Pergi

2092 Words
Berjam-jam Nathan berkeliling di sepanjang resort. Mencari ke sana sini, bahkan sampai ke pesisir pantai. Tapi Bianca yang ia cari dari pagi sampai matahari berada lurus dengan jarum jam, nyatanya wanita itu tak dapat ia temukan. Sekali lagi Bianca menghilang bagaikan ditelan bumi, tak ada jejak yang ditinggalkan. membuat Nathan kesulitan mencari. Bahkan di pulau terpencil saja Nathan kesulitan menemukan Bianca, walau hanya butuh setengah hari untuk berkeliling resort. Tapi tetap saja hasilnya nihil, tak seorang pun yang ia temui melihat Bianca. Nathan mengusap kasar wajahnya, frustrasi. Atau semua yang terjadi pagi ini hanyalah ilusi? Mimpi? Atau sekadar khayalannya saja? Nathan terduduk lemas di sebuah bale dekat pantai. Tiba-tiba pikirannya berkecamuk ketika pertanyaan-pertanyaan muncul mengusik batinnya. Nathan berusaha mengingat kembali kilas kejadian sejak ia melangkahkan kaki di pulau ini sampai kejadian pagi tadi. Nathan mengingat dengan jelas semuanya, dari awal ia datang kemari menumpangi yatch yang khusus ia sewa untuk perjalanan ke pulau ini. Ia mendarat menjelang petang, mengobrol dengan seseorang yang bertanggung jawab di proyek resort ini untuk mengutarakan maksud kedatangannya. Diskusi alot terjadi, tapi akhirnya ia diberi waktu dua hari untuk menuntaskan tujuannya kemari. Namun Tuhan begitu baik padanya, tak perlu susah mencari ke sekeliling pulau ini Nathan langsung menemukan tujuan yang ia cari-cari selama ini. Berawal dari niat Nathan untuk mencari udara segar setelah diskusi alot yang menguras tenaga dan pikiran, ia justru dipertemukan dengan seseorang yang sedang meracau di tepian pantai dan orang tersebut adalah Bianca. Semua berjalan begitu cepat, sampai ingatannya berakhir ketika pagi harinya Nathan terbangun oleh pergerakan Bianca yang berniat beranjak dari atas ranjang. Tak ingin kehilangan Bianca lagi, Nathan lantas memeluk erat wanita itu. Tapi siapa kira jika respon wanita itu ternyata di luar ekspetasi, bukan sambutan yang Bianca beri melainkan penolakan secara terang-terangan. Nathan tersenyum getir, mengingat bagaimana Bianca menatapnya, bagaimana wanita itu berucap dan bagaimana ia ditinggalkan untuk kedua kalinya. Nathan pikir kejadian momen indah semalam yang mereka lalui dengan penuh gairah, akan jadi pembukaan awal yang bagus untuk hubungan mereka kedepannya. Tapi Nathan salah, momen tersebut justru jadi puncak dari kehancuran hubungan mereka yang mungkin tidak akan pernah terselamatkan. "Kamu di mana, Bi?" Nathan memandangi foto Bianca yang ia jadikan wallpaper ponselnya. Foto Bianca saat melakukan pemotretan di tepi pantai sebagai model untuk brand pakaian milik papanya. "Kenapa kamu milih pergi lagi Bi? Kenapa kamu nggak jelaskan sesuatu, paling nggak kasih aku alasan jelas kenapa kamu nolak aku." Nathan hanya bisa meratapi kepergian Bianca, bersedih untuk kesekian kali dan semakin terpuruk dalam perasaan yang terluka parah. Hingga dorongan kuat dalam dirinya memaksa Nathan untuk bangkit lagi. Ini belum berakhir, semasih ia mampu bernapas, semasih kakinya bisa berjalan dan rasa cinta yang tak pernah surut. Maka tak seharusnya Nathan menyerah begitu saja. Belum terlambat, masih ada kesempatan untuk berjuang. Hanya perlu sedikit kesabaran dan ekstra tenaga untuk memperjuangkan cinta Bianca. Nathan memotivasi diri sendiri, menyugesti untuk kembali bangkit. "Benar, aku nggak boleh nyerah. Aku harus cari Bianca, bahkan kalau harus mencarinya ke ujung dunia, aku sanggup, harus!" Tekad Nathan kembali bulat, semangatnya membara berapi-api. Dengan langkah cepat Nathan berlarian kembali ke kamar Bianca. Di setiap langkahnya, Nathan terus berdoa, berharap Bianca ada di kamarnya. Harapannya belum pupus, ia masih percaya kalau wanita itu tidak akan pergi jauh darinya. Namun sesampainya di kamar itu lagi, Nathan terpaksa menelan kekecewaan saat mendapati kamar itu telah kosong. Kamar yang ia tinggalkan dalam keadaan berantakan, kini sudah dirapikan. Nathan terdiam, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Tak ada satu pun barang yang menunjukkan bahwa Bianca masih menempati kamar ini. Tak ingin tenggelam dalam spekulasinya sendiri, Nathan pun bergegas menuju lemari yang ada di sudut ruangan. Ia harus memastikan bahwa spekulasinya tidak benar. Dalam hatinya masih berharap jika Bianca masih menempati kamar ini. Tapi kenyataan kembali menenggelamkan dirinya dalam lautan kecewa. Lemari tersebut kosong, tak ada satu pun pakaian atau selembar kain yang tertinggal. Seolah kamar ini memang tidak berpenghuni sejak awal. "Enggak." Nathan menggeleng dramatis, menyangkal pikirannya yang mengatakan kalau semua yang terjadi tadi hanyalah ilusi sesatnya. "Enggak mungkin." Keyakinan Nathan begitu kuat, ia tetap menyangkal semua yang muncul dalam pikirannya. Nathan tetap percaya bahwa yang ia lihat semalam sampai pagi ini bukanlah ilusi, apalagi mimpi. Itu benar-benar nyata, itu Bianca. Nathan tidak bisa menerima kenyataan ini. Ia tidak bisa kehilangan Bianca untuk kedua kalinya. Bahkan jika itu memang benar hanya khayalan semu, Nathan tetap tak ingin kehilangan. Ia tidak bisa makin terpuruk, larut dalam penyesalan dan putus asa tanpa Bianca. Nathan lantas merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel dan mencari nomor seseorang di kontak. Ia segera menghubungi nomor orang tersebut. "Halo." Orang di seberang sana langsung mengangkat panggilan Nathan. "Please, jujur sama aku, di mana Bianca?" sergah Nathan tanpa basa-basi. Ia tahu kalau orang tersebut sebenarnya tahu di mana Bianca. "Apaan sih, telepon-telepon langsung nanyain di mana Bianca. Harus berapa kali aku bilang ke kamu, aku nggak tahu Nathan, aku nggak tahu di mana Bianca. Kalau aku tahu, aku pasti akan kasih tahu kamu————" "Bohong!" tukas Nathan, menyela dengan cepat ucapan orang di telepon. "Aku tahu, kamu selama ini yang sembunyikan Bianca di pulau ini 'kan? Jawab San. Kamu sengaja sembunyikan Bianca di pulau terpencil ini 'kan?" Ya, orang yang ditelepon Nathan memang Sandra. Seseorang yang berpotensi besar jadi dalang dari pelarian Bianca. "Ma-maksud kamu?" Suara Sandra terdengar kaget, meski wanita itu mencoba menutup-nutupinya. "Aku enggak ngerti deh, Nathan. Kamu ngomong apa sih———" "Resort milik Bara. Kamu sembunyikan Bianca di sini 'kan?" Nathan mencengkram erat ponselnya, tak bisa bersabar lagi. "Jawab!" Pembawaannya yang selalu tenang, kini berteriak lantang pada Sandra untuk pertama kalinya. "Nathan, jangan bilang kamu sekarang di sana?" Dapat dipastikan kalau Sandra sangat terkejut, terdengar bagaimana wanita itu begitu panik mengetahui Nathan menyebutkan resort yang emang dijadikan tempat persembunyian oleh Bianca selama ini. "Cepat katakan, ke mana sekarang kamu membawa Bianca. San, please, aku udah jauh-jauh datang ke sini buat ketemu Bianca. Tapi sekarang dia malah pergi ... kumohon, beritahu aku di mana Bianca. Aku nggak bisa kehilangan Bianca buat yang kedua kalinya," ujar Nathan, benar-benar memohon dengan sangat pada Sandra. "Tunggu-tunggu, maksud kamu apa dengan kehilangan buat yang kedua kalinya?" Nathan tersadar akan sesuatu, melirik ponsel yang masih ia pegang di dekat telinga. "Jadi kamu tidak tahu ke mana Bianca pergi sekarang?" tanya Nathan. Walau ia ragu Sandra akan menjawab jujur pertanyaannya. Secara sebelumnya Sandra sudah berbohong padanya dengan mengatakan kalau wanita itu tidak tahu di mana Bianca berada. Tapi kenyataannya Sandralah yang selama ini membantu pelarian Bianca. Harusnya Nathan sudah menduga dari awal, pantas saja susah terlacak. Ternyata ini semua karena Sandra yang ada di balik semuanya. "Nathan jawab aku. Maksud kamu bilang Bianca pergi apa? Apa Bianca tidak ada di sana?" Nathan menghela napas panjang, ia sudah bertanya pada orang yang salah. Sepertinya kali ini Sandra tidak tahu akan kepergian Bianca. Lalu siapa yang membantu Bianca kabur kali ini? "Nathan, jawab aku!" Sandra tampaknya panik mengetahui Bianca tidak ada di resort. Ia terus mencecar Nathan, tapi laki-laki itu enggan menjawab. Nathan malah mengakhiri panggilan telepon Bianca. "s**t!" Bianca spontan mengumpat. Leon yang baru saja keluar dari kamar mandi pun langsung menoleh padanya. "Ada apa sayang?" tanyanya khawatir, berjalan menghampiri Sandra yang tengah berdiri di depan jendela. Sandra menoleh pada Leon. "Enggak apa-apa." Sandra menggeleng, memasang senyum manis. "Tapi kamu barusan mengumpat, ada apa? Cerita sama aku." Leon menarik kedua bahu Sandra agar menghadap dirinya. "Ingat loh, kamu sekarang lagi hamil. Nggak boleh banyak pikiran, apalagi marah-marah sampai ngumpat segala. Nggak baik buat kandungan kamu. Jadi sekarang katakan, bagikan keluh kesah kamu ke aku. Aku siap dengerin," ujar Leon. Sandra menelan ludah, ragu. Tapi sepertinya ini saat yang tepat untuk memberitahu Leon. "Sayang, kamu nggak akan marah tapi kan kalau aku cerita?" Leon menaikkan satu alisnya. "Marah? Buat apa aku marah, kan kamu tahu kalau aku enggak bisa marah sama istriku yang cantik ini." Leon mencubit gemas pipi chubby Sandra. Biasanya Sandra akan tersenyum geli atau menjerit-jerit saat pipinya dicubit Leon. Tapi kali ini ia tak ada waktu untuk melakukan hal tersebut. Leon pun menyadari akan perubahan sikap Sandra yang tidak seperti biasanya. "Sayang ...." "Leon, sebenarnya aku punya rahasia." Akhirnya Sandra dengan lantang mengatakannya pada Leon. "Rahasia?" Leon mengernyit, tak paham. Bianca mengangguk. "Rahasia yang enggak kamu tahu selama ini." "Apa?" Leon terkejut, tak menyangka jika istrinya menyimpan sebuah rahasia darinya. "Tapi rahasia apa?" "Soal Bianca," tutur Sandra. "Bianca? Maksud kamu?" Leon terperangah, lalu ekspresinya seketika berubah. "Jangan bilang kamu ...." "Iya, aku yang selama ini bantu Bianca buat kabur dari Jakarta. Aku juga yang sediain tempat buat Bianca sembunyi. Tapi itu semua nggak penting, sekarang yang terpenting ... Bianca nggak ada lagi di sana," ujar Sandra panik. "Hah?" Leon makin syok dibuatnya. "Leon, pokoknya sekarang juga kita harus ke sana. Aku harus mastiin sendiri keadaan Bianca." "Tapi sayang, kamu kan lagi hamil. Sebaiknya biar aku saja———" "Enggak, aku. Harus aku. Karena ini tanggung jawab aku. Please, jangan larang aku Leon. Ingat, aku berutang nyawa pada Bianca, jadi segala sesuatu yang berkaitan dengan wanita itu sudah menjadi tanggung jawab aku." Sandra tetap kekeh dengan keputusannya. "Baiklah. Aku telepon Bara sekarang buat pinjam pesawat pribadinya. Kamu tenangin diri dulu, biar semuanya aku yang atur." Bianca mengangguk setuju, membiarkan Leon mengurus semuanya. Tapi Sandra tidak bisa berdiam diri. Ia lantas menghubungi nomor Bianca, sayangnya nomor itu tidak aktif. Berkali-kali Sandra menghubungi hasilnya tetap sama, hanya suara operator yang menyambutnya. Kemudian Sandra berinisiatif untuk mencoba mengirimi pesan pada Bianca, berharap Bianca akan membacanya. To Bianca. Kamu di mana, Bi? Are you okay? Please, kabari aku secepatnya. Hari ini juga aku terbang ke sana. ————— Hodie navy, celana jeans bewarna senada, dipadu masker, topi dan kacamata bewarna hitam. Bianca duduk tertunduk di sebuah kursi tunggu bandara. Berkali-kali ia mengintip dari balik kacamata hitamnya, memandangi satu per satu orang-orang yang hilir mudik di sekitarnya. Ia tampak gelisah, memastikan tidak ada orang yang akan mengenali dirinya. "Ada apa?" Suara berat dari samping menginterupsi Bianca. Bianca langsung mendongak, kaget. Tapi kemudian bernapas lega saat melihat siapa yang berdiri di sampingnya, tenyata Adam. Laki-laki itu mengulurkan tiket padanya. "Aku sudah pesan tiket ke Jogja. Di sana akan ada orang yang menjemputmu di bandara. Tenang saja, dia orang kepercayaanku dan tidak ada hubungannya dengan Bara, Gita maupun Sandra. Jadi kamu nggak perlu mengkhawatirkan apa pun," ujar Nathan, lalu duduk di samping Bianca. "Dan ini," Ia menyodorkan kartu debit pada Bianca, "Untuk mencukupi semua kebutuhan kamu selama di sana." Bianca menerima tiketnya tapi tidak dengan kartu debit yang disodorkan oleh Adam. "Nggak perlu. Kamu mau repot-repot carikan tempat tinggal buat aku aja sudah lebih dari cukup. Aku nggak mau banyak berutang———" Bianca tercekat saat Adam menarik paksa tangannya dan menggenggamkan kartu tersebut. "Dam." Ia ingin protes, tapi Adam mendahului. "Ini bukan utang, aku ikhlas bantu kamu. Jadi aku harap kamu enggak nolak. Kamu di sana sendirian Bi, gimana aku bakal tenang kalau kamu di sana tanpa megang uang sepeser pun," ujar Adam, cukup masuk akal memang. "Tapi aku punya sendiri, pemberian Sandra yang belum pernah aku gunakan," kata Bianca, tetap tidak mau menerima kartu milik Adam dan mengembalikannya. "Lalu bagaimana jika kartunya diblokir?" sergah Adam, tak mengerti kenapa Bianca menolak pemberiannya. Bianca tersenyum tipis. "Itu tidak mungkin. Sandra tidak akan melakukan itu," tuturnya yakin. Tapi tidak dengan Adam. "Tapi tidak menutup kemungkinan dia akan melakukannya. Ingat Bi, kamu pergi tanpa kasih kabar sama dia. Bisa aja dia kecewa sama kamu dan melakukan hal itu." Bianca terdiam, merasa ada benarnya ucapan Adam. Adam sendiri mengembuskan napas kasar, tak habis pikir sama Bianca. Tapi ia juga tak menyerah begitu saja. "Buat jaga-jaga," Adam menarik tangan Bianca lagi, memaksa wanita itu menerimanya, "Kamu bebas mau gunakan atau tidak. Tapi seenggaknya buat aku di sini tenang, bawa kartu itu, atau aku akan memberitahu Sandra soal kepergian kamu." Bianca menghela napas panjang, lalu menyetujui untuk membawa kartu yang Adam berikan. "Baiklah, aku akan membawanya. Makasih ya, aku sangat berutang budi padamu, Dam. Bagaimana aku akan membalas kebaikanmu?" Bianca memaksakan diri untuk tersenyum di balik maskernya. "Tapi aku janji Dam, saat aku sudah bekerja nanti, aku pasti akan membayar semuanya." "Tidak perlu. Aku tidak butuh uangmu, Bi. Yang kubutuhkan itu kamu," jawab Adam, tapi tak mampu ia realisasikan. Ia pun menjawabnya dengan kalimat lain. "Enggak usah dipikirkan, cukup jaga diri kamu di sana. Itu sudah lebih dari cukup untuk mengganti semuanya." Bianca terharu mendengar penuturan Adam, senyumnya makin lebar. Dalam hati ia bersyukur karena Tuhan masih menghadirkan laki-laki sebaik Adam. Makasih Dam, aku nggak akan lupain semua kebaikan kamu. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD