pinggang Rigi. Posisi duduknya menjadi agak condong ke depan.
"Buruan jalan," perintah Tari.
"Sabar."
Tari menggerutu. "Tadi minta cepat, sekarang disuruh sabar. Maunya apa?"
Tak lama, motor Rigi pun melaju meninggalkan parkiran.
Tepat di depan gerbang, Tari melihat Cita yang masih menunggu jemputan. Ia pun berinisiatif menyapa sahabatnya. "Cit, aku duluan ya?"
Cita yang menyadari keberadaan Tari pun menjawab, "Iya, Tar, hati-hati."
Cita tersenyum manis ke arah Tari. Masih tak melepas pelukannya dari Rigi. Rigi pun mengklakson motornya pada Cita, untuk menghormati perempuan itu.
Cita menganggukkan kepalanya sopan . "Hati-hati, Kak, titip temen aku."
Rigi mengacungkan jempol kirinya.
Saat ingin menyeberang, Viola beserta gengnya tidak sengaja melihat Tari sedang memeluk Rigi. Seketika, hatinya memanas dan memaksa Tari untuk turun.
"Turung kamu. Beraninya peluk-peluk pacar aku?"
Tari yang masih duduk di atas motor berusaha mempertahankan posisinya. Ia menepis tangan Viola yang berusaha memaksanya turun.
"Pacar kamu yang suruh," bantah Tari.
Rigi yang ada di atas motor berusaha melerai. "Viola, minggir! Aku mau nyebrang.
Viola yang dengan keras kepala malah berdiri di depan Rigi. "Gak! Aku akan terus berdiri di sini sampai cewek itu turun."
Rigi yang geram pun akhirnya meminta bantuan teman-temannya untuk menyingkirkan Viola.
"Woy bantu pegangin dong, gue mau lewat!"
Teman-teman Rigi yang solid, akhirnya menyeret tubuh Viola untuk minggir. Mereka tidak menghiraukan gerutuan gadis itu yang meminta dilepaskan. "Lepasin woy!"
Setelah berhasil menepikan Viola, Rigi pun dengan cepat menancap gasnya menuju rumah.
"Lain kali gak usah gini. Aku bisa pulang naik ojek!" Teriak Tari agak keras, agar Rigi bisa mendengarnya bicara.
"Gak usah banyak omong!" pungkas Rigi.
Tari mengerucutkan bibirnya. Gadis itu tampak kesal. "Daripada pacarmu ngamok! Aku juga yang kena. Capek dituduh pelakor!"
Masih Fokus menatap ke depan, Rigi menanggapi sekenanya. "Emang kamu ngerasa jadi pelakor? Kalau nggak ngerasa ya, diam saja."
Bukan jawaban seperti itu yang Tari inginkan. Mau heran, tapi ini Rigi. "Tau ah! Ngomong sama kamu bikin kesel!"
"Ngomong sama kamu bikin laper!" Rigi pun berhenti di tepi warteg langganannya.
Tari membelalak kaget setelah lelaki itu menyuruhnya turun. Ternyata laki-laki itu tidak gengsi untuk makan di tempat seperti ini. Tari menatap tak percaya pada lelaki itu. "Kamu yakin makan di sini?"
Ucap Tari setelah turun dari motor Rigi. Rigi sendiri tengah membuka helmnya yang menyangkut.
"Kenapa? Kamu pikir aku cowok gengsian?"
Tari sedikit takjub. Ternyata laki-laki itu cukup sederhana meski berasal dari keluarga berada.
Tari menggeleng lemah. "Enggak, cuman agak ragu."
Rigi turun dari motor dan mengajak Tari masuk ke dalam.
"Buk, lodeh satu porsi sama kelothok. Jangan lupa ikan asin."
Tari terbengong dengan apa yang Rigi pesan. Ia tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Kamu mau apa?" tanya Rigi.
Tari masih menatap Rigi tak percaya. Benar-benar makanan orang kampung sepertinya yang Rigi pesan.
"Kamu gak salah pesan itu? Kamu kan--"
"Apa? Anak orang kaya? Justru makanan desa seperti ini yang menghabiskan nasi. Kalau dah jadi istri, masakin ini ya? Bisa masak kan?"
Tari benar-benar dibuat kaget dengan sisi lain Rigi. Ternyata laki-laki itu tidak begitu menyebalkan kalau sudah begini.
Tari masih terbengong. Ia menatap Rigi penuh kagum.
"Kamu mau makan apa? Ada ayam, dadar, sama telur."
"Samain aja kayak punyamu. Tapi ditambah dadar jagung ya?"
Rigi pun mengangguk kemudian memesan makanannya dan Tari.
"Bu, makannya jadi dua porsi ya? Tambahin dadar jagung."
Ibu warteg pun mengangguk, "baik, ditunggu ya?"
Rigi mengajak Tari mencari tempat yang nyaman. Yang jelas, jauh dari keramaian orang.
Keduanya memilih tempat pojok yang bersih dan nyaman. Tari dan Rigi pun duduk di sana.
"Yang tadi siapa?" tanya Rigi membuka obrolan.
Tari yang tidak ngeh, mengernyit bingung. Alisnya bertaut satu sama lain. Ia tidak paham dengan yang Rigi maksud. "Hah? Siapa? Kak Wisnu?" tebak Tari.
Seketika wajah Rigi tertekuk masam. mendengar nama Wisnu disebut, entah mengapa Rigi mendadak tak suka. "Kalau dia, saya juga kenal. Wisnu seangkatan sama saya."
"Oh," Hanya itu satu kata yang lolos keluar dari bibir Tari, membuat Rigi mengerang kesal.
"Cuman oh doang? Gak ada kata lain gitu?" sindir Rigi.
Tari tersenyum kikuk. Ia bingung harus bagaimana. " Lagian, aku juga gak tahu yang Mas Rigi maksud."
"Plin-plan banget, di kampus manggil Kakak, di sini manggil Mas. Gak konsisten banget."
Tari menggerutu. "Ya, kan biar lebih sopan aja. Kan di kampus kita pura-pura gak kenal."
Rigi menghela napas. "Perempuan yang tadi."
Tari mengangguk paham. "Oh, maksudnya Cita? Dia teman aku. Teman segalanya lah. Kita udah temenan dari SMA. Suka duka aku dari dulu, dia juga tahu. Almarhumah nenek juga kenal sama Cita. Pokoknya dia besti aku banget. Kalau ada apa-apa aku pasti cerita sama dia."
Rigi menatap Tari serius. Tari yang ditatap seperti itu, mendadak salah tingkah. "Termasuk perjodohan kita, dia juga tahu?"
Tari mengangguk ragu. "Tau,"
Tari merunduk dalam, takut-takut jika Rigi marah.
"Kamu yakin dia bisa dipercaya?" tanya Rigi meyakinkan.
Tari mengangguk yakin, "percaya." ucapnya. Ia menjeda ucapan sejenak, lalu kembali melanjutkan, "Kalau kita batalin perjodohan ini, gimana?"
Rigi mendesah berat. "Kamu tahu sifat Mama. Beliau tidak bisa ditawar. Kalau keputusannya udah kekeh mana mungkin bisa ditawar."
Tari nampak sedih. " Terus gimana?"
Terima nasib!" pungkas Rigi.