Chapter 3

1029 Words
Langkah kaki akan selalu di tinggalkan. Dan mulai membuat langkah kaki baru. Begitupun dengan perasaan. Masa lalu seharusnya di buang. Masa depanlah yang harusnya di pertahankan. *** Shinta sedang berada di dapur bersama berbagai sayuran dan beberapa ikan yang sedang di olah menjadi suatu makanan yang nikmat untuk di santap di jam makan malam nanti. Di rumah ini cukup sepi, tidak seperti di kediaman megah Aldrian yang penuh canda dari anak-anak. Di sini hanya berpenghuni dua orang saja. Ibu Rima dan juga Raka, tidak ada anggota keluarga lain, mengingat Ibu Rima adalah seorang wanita yang berstatus single parent. Jam menunjuk angka tujuh malam, tetapi masih tidak ada tanda-tanda sang penghuni rumah pulang. Memang apa yang di katakan Aldrian cukup benar, kalau tidak ada pembantu mungkin rumah megah ini akan menjadi rongsokan tua nan usang, kenyataannya waktu pemilik rumah terkuras habis oleh segudang pekerjaan di perusahaan dan area butik mereka masing-masing. Dan dengan adanya Shinta, mungkin sedikit membantu beban Ibu Rima untuk mengurusi rumah. Shinta masih fokus dengan pekerjaannya, itu sebelum sebuah tangan kekar melingkar mesra di area perutnya yang mampu membuat Shinta memekik kaget. "Oh, Tuhan, kau mengagetkan aku," kaget Shinta dan mulai mencoba melepaskan. Laki-laki itu terkekeh geli, semakin mengeratkan pelukannya dan mulai menaruh dagu runcingnya di pundak sempit Shinta. "Kau melamun sedari tadi. Jadi bukan salahku kalau akhirnya kau terkejut," ucapnya santai, dan Shinta mendengus karena itu. "Lepaskan! Aku sedang memasak." "Memasak saja aku tidak akan mengganggumu." Shinta menggeram kesal. "Asal kau tau Tuan Raka yang terhormat. Dengan memeluk tubuhku seperti ini kau sudah mengganggu acara memasakku," ucap Shinta dengan nada tajam. Tetapi mungkin Raka tidak terlalu peduli. Lebih tepatnya tidak mau peduli, hingga tangan itu semakin mengerat dengan wajah yang semakin menelusup di leher Shinta. "Aku hanya mencoba memanfaatkan waktu saja sebelum Ibuku pulang dan memergoki kita di sini. Bisa-bisa kita langsung di nikahkan kalau ketahuan. Apa kau ingin seperti itu?" "Mungkin lebih baik seperti itu, tidak akan menjadi dosa karena sudah halal." Raka tertawa, "Sepertinya kau ngebet sekali ingin menikah denganku," ucap Raka dengan suara yang nyaris membuat jantung Shinta terlonjak kegirangan. Wajah Shinta tiba-tiba memerah, kembali fokus ke arah masakan dan tidak berniat meladeni keusilan kekasihnya lagi. "Mandilah. Sebentar lagi Nyonya pulang," ucap Shinta mencoba membuat Raka agar menyingkir dari tubuhnya. Tetapi Raka malah semakin menempel dan sedikit mengecupi daun telinga Shinta hingga membuat bulu tengkuk Shinta meremang. "Mau menemaniku mandi?" Lalu detik selanjutnya suara Raka terdengar kembali dengan ringisan sakit saat Shinta dengan tanpa hati nurani menginjak kaki kanan Raka dengan sangat keras bersama gerutuan cantiknya. "Dalam mimpimu!" *** Sebenarnya apa yang sedang di cari Raka selama ini. Obat penyembuh atau malah sebuah racun yang siap membuat mati para pemakainya. Keusilan, canda tawa, ucapan cinta, itu semua hanya tak ubah dari sebuah kebohongan sempurna yang keluar dari bibir manisnya. Hati terdalam Raka masih lantang merapalkan nama wanita itu dengan sangat jelas, dengan artian Raka masih tidak bisa sembuh sampai sekarang. Apa lagi ketika mendapati fakta bahwa wanita itu akan kembali, membuat jantung Raka semakin merintih ingin ikut kembali. Raka menaruh ponselnya setelah mengetik beberapa pesan laknat yang mampu membuat sudut bibirnya melengkungkan senyuman tampan. Ya, sebut saja Raka seorang pria bodoh, yang rela merangkak kembali kepada kesakitannya dulu. Menurut Raka ini yang di tunggunya selama ini, dan haruskah ia menolak? Tentu tidak, kan. Dan mungkin itu akan menjadi awal kehancuran untuk cinta masa depannya. Raka tidak peduli, mungkin Raka cukup akui bahwa ia memang tertarik pada gadis manis yang menjadi maidnya, tanpa di ketahui bahwa cinta itupun sudah ada namun masih tertutup dengan kenangan masa lalunya. Di mimpi Raka saat ini hanya ada suara wanita itu, senyum cantik wanita itu. Dan Raka tidak berniat bangun untuk saat ini. Walau raga dan statusnya milik Shinta. Tetapi tidak dengan cintanya, tetap masih milik wanita dari masa lalunya. *** Mereka sudah berada di meja makan dan siap untuk menyantap makanan lezat yang tersusun rapi di atas meja, itu sebelum suara lembut Ibu Raka bersuara, ketika melihat Shinta keluar dari pintu dapur. "Shinta, sini makan bersama." Terlihat Shinta menggeleng canggung, "Tidak Nyonya saya makan di dapur saja nanti," ucap Shinta bernada sopan, dan Raka hanya terdiam, mungkin sedang berpura-pura tidak mengenal atau memang tidak peduli. Ibu Rima kemudian bangkit dan menarik Shinta untuk duduk di kursi makan, dan begitu pas sekali ketika tubuh mereka nyatanya malah saling berhadapan. "Jangan seperti itu, lebih baik makan rame-rame biar enak." Ibu Rima tersenyum kecil. Shinta hanya bisa menunduk canggung, terlebih tatapan Raka saat ini sedang mengarah tepat ke arahnya. Raka mulai mengambil piring dan hendak mengambil nasi, namun itu dihentikan oleh Ibunya sendiri. "Jangan dulu makan, ada seseorang lagi yang akan ikut makan." Kening Raka berkerut pertanda tidak mengerti, "Maksud Mama?" tanya Raka. Siapa yang akan ikut makan? Mang Kardi satpam rumahnya atau Gerlan supir pribadi Ibunya. Raka masih dengan pemikiran abstraknya dan Shinta masih dengan tundukannya. Dan wanita paruh baya yang masih dengan senyum misteriusnya. "Nanti kamu akan tau sendiri." Kening Raka tambah berkerut, lalu mendesah kesal. "Biarkan teman Mama menyusul nanti, aku lapar sekarang, dan butuh makan," ucap Raka, bagaimanapun perutnya sudah keroncongan sedari tadi. "Mungkin nanti kamu tidak akan sanggup makan ketika tamu itu tiba di sini. Sebentar lagi dia datang." Lalu Ibu Rima melirik Shinta dan berucap, "Maaf juga harus membuatmu menunggu," Dengan raut tidak enak. Shinta hanya tersenyum maklum. "Tidak apa-apa Nyonya. Tapi saya mungkin lebih baik tidak ikut makan di sini," ucap Shinta mulai ragu. Siapa dia? Tidak pantas sekali bila harus ikut makan bersama dengan majikannya. Tetapi Nyonya itu nyatanya menggeleng tegas. Tidak setuju dengan apa yang Shinta ucapkan. "Tidak. Makan di sini saja. Nanti kamu akan lihat wajah anak saya saat terkaget seperti apa." Lalu tertawa. Dan Raka hanya mendengus. Apa yang di maksudkan Ibunya? Lalu tidak selang berapa lama terdengar ketukan sepatu heels yang menggema di ruangan yang sialnya Raka sangat kenali, semakin terdengar jelas dan tepat berhenti di belakang tubuh Raka yang menegang, lalu suara anggun itu terdengar, mampu membuat seorang Raka tersedak begitu saja tanpa sadar. "Selamat malam Ma. Maaf terlambat, jalanan terlalu macet." Suara itu? Jantung Raka tiba-tiba berdetak cepat, kepalanya ingin menoleh tetapi urat lehernya terlalu kaku untuk di gerakan. Lalu saat ada tangan putih ramping yang melilit lehernya tiba-tiba bersama bisikan kata, "I miss you." Saat itulah Raka tidak punya keberanian untuk bernapas lagi. 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD