Dua

2703 Words
"Gar, lo bawa nih cewek lagi?" Saat semua sudah berkumpul di parkiran, dan bersiap keluar dengan motornya masing masing, tatapan beberapa cowok yang biasa berkumpul bersama Garin – yang tentunya anak kelas dua belas – menatap  kearah boncengan motor Garin yang sudah ada Felisia. "Lagi lagi dia maksa ikut." Saut Garin malas menjelaskan, teman temannya hanya tertawa, Garin suka tidak berdaya menghadapi cewek rese menyebalkan ini. Tapi semuanya juga tau, Garin kesal setengah mati pada Felisia. "Kalian mau pada tawuran gak sih?" Tanya Felisia pada semua teman teman Garin yang sedang memasang helm dan bersiap untuk konvoi di jalanan. "Enggak lah, lagi gada perkara yang bisa diributin, Fel. Yah, sebenernya satu-satunya perkara cuma gara-gara setan di depan lo tuh.” Rangga menunjuk Garin dengan gerakan kepalanya. “Pengen cabut aja, dari pagi di kelas gue ulangan lisan, pelajaran terakhir malah penutupan matematika. Apa gak ngebul otak gue." Dicky, salah satu teman Garin, menjelaskan dengan begitu antusias pada Felisia yang bertanya. Beberapa teman Garin memang agak respect dengan Felisia, pasalnya, mereka pun takjub, karena ada cewek yang mampu membuat Garin kesal setengah mati sekaligus tidak sanggup membantah keinginan-keinginan anehnya. Rangga, Dicky, dan teman-teman Garin lainnya masih tidak habis pikir apa yang membuat Garin bisa emosi sekaligus sabar menghadapi Felisia, selain ucapan Garin yang mengatakan ‘daripada nih bocah ngoceh panjang lebar dan makin ngeribetin gue’. Mereka juga tidak tau apa yang membuat Felisa sepercaya diri itu bahwa Garin tidak akan berbuat kasar terhadapnya, yang tentu saja bisa Garin lakukan. "Noh, Gar. Gue yakin, kalo lo ada di kelas dua belas, gue yakin otak lo gak bakal nyampe." Cetus Felisia, dengan wajah yang di condongkan ke depan, kini wajahnya berada di atas bahu Garin. Teman teman Garin tertawa dengan ucapan Felisia yang kepalang jujur. Sedangkan Garin malah semakin emosi dengan keberadaan Felisia disana. Tangan kiri Garin yang tadinya sudah memegang stang motor mendorong kepala Felisia yang berada di atas pundaknya dengan agak kasar. "Jangan deket deket, nanti gue rabies!" Garin membalikannya dengan tak kalah pedas, sambil tangan kirinya mendorong Felisia ke belakang. "Udah yuk ah, cewek satu ini emang ngelamain." Garin pun menggas pcx-nya, dan mendahului teman temannya untuk keluar dari gerbang sekolahnya. Satpam yang menjaga disana tak bisa berbuat apa apa, ia sudah hafal dengan Garin. Baginya, Garin itu murid yang sudah tidak tertolong lagi. Tidak ada ancaman yang mempan untuk Garin, dua tahun tidak naik kelas saja sama sekali tidak menyesal. Lagipula sekolah ini tidak akan mengeluarkan muridnya, karena tipikal sekolah swasta kapitalis yang menganggap murid merupakan sumber keuangan sekolah. Motor Garin dan teman-temannya pun menyatu dengan kendaraan lain yang turut meramaikan jalan raya. Karena bukan jam sibuk, mereka tidak terjebak dalam kemacetan Ibu Kota yang luar biasa. Beberapa waktu kemudian gerombolan Garin tiba di tempat nongkrong mereka yang biasa, tempat yang menurut mereka cukup strategis, karena pertama, dekat dengan arena balapan liar. Kedua, banyak permainan hiburan yang tersedia disana, seperti tenis meja, kartu, dan lapangan futsal. Dan ketiga, tempat itu tempat nongkrong yang ramah kantong. "Aish, gak bosen apa kesini mulu." Gerutu Felisia ketika melihat kelilingnya, sudah berulang kali Felisia mengunjungi tempat ini setiap kali pergi dengan Garin. Garin memang kesal setengah mati pada Felisia, tapi Garin juga sering pergi bersama Felisia karena Felisia yang selalu memaksa. Sebenarnya, orang yang secara pribadi paling dekat dengan Garin itu adalah Felisia, teman-teman Garin pernah menarik kesimpulan dari beberapa fakta yang di dapatnya. "Bu, teh botol yaa." Garin berteriak pada seorang Ibu penjaga warung. Di tariknya salah satu bangku dari dalam meja, lalu ia terduduk disana, di ikuti dengan Felisia dan beberapa temannya yang kini jadi ngeriung kayak orang tahlilan. "Gar, besok ada pelajaran matematika. Lo udah ngerjain PR belom?" Felisia yang duduk di samping Garin menoleh, sambil membuka tas yang tadi di gembloknya. "Yaelah, Fel. Lo nanyain PR ke si Garin. Jam pelajaran gini aja dia cabut, kalo Garin ngerjain pr, gak mungkin gak naek ampe dua tahun kali." Rangga yang notebandnya salah satu teman Garin, termasuk orang yang sangat mengenal Garin, menjawab omongan Felisia. "Maen futsal yuk." Garin tidak menjawab pertanyaan Felisa, ia mengarahkan pandangannya pada lapangan futsal yang di petak-petakan terasa menggoda. "Gue gak ikutan ahh, lagi panas gini, nanti gue item gimana?" Dicky berkata dengan wajah innocentnya, yang segera mendapatkan pelototan menjijikan dari Garin. "Najis. Elo gak maen futsal aja udah item. Kenapa harus gue sih yang gak naek kelas, padahal yang bego itu elo! Tuh lapangan futsal jelas-jelas ada penutup atasnya, sinar matahari gak bakal masuk t***l!" Garin mengata-ngatai Dicky seenak jidatnya, melihat betapa sok imutnya sahabat karibnya itu. "Bodo ah gue gak mau ikut. Gue mau nemenin Felis aja disini. Ya gak, Fel?" Dicky menaikan sebelah alisnya, menatap Felisia dengan tatapan jail. Membuat Felisia menyemburkan tawanya yang terdengar begitu berisik. "Yaudah, si banci Dicky mah tinggal aja. Yuk ah." Garin berdiri memberi komando, di ikuti semua teman temannya, berjalan menuju lapangan futsal. Dan kali ini Felisia tidak mengikutinya. Tentu aja, yakali Felisia mau duduk di samping lapangan futsal kayak cabe cabean yang maen futsal. Mending disini ia duduk sambil makan makan. “Yang kalah bayar.” “Deal.” Lalu mereka pun segera berhamburan menuju lapangan futsal. "Lo beneran, Kak, gak ikut maen?" Felisia memandang Dicky yang kini sedang membuka kulit kacang yang tadi di belinya. Tubuh Dicky bersandar pada sandaran kursi ini, setengah kakinya terangkat keatas meja. Felisia sudah hafal bagaimana sikap Garin dan teman temannya yang gak ada baik baiknya ini. "Gue kesini kan mau nenangin otak, bukan bikin otak berkeringat." Felisia terkekeh pelan dengan ucapan Dicky. "Yakali otak juga ikut keringetan." "Kan lelah, Fel." "Lelah apaan? Lo kira waktu maen bola otaknya lari larian?" "Yee, otak kan tugasnya mikir. Kalo maen bola gue lelah mikir buat ngegocek gawang lawan tau." "Gitu yaa?" Felisia menatap Dicky ragu. Lalu sesaat kemudian tawanya menyembur. "Hahaha, Kak Dicky lucu, Kak Dicky lucu, ketawa ah, hahaha." Felisa tertawa seolah di paksakan, matanya benar benar geli melihat Dicky yang malah bengong. Jelas aja Dicky bengong, abis aneh banget cewek ini. Ketawa ketawa gak ikhlas sambil ngatain dia lucu. Kenapa gak bilang 'Kak Dicky imut, Kak Dicky imut' aja coba. Mungkin Dicky gak bakal bengong kayak gitu.   ***   Hari sudah semakin gelap, sedang Felisia masih menggunakan seragam putih abunya. Bukan hanya itu, ia juga masih berada di tempat tongkrongan Garin ini. Bukannya Felisia betah, tapi Garin gak mau nganterin Felisia pulang. Alhasil Felisia malah nantangin, gak bakal pulang kalo Garin gak mau nganter. Tapi gretakan Felisia ternyata tidak mempengaruhi Garin. Garin tak peduli, kini ia tengah asik bermain karambol dengan teman temannya. Tidak menggunakan uang, tapi coret coretan wajahnya dengan tepung karambol tersebut. Dan kini wajah Garin sudah tak berbentuk karena terlalu banyak coretan. Felisia melirik jam tangannya, sudah setengah sebelas, Felisia semakin kalang kabut, ia pun merengek pada Garin yang tengah terasik dengan permainannya. Belum lagi Mama Felisia sudah menelpon berkali kali, tentu saja khawatir karena anak perempuannya belum pulang. "Garin, anter gue pulang." Felisia merengek, tangannya mengguncang bahu Garin, menggerecokan Garin sedemikian rupa, yang penting Garin akan mengantarkannya pulang. "Gak ada yang ngajak lo ikut, pulang sendiri sono!" Garin menapik tangan Felisia yang terus menerus mengguncang bahunya, lalu ia pindah posisi, berusaha sejauh mungkin dari Felisia. Felisia kesal sendiri, ia tak mengejar Garin, ia malah menyambar tasnya dengan malas bercampur kesal. "Yaudah, gue balik sendiri!" Felisia berjalan dengan menyentakan kakinya ke tanah, nada bicaranya terdengar kesal, ia melewati beberapa teman teman Garin yang menatapnya begitu saja. Garin melirik kearah Felisia yang berjalan begitu kesal melalui ekor matanya. Garin menyunggingkan senyum tipisnya, akhirnya cewek meresahkan itu pulang juga. Tapi sedetik kemudian Garin melirik jam tangannya, setengah sebelas, apa ini tidak terlalu malam? Mungkin untuk ukuran Garin tidak, tapi yang Garin khawatirkan adalah Felisia yang berjalan sendirian disaat malam seperti ini. Biar bagaimanapun dia kan cewek, meskipun menyebalkan. Jalanan dari tempat ini ke jalan raya itu cukup sepi. Memikirkan hal itu, Garin segera berlari dan mencari cari kunci motornya. "Kunci motor lo mana, Ga?" Frustasi mencari kunci motornya sendiri, Garin malah meminta kunci motor Rangga. Sepertinya penyakit pikun sudah menggerogoti dirinya sampai ia lupa dimana menaruh kunci motornya sendiri. “Tadi di usir, tapi disusul juga. Udah gue duga si.” Rangga mengeluarkan kunci motor dari saku celananya, menyerahkannya pada Garin. Garin tak memperdulikan omongan Rangga, ia segera menyambar kunci motor Rangga dan menghampiri motornya yang di parkir di samping tempat ini. "Gar, muka lo masih penuh tepung noh." Dicky yang tengah asik bermain karambol mengingatkan Garin yang sudah menunggangi motor Rangga. Garin melirik kaca spion motor Rangga. Astaga, benar. Kini dirinya sudah seperti buah kesemek. Sebodolah, meski wajahnya tertutup tepung, toh kadar kegantengan Garin takkan berkurang. Pikirnya kepalang narsis. Jalanan tempat ini memang sedikit gelap, jika bukan karena penerangan lampu dari motor Rangga mungkin tempat ini akan gelap gulita. Memang, tempat tongkrongan Garin berada di pedalaman komplek yang sudah tidak terpakai, orang bilang tempat ini angker, nyatanya di dalam tempat ini ternyata tercipta suatu tempat huru hara remaja masa kini. Garin menajamkan matanya, mencari Felisia yang ia yakini belum berjalan jauh. Namun sudah separuh jalan Garin mengendarai motor Rangga ini, cewek aneh itu belum juga di temukan. Menyusahkan! Batin Garin kesal. Bodoh! Mengapa ia harus mengkhawatirkan cewek menyebalkan itu sih. Cittt… Garin menghentikan motor yang di kendarainya. Nafasnya memburu, seolah kelelahan karena terburu buru mencari Felisia. Kini Garin benar benar merutuki tindakan bodohnya ini. Apa yang harus di khawatirkan? Felisia kan cewek tangguh yang berani deket deket preman sekolah. Iya, Garin! Garin kan masuk kategori kepala preman di sekolah. Dan cuma Felisia satu satunya cewek yang gak di lirik sama sekali oleh Garin, tapi berani dekat dekat dengan Garin, bahkan sampai bisa mengendalikannya, buktinya Garin nurut aja kalo Felisia kepengen ikut dengannya, karena Garin udah bener bener pusing buat ngadepin sikap Felisia. *** Di tengah kegelapan suasana malam yang begitu mencekam, Felisia menghentikan langkahnya ketika ia mulai frustasi karena tak menemukan jalan. Di tatapnya keadaan sekelilingnya, ah sungguh, Felisia tidak tau kini ia berada dimana? Tempat ini begitu sepi dan tak bepenghuni, tak ada sumber cahaya selain dari bulan, untungnya Felisia tidak berpikiran tentang hal hal horor. Felisia mengeluarkan hape dari saku seragamnya, namun kesialannya ternyata belum berakhir, hape nya lowbet, tanpa sisa baterai sedikitpun, dan keadaannya kini sedang mati total. "Ah, sial!" Felisia mengerang dengan nada suara frustasi, sekelilingnya kini benar benar tak ada tanda tanda kehidupan. Lalu ia harus bertanya pada siapa? Huh, seandainya ada hantu yang lewat mungkin Felisia akan nekat bertanya pada hantu itu. "Haii, Neng." Felisia terkesiap, saat sebuah suara berat mengejutkannya dari belakang. Bohong juga jika ia berkata tidak takut hantu, karena Felisia sampai sekaget itu karena mengira itu adalah suara hantu. Felisia baru mulai bernafas dengan lega ketika melihat dua orang 'manusia' berbadan besar, berjenis kelamin laki laki, dengan tampang sangar, yang Felisia yakini adalah preman. "Eh Bang, kebeneran ketemu." Felisia memukul bahu salah satu preman itu dengan gaya sok akrab, membuat kedua preman itu menatap Felisia terkejut, karena Felisia sama sekali tidak ketakutan dengan kehadiran mereka. "Emang mau kemana, Neng?" Si preman yang satu lagi mulai bertanya. "Mau pulang tapi gak tau jalan." "Mau di anter gak?" Felisia tak langsung menjawab, ia melihat ke samping preman tersebut, mereka tak membawa apapun. "Nganter pake apa? Abang abang aja pada jalan kaki." Felisia tetap menjawab dengan santai. "Wah si eneng ternyata cimot yaa, cintanya sama motor." "Ih si abang sok tau deh, masih jaman maenan motor. Yang kerenan dikit dong, Bang. Saya mah maunya sama ferari, lamborgini, benz, everest, bmw gitu." "Widih, matre juga si eneng. Gocap mau gak gocap." "Gocap? Di sangka saya cabe gocapan." Felisia masih berceloteh dengan gaya santainya, membuat kedua preman itu tersenyum karena tingkah Felisia. "Yaelah, Neng, daripada cabe gocengan." "Sayangnya kan saya bukan cabe bang, orang nih." Kedua preman itu tertawa mendengar ucapan Felisia. Anak SMA ini benar benar tidak takut dengan mereka berdua. Padahal kedua preman ini memakai pakaian yang compang camping dan robek disana sini, tapi sikap Felisia malah bersahabat seperti itu. "Bang, kasih unjuk dong jalannya kemana?" Felisia celingukan seraya kebingungan mencari jalan. Niat jahat kedua preman tersebut surut setelah melihat sikap Felisia yang seperti ini, Felisia bukan target yang tepat, terkadang orang yang tenang pun ngamuknya akan berbahaya, makanya preman ini tak berani. Brumm.. Tak lama kemudian ada sebuah motor yang melintas di dekat mereka, dan berhenti tepat di sebelah Felisia. Felisia tersenyum saat melihat siapa orang yang mengendarainya. Sudah di duga, Garin memang takkan membiarkannya pulang sendirian. "Lo gak papa?" Tanya Garin cepat, matanya menatap tajam cewek di hadapannya ini. Memperhatikan Felisia dengan detail, takut terjadi apa apa. "Akhirnya pahlawan gue dateng.." Felisia berseru girang. "Sayangnya pahlawan kesiangan. Ngapain nyusul gue hah? Lo bilang gak mau nganterin." Bentak Felisia. Dua orang preman itu, malah kini seolah menyaksikan drama remaja secara live. Tanpa ada niatan untuk pergi, atau bertindak sama sekali. Mereka hanya menonton. Menyaksikan dengan seksama. "Kalo lo gak mau di anter, gue bisa pergi lagi." Garin menyahut cuek, tangannya sudah siap menggas motor Rangga untuk kembali ke tempatnya. Felisia menarik kerah belakang jaket yang Garin kenakan seperti menggondol anak kucing. "Gak bisa gitu. Lo udah terlanjur kesini, dan mubazir kalo gak nganterin gue." Felisia naik ke boncengan Garin. "Udah cepet jalan, siap siap di omelin nyokap gue yaa. Karena lo udah bawa anak gadisnya pulang semalem ini." Felisia menepuk pelan bahu Garin seraya menyuruh Garin menjalankan motornya. "Cih, elo yang ngikutin gue tau!" Garin menggas motor Rangga, kemudian motor itupun melesat pergi. Felisia yang berada di boncengan menoleh ke belakang, dimana ada dua preman itu masih diam disana. "Bang, duluan yaa.." Felisia melambai sambil tersenyum manis yang bersahabat. Di balas lambaian tangan kedua preman itu pula. Tidak habis pikir, mengapa bisa dua preman ini mengurungkan niat jahatnya pada Felisia. Garin yang mengendarai motor, dan berada di depan Felisia tentunya. Menoleh sekilas ke belakang, tak habis pikir dengan yang terjadi. Preman tadi tampak menyeramkan, bagaimana bisa Felisia malah terlihat akrab? "Kenapa? Bingung yaa ngeliat mereka akrab sama gue?" Felisia yang mengerti arti tolehan Garin, Felisia terkekeh kecil. "Preman sekolah aja berani gue deketin, gak beda jauh sama mereka." Jelas Felisia santai. Di depan Garin tak menjawab, cewek ini, benar benar selalu aneh kelakuannya. Batin Garin.   *** Felisia berkacak pinggang di ambang pintu kelasnya, matanya memperhatikan Garin yang pagi pagi buta, sudah membawa anak orang ke kelas. Felisia tau cewek itu adalah kakak kelasnya, karena di kantin Felisia sering melihatnya berkumpul dengan anak-anak kelas sebelas. "Permisi Kakak, yang punya tempat duduk udah dateng nih." Kata Felisia kalem, dengan berdiri di samping mejanya, dan tersenyum lebar pada kakak kelasnya ini. "Biang kerok udah dateng, kita ke kantin aja, Feb." Garin berdiri, menarik lembut tangan Feby, ekor matanya memandang tidak senang karena kedatangan Felisia. "Eh gue ikut dong. Gue belom sarapan nih gara gara semalem kita pulangnya kemaleman. Gue kesiangan kan, lain kali kalo kita pergi lagi, gue yang bakal pegang kunci motor lo." "Apalagi sih, bocah?" Garin maju selangkah, dan kini posisinya berada di hadapan Felisia. Garin menunduk untuk memandang cewek ini. "Feb, kamu ke kelas aja. Nanti istirahat aku kesana." Garin mengalihkan wajahnya sejenak pada Feby yang tampak terkejut dengan sikap Garin dan Felisia. "Oh, em, iya.." Feby sedikit tergagap, lalu kemudian berjalan pergi meninggalkan kelas ini. Pandangan Garin kembali beralih pada Felisia. Matanya menatap tajam cewek yang sudah masuk terlalu jauh ke dalam hidupnya, dengan pengaruh yang hanya dapat merusak dan mengacak acak perjalanan hidupnya. Felisia balas menatap Garin dengan pandangan menantang, sama sekali tidak ada rasa takut meski padahal, hampir satu sekolahan, takut pada Garin. "Makin lama, lo makin betingkah, hm?" Garin memiringkan kepalanya, menyunggingkan senyuman yang tidak mencapai matanya, terlihat mengerikan, bagai psikopat gila yang akan menerjang mangsanya. "Sejauh ini, lo belom pernah gue apa apain kan? Tapi sikap lo minta di apa apain sama gue, jadi, udah siap gue apa apain?" Garin semakin menunduk dengan tatapan yang lebih tajam, senyuman mengerikan itu tak lepas dari bibirnya. "Coba aja kalo berani." Tanpa ada ketakutan Felisia malah menatap balik Garin dengan menantang, ia mengangkat dagunya tinggi tinggi, seolah tak menampakan ketakutan sedikitpun. Garin menyunggingkan senyum tipisnya kembali, cewek ini emang gak ada takutnya biar udah di gretak gitu. Ngeliat tekad baja yang begitu kuat di mata Felisia, seolah Garin takkan tega melakukan apapun padanya. Garin maju selangkah lagi. Jarak mereka kini semakin dekat. Ujung sepatu Garin sudah menyentuh ujung sepatu Felisia.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD