BAB 1 Permintaan Yang Tak Bisa Kutolak

1040 Words
Sebelum membaca, mohon kerelaannya untuk menekan tombol love agar saya bisa terus melanjutkan cerita ini. Terimakasih banyak? Bab 1 Permintaan yang tak bisa kutolak Entah sudah berapa lama tubuh ini terlelap karena kantuk yang begitu mendera, sampai sebuah tangan kekar terasa melingkari pinggangku. Wajah Mas Aditya tampak murung dalam keremangan lampu tidur yang sengaja kunyalakan. Sekilas kulirik jam di dinding kamar, hampir pukul 1 dini hari. "Maaf aku ketiduran, Mas. Rasanya tidak bisa lagi kutahan," ujarku langsung bangkit dari tidurku karena merasa tak enak hati. Hampir tiga malam aku nyaris tak tidur karena kemalangan yang menimpa keluarga ini. Sejak berita duka kepergian Nanda--adik lelaki suamiku--dalam sebuah tragedi kecelakaan motor 5 hari lalu, kerabat dan handai taulan tak henti berdatangan ke rumah ini. "Nggak apa, Sayang. Kamu memang perlu istirahat biar tidak jatuh sakit. Tamu-tamu sudah pulang dan semua sudah kubereskan bersama Mbok Karmi," jelas suamiku sembari menyugar rambutnya. Kesedihan masih lekat di wajah tampan itu. Nanda adalah adik yang sangat disayanginya, lelaki yang baru saja diterima bekerja di sebuah BUMN itu bahkan sedang dalam rencana menikahi kekasihnya. Namun nasib berkata lain, Nanda tak bisa selamat setelah koma hampir seminggu. Sebuah kejadian tabrak lari membuat ia harus pergi dalam usia 27 tahun. "Jangan sedih terus, Mas. Ikhlasin kepergian Nanda. InsyaAllah dia sudah tenang di sana," hiburku untuk kesekian kali. Saat ini bahkan kulihat kegelisahan yang lebih besar dari hari-hari sebelumnya. Ada apa? "Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan denganmu--" Ucapannya menggantung seiring rona ragu yang terlihat di dua mata yang selalu sukses membuatku lindap itu. "Ya? Emangnya ada apa, Mas?" Aku mengusap lembut pipi lelaki pertama yang membuatku jatuh cinta dan kuharap juga menjadi yang terakhir. Murung dan keraguan di wajahnya seolah isyarat bahwa apa yang ingin ia bicarakan adalah sesuatu yang cukup penting. "Delia--" Ucapannya menggantung. "Delia kenapa, Mas?" Aku mencondongkan tubuh karena rasa ingin tahu yang besar. Calon istri Nanda terlihat sangat terpukul sekali atas kepergian lelaki itu, ia hampir tak pernah beranjak dari jasad Nanda, bahkan hingga adik iparku itu dikebumikan. Bagaimana tidak, hampir 3 tahun mereka menjalin kasih hingga seharusnya sebentar lagi akan bermuara ke pelaminan. "De--lia ternyata sedang ha--mil, Bi," ucap Mas Adit dengan suara terbata. Aku tak kalah kaget mendengarnya. Delia sedang hamil? Maksudnya benih Nanda? "Sudah periksa kehamilannya?" Suaraku tercekat. "Anak Nanda?" Sebuah pertanyaan bodo* yang kusesali karena meluncur begitu saja dari mulutku. "Sudah periksa dokter katanya. Tentu saja benih Nanda, Bi ... aku tahu siapa Delia dan bagaimana mereka saling memuja satu sama lain selama ini." Mas Aditya mengusap wajahnya dengan kasar, seolah membuang kalut yang bersemayam di sana. "Lalu apa rencana Delia? Apa dia mengatakan sesuatu?" Dadaku ikut merasa sesak. Bisa kubayangkan bagaimana perasaan gadis itu sekarang. Bukan hanya dilanda nestapa karena kehilangan orang terkasih untuk selamanya, tetapi juga memikirkan calon bayi yang ada di kandungannya. Bayi yang akan lahir tanpa seorang ayah. Hening menggantung sesaat. Beban seolah begitu berat tertanam di kepala Mas Adit. Pikiranku mulai menduga-duga bermacam kemungkinan. Kemungkinan-kemungkinan yang mau tak mau membuat jantungku tak nyaman lagi berdetak. "Tadi kami sempat membicarakan ini. Aku, Mama, Delia dan kedua orang tuanya." "Lalu apa keputusannya?" sambarku cepat. Aku menepis sebuah pikiran buruk yang tiba-tiba melintas begitu saja. "Delia tetap berkeras mempertahankan janin yang dikandungnya." Mas Aditya mendengkus panjang. Kini sepasang manik mata lelaki itu lekat memindai wajahku. Napasku terhenti sesaat. Ujung pembicaraan ini belum terlihat olehku, tetapi aku justru merasa makin takut. Resah yang perpatri di wajah suamiku, pasti memiliki arti. "Sabina." Panggilan lelaki terkasih itu membuatku menjejak bumi kembali. Kini jemariku sudah dalam genggaman tangannya yang hangat. Aku seperti sedang menunggu di tiang gantungan. Rentetan kata-kata dari awal dan logika yang ada di depan mata, mengukuhkan satu kemungkinan pahit yang kemungkinan besar akan segera kudengar. "Delia tak mungkin melahirkan bayinya dalam keadaan tak bersuami," ucapnya lirih nyaris tak terdengar. Aku hanya mengangguk tanpa berani mendengar kelanjutan kalimat lelaki itu. Mempertahankan janin Delia adalah keputusan bijak, setelah dosa besar yang mungkin sudah mereka lakukan. Tetapi Delia tentu butuh suami untuk tetap mempertahankan kehamilan gadis itu. Apakah itu berarti .... "Mereka memintamu untuk menikahi Delia?" Akhirnya pertanyaan pahit itu bisa lolos juga dari bibirku. Tanganku terasa berkeringat di tengah nyala pendingin udara yang disetel pada suhu rendah. Jika Delia butuh suami, Mas Adit lah satu-satunya kandidat yang paling mungkin. Di rumah ini hanya ada satu lelaki, yakni suamiku. "Aku tahu ini berat, Bi. Terlebih bagiku. Kau tahu aku tak pernah sanggup menyakiti hatimu ... kamu terlalu berarti buatku," bisiknya di tengah suara yang terdengar galau. Sementara ragaku seolah sedang mengambang tanpa daya. "Ini hanya soal status di selembar kertas, Bi. Selebihnya tidak ada yang berubah. Kau selamanya hanya akan jadi satu-satunya ratu di hatiku." Mas Adit kemudian mencium mataku bergantian, lalu dahi dan terakhir menyatukan sepasang bibir kami dengan sangat lembut. Aku menahan napas, bukan karena getaran tubuh akibat sentuhan suamiku seperti biasanya, tetapi karena pertanyaanku tak lagi perlu mendapat jawaban. Semuanya sudah jelas, Mas Adit diminta untuk menikahi Adelia dan lelaki itu telah memutuskan menyetujuinya. Aku? Apa yang bisa kulakukan? Ingin sekali aku menolak rencana itu. Kenapa harus aku yang jadi korban dalam situasi ini? Meski hanya sebatas menyelamatkan muka gadis itu di tengah keluarga dan kerabatnya, tetapi aku juga punya lingkungan sendiri. Punya keluarga di panti dan sahabat, yang pasti menuntut penjelasan jika suatu hari mereka tahu yang sebenarnya. "Kita bicarakan besok pagi saja ya, Mas. Aku ngantuk sekali." Akhirnya aku menyerah, kepalaku terlalu pusing untuk memikirkan hal itu di tengah raga yang sangat lelah. Tak peduli bahwa masalah ini jadi mengambang lebih lama. Andai saja aku punya ketegasan lebih, ingin rasanya kutolak rencana tak masuk akal itu. Apapun nama dan latar belakang pernikahan mereka nanti, tetap saja itu sebuah poligami. Poligami? Dadaku terasa sesak, itu keadaan paling pahit yang paling ingin kuhindari dalam hidupku. "Bi," cegah Mas Aditya seraya berusaha menahan lenganku, tetapi aku lebih dulu menyelusupkan tubuh ke dalam selimut kembali. Memilih menghadap tembok kamar. Tak lama kurasakan tubuh suamiku yang menyusul berbaring, tetap dengan melingkarkan tangannya ke pinggangku. Tak lama dengkuran halusnya terdengar, tanda ia sudah menjemput lelapnya. Tuhan, sesantai itu Mas Aditya bersikap, seolah tidak terjadi apa-apa, padahal ia baru saja mengatakan satu hal yang membuatku shock. Pikiranku terus berkelana hingga kokok ayam terdengar saling bersahutan di kejauhan. Aku tak tidur sama sekali setelah pembicaraan itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD