Bab 2 - Setelah Terjadi

2623 Words
Jovanka terdampar di tepi sungai, tempat Ayana menceburkan diri. Malam semakin kelam, dinginnya angin membawa aroma hujan. Asap yang mengepul di langit kota Paris setelah malam tahun baru, membuat legamnya malam menjadi merah. Seseorang menemukan Jovanka, pria itu segera mencari bantuan dan meminta kesaksian orang lain atas penemuan mayat. "Tolong!" "Tolong!" jeritnya berulang kali. Tidak berapa lama kemudian banyak orang berdatangan dan mengecek nadi dari wanita itu. Kebetulan ada seorang dokter yang ikut melihat kejadian. Jarinya menyentuh leher dan pergelangan tangannya. Pria itu menggeleng lemah, "Dia sudah tidak ada," ucapnya. Dari sisi kanan sungai, Earl melihat keramaian kala mencari Ayana. Dia curiga dan punya firasat buruk akan wanita itu. Earl dengan cepat menerobos kerumunan orang tersebut hingga tiba di hadapan Jovanka yang menyusup ke tubuh Ayana. "Ayana!!!" jeritnya kaget bukan main. Tanpa pikir panjang, Earl segera membawanya ke rumah sakit. Pria itu terus menemaninya hingga ke depan bilik ruang UGD. "Maaf, mohon berikan kami ruang untuk menangani pasien. Silakan tunggu di luar." Dokter mencoba menyelamatkan Jovanka. Segala usaha dilakukan, kejut jantung beberapa kali dengan kekuatan bervariasi. Earl sangat panik, seperti mau hilang nyawa rasanya menemukan Ayana dalam keadaan kritis. Kenapa kau lakukan itu, Ayana? Damian bukan pria yang harusnya kau pikirkan! gumamnya dalam hati sambil menangis. Berharap dia bisa kembali bernafas. Beberapa menit setelah menanti, dokter berhasil menyelamatkan Jovanka. Wanita itu berdenyut jantungnya, matanya terbuka lemah dan perawat mencoba mengajaknya bicara. "Nona, sadar lah!" Jovanka mendengar suara perempuan itu samar-samar. Lama kelamaan semakin menguat dan pendengarannya aktif secara sempurna. Nafasnya masih lambat, dokter menyuruh mereka memberikan oksigen. Mengukur tekanan sistol dan diastol dalam tubuhnya. Jovanka menatap ke sekitar, semua ruangan berwarna kuning. Entah matanya atau hanya perasaan karena kondisi belum stabil. Wanita itu sangat lemah, tak mampu tersadar lebih lama hingga akhirnya tertidur setelah diberikan obat. * Di sisi lain. Calvin yang telah mempersiapkan dinner romantis di pekarangan rumah baru mereka mendapat kabar kalau istrinya bunuh diri ke danau. Calvin tanpa pikir panjang segera kembali dan melupakan makan malam terstruktur itu. Penyisiran danau dilakukan malam itu juga. Calvin begitu khawatir dengan istrinya. "Mengapa Jovanka melakukan hal itu? Apa yang terjadi?" jeritnya sendiri. Calvin merasa telah memberikan cinta penuh untuk istrinya, tapi Jovanka belum bisa menerima keadaannya. Tim penyelamat tidak menemukan apapun, setelah 1 jam menyelam hingga dasar, Jovanka tetap tidak ditemukan. "Tidak!" jerit Calvin tidak terima bila istrinya belum ditemukan. Dia memaksa mereka terus mencarinya. Ketua satuan penyelamat dari tim evakuasi, meyakinkan bahwa wanita itu tidak bunuh diri - melainkan pergi ke suatu tempat. Calvin menggunakan kekuasaannya untuk mencari Jovanka. Dia tidak mau tahu, harus ditemukan secepatnya. Namun, sampai pukul 3 dini hari, mereka tidak menemukan apa-apa. Calvin frustasi, duduk di kamarnya sambil minum alkohol dan menangis. Matanya bahkan tak mau terpejam. Jovanka, kau ke mana sayang? Aku tidak mau melihatmu terluka. Aku mencintaimu. Terangnya bulan telah berganti menjadi mentari, sinarnya masih redup, tapi sudah membuat pancarona indah di langit pagi tahun baru. Ayana naik ke permukaan tanpa siapa pun lagi yang mencarinya karena masih terasa lelah setelah berusaha hingga waktu hampir subuh, perlahan Ayana merasakan tubuhnya sesak. Wanita itu kalang kabut karena menyadari dirinya berada dalam air. Ayana berusaha mengapung, mengambil udara sebanyak-banyaknya kemudian melihat ke arah sekitar. Sepertinya, aku nyebur ke sungai tadi, kenapa bisa tiba-tiba di danau? tanyanya dalam hati. Ayana mencoba sekuat tenaga mencapai tepian. Pelayan yang sedang merapikan kamar tidur majikannya melihat seorang wanita berenang ke pinggiran danau. "Tuan Calvin!' jeritnya senang bercampur perasaan tegang. Jeritannya terdengar sampai ke semua sudut ruangan. Calvin mendengar suara wanita tersebut, tanpa pikir panjang segera keluar dari kamar mandi. "Ada apa? " tanyanya heran. "Nyonya, di-di sana!" jawabnya gagap karena kaget dan yakin, baju yang digunakannya sama persis seperti milik Jovanka. "Di mana?" tanya Calvin serius sampai menarik tanganya. Pelayan itu mengajaknya ke jendela, menunjuk ke arah danau. "Jovanka!" jerit pria itu lalu dengan cepat beranjak pergi, diiringi beberapa pekerjanya segera menghampiri Ayana. Seorang pelayan mengejar majikannya sambil membawa handuk dan air hangat. Calvin hampir tiba di danau, tetapi dia melihat pergerakan tangan Ayana semakin lemas, tak kuat lagi menggapai tepian. Ayana berangsur-angsur tenggelam lagi. Byuurr! Calvin segera terjun dan berenang ke arahnya. Tubuh Ayana yang mengambang, langsung ditarik oleh pria itu sampai ke daratan. "Jovanka!" jeritnya berusaha membangunkan. "Panggilkan supir, kita harus bawa dia ke rumah sakit!" lanjutnya memberi perintah. Calvin melakukan penyelamatan sementara dengan teknik CPR. Menekan denyut nadi dan melihat respon tubuhnya, Calvin merasakan nafasnya dengan pipi dan melihat ritme pergerakan rusuknya. Calvin memperbaiki posisi tubuhnya, membaringkan Jovanka di atas permukaan tanah keras dan datar, lalu memposisikan diri berlutut di samping leher dan bahunya. Calvin meletakkan satu telapak tangan di bagian tengah antara paru-paru kiri dan kanan. Ketika posisi tangan sudah dipastikan lurus, Calvin mulai menekan titik tersebut setidaknya 100–120 kali per menit, dengan kecepatan 1–2 tekanan per detik. Seketika air keluar dari mulutnya, Calvin memiringkannya kemudian memberikan nafas buatan. Ayana merasakan bibirnya disentuh seseorang, perlahan matanya terbuka. Namun, paru-parunya mengeluarkan air ditambah muntahan dari perutnya juga. Calvin merasa lega, akhirnya Jovanka selamat. Wanita itu, Ayana, merasa heran pada orangs sekitarnya. Pria yang telah menolongnya, mengangkat tubuh Ayana dan memeluknya erat. "Jovanka! Akhirnya aku menemukanmu, Sayang!" ujarnya terharu. Calvin menyelimutinya dengan handuk, tatapan Ayana sangat lemah, bahkan mulutnya ingin bertanya, tapi masih tidak sanggup. Calvin memberinya minum, Ayana meneguknya sedikit. Pria itu menggendongnya dan membawa Ayana ke rumah sakit. Dalam perjalanan, Calvin terus memeluk wanita itu. "Kau siapa? Kenapa aku bisa di sini?" tanya Ayana. Calvin terperangah, menatap ke arah istrinya. "Jovanka, ini aku - Calvin!" "Jovanka?" tanyanya heran, Ayana diselimuti kebingungan. Sementara dia mengikuti alur dulu, sebab tubuhnya benar-benar lemas. Calvin berulang kali mencium kepala, tangan dan bibirnya. Pria ini sudah menyentuh tubuhku dengan sesuka hati, kalau aku sudah punya tenaga, akan kuberi pelajaran dia! gumamnya dalam hati merasa kesal pada Calvin, tangannya digerakkan ke wajah - bermaksud ingin menggamparnya, tapi saking lemahnya Calvin mengira bahwa istrinya ingin memegang wajahnya. Calvin menangkupkan telapak tangan itu ke wajahnya, lalu menciumnya lembut. Beberapa menit kemudian. Sesampainya di rumah sakit, Ayana ditangani langsung oleh dokter. Wanita itu pingsan saat dokter melakukan penanganan. Calvin minta tolong agar Wanita itu diselamatkan. "Dia istriku, tolonglah!" ucapnya penuh rasa khawatir. Dari lorong kanan rumah sakit, orang tua Calvin datang bersamaan dengan orang tua Jovanka. Mereka histeris mengetahui kabar putrinya, Calvin coba menenangkan mereka. Ingin mengubah tangisan menjadi doa-doa keselamatan untuk istrinya. "Apa yang terjadi?" tanya mamanya. "Ma, aku tidak tahu," jawab Calvin. "Dia bunuh diri atau tidak sengaja terjatuh?" "Ma, aku belum tau. Saat itu aku sedang di luar dan pelayan menyadarinya sudah tidak ada di kamar." "Ya, Tuhan!" wanita itu berpura-pura syok. Padahal dalam benaknya, ingin sekali Jovanka lenyap dari permukaan bumi. Di sisi lain. Ayana masih belum sadarkan diri, Calvin menjaganya sehari semalam. Sudah 24 jam Ayana pingsan. Pagi ini setelah perawat membersihkannya, Calvin kembali duduk di dekatnya dan mengelus rambut berwarna hazelnut yang bergelombang panjang itu. Ponselnya tiba-tiba bergetar, Calvin sengaja tidak menyalakan nada dering agar tidak mengganggu istrinya. Dia menjauh sebentar untuk menjawab panggilan dari sekretarisnya. "Ya, George?" "Pak, rapat pagi ini bagaimana?" "Batalkan, saat ini tak ada yang lebih penting dari istriku. Sampaikan permintaan maafku, semua akan diundur sampai waktu yang belum bisa aku pastikan." "Baik, Pak!" Calvin melirik ke arah istrinya beberapa detik sebelum kembali menghubungi seseorang. "Bawakan aku buket bunga segar yang paling bagus, aku juga butuh baju ganti untuk Jovanka," ucapnya kemudian mematikan telepon. Pria itu menghela nafas berat - tak pernah disangka oleh Calvin bahwa Jovanka sengaja menenggelamkan diri ke dalam danau. Semua itu terlihat dari kamera pengawas yang dikirimkan oleh petugas keamanan di rumahnya. Kenapa, Sayang? Apa hidup denganku sangat menyakitkan? Kamu tidak pernah mengatakan apa pun, selalu mengikuti semua perintahku dan berdiam diri di kamar. Calvin sangat terpukul dan ingin mengetahui alasan dibalik bunuh diri istrinya yang gagal tersebut. Sebuah pergerakan terawasi oleh Calvin ketika melirik ke arah Ayana, tangan wanita itu menggenggam kuat selimut sampai terdengar suara dari mulutnya. "Aaahh," ucapnya lemah. "Sayang," panggil Calvin yang langsung berlari ke arah wanita itu. Mata Ayana mengayun lemah, saat ingin membuka cahaya lampu membuatnya silau. Matanya kembali menutup dan mengarahkan pandangan ke tempat lain. Kepalanya menoleh ke kiri dan sontak melihat pria yang kemarin menolongnya di danau. Dia sedang memegang tangan Ayana dan mengelus pipinya, sambil tersenyum manis dibalik bibir merahnya. "Kau siapa?" tanya Ayana sekali lagi. "Aku Calvin, suamimu," jawab pria itu. "Aku belum menikah," jawabnya lirih, alisnya berkerut. "Jovan-" Calvin sangat terkejut mendengar pengakuan dari istrinya. "Jovanka, aku paham kalau dirimu masih terbawa dampak kejadian kemarin. Aku akan berusaha sekuat mungkin untuk membantumu pulih," ujarnya lagi dengan mata berkaca-kaca. "Aku bukan Jovanka, aku Ayana." Calvin semakin hancur! Dia mengira kalau istrinya hilang ingatan, tanpa pikir panjang pria itu keluar dari ruangan dan segera menghampiri dokter pribadinya dalam ruangan. "Pak, maaf, dokternya lagi ada-" ucapan perawat yang berjaga di depan pintu tak digubris oleh Calvin. Calvin berdiri, melipat tangan menatap ke arah meja konsultasi. Dua orang pasien sedang bicara padanya. Hanya menunggu selama dua menit, dua pasien itu segera pergi. "Selamat pagi, Pak Calvin!" sapanya. "Pagi, Dok! Aku minta maaf atas tindakanku saat ini." "Ya tidak masalah, lain kali ikuti prosedur. Ada masalah apa sampai membuatmu panik?" "Masalah Jovanka, istriku yang sudah sadar dari tidur panjangnya." Dokter itu mengerutkan kening. "Duduklah," pintanya. Calvin segera duduk dan mulai menceritakan semua yang terjadi pada istrinya. Dia tidak sanggup menerima kenyataan bahwa istrinya kemungkinan terkena amnesia sebagian. Dokter membenarkan, dampak buruk dari sebuah peristiwa memang terkadang sulit diprediksi. Calvin terdiam, meminta solusi atas kejadian ini pada dokter itu. Di kamar. Ayana menoleh ke arah meja, ada kalender yang duduk manis di atasnya. Matanya membulat separuh ketika melihat tahun yang tertera di sana. "2017?" tanyanya kebingungan. "Harusnya sekarang tahun 2021, kenapa rumah sakit tidak mengganti kalender mereka selama bertahun-tahun?" sambungnya. Tok. Tok. Suara ketukan terdengar pelan, seorang pria masuk mengantarkan paket bunga untuk dirinya dari Calvin. "Nona Jovanka?" tanya pria itu. Ayana mengingat saat Calvin memanggilnya dengan sebutan nama itu, sontak Ayana mengangguk saja. "Maaf, kalau boleh aku tahu, sekarang tahun berapa ya?" tanyanya. Pria itu tersenyum lebar, "Selamat tahun baru, Nona! Sekarang kita akan menyelami tahun 2017 yang sangat penuh keberuntungan. Semoga kau juga beruntung!" ujarnya sambil meminta tanda tangan penerimaan paket. Sayangnya tangan Ayana tak bisa melakukan itu, akhirnya pria tersebut minta izin untuk mewakili tanda tangannya dan Ayana memberikannya. "Semoga cepat sembuh!" ujarnya bermain mata dan langsung pamit, tepat di depan pintu - Calvin berpapasan dengannya Ayana terdiam membisu saat mengetahui bahwa dirinya berada di tahun yang berbeda dari masanya hidup. Bagaimana bisa ini terjadi? Lalu kenapa aku harus hadir di dalam sebuah rumah tangga orang? Terus, caranya aku kembali - bagaimana? Ini pasti mimpi. Calvin tersenyum melihat istrinya, menurut saran dokter - sebagai seorang suami - dirinya harus sabar dan mengikuti alur cerita yang dibawa oleh wanita itu. Memaksanya mengingat, sama seperti melakukan usaha melunakkan batu. Sia-sia dan bisa merusak batu itu sendiri, jika bendanya lebih berat. "Kamu suka bunganya?" tanya Calvin. "Ya, terima kasih!" "Mmh, bagaimana keadaanmu sekarang?" "Aku sudah sehat, hanya sedikit pusing." "Syukurlah, aku senang! Kata dokter kita akan pulang setelah infus kamu habis," sahut Calvin menunjuk ke arah botol yang tergantung. Ayana menoleh, mengikuti arah jarinya. Pria berwibawa itu menatap dengan ekspresi menakutkan, seakan ingin melahapnya sampai habis. Ayana membuang tatapannya ke arah lain. Astaga! Kenapa aku bisa terjebak di sini? Ini lelucon kan? Aku rasa ini memang mimpi, semoga saat aku tidur nanti, langsung tersadar dan kembali ke dunia nyata, gundah Ayana lagi dan lagi sampai waktu bergulir dan membawa kenyataan padanya kalau mulai sekarang, dirinya akan tinggal bersama pria itu. * Sore menjelang malam. Calvin membawa Ayana kembali ke rumah yang besar, berlantai 3 dengan arsitektur modern klasik. Jarak antara pagar rumah ke dalam saja sekitar 100 meter. Ayana baru sadar kalau rumah ini adalah rumah yang dilihatnya ketika berada di danau. Pintu mobil dibukakan oleh Calvin, tangannya terbuka dan didekatkan pada Ayana. Namun, wanita itu tidak mau bersentuhan lagi dengan Calvin. Sudah cukup baginya kemarin telah dicium dan dipeluknya secara paksa. Meski semua itu dilakukan Calvin demi menyelamatkan hidupnya. Calvin memahami kondisi istrinya yang sedang mengalami gangguan pasca kejadian kemarin. Ayana berjalan perlahan ke arah pintu, banyak orang yang sudah menyambutnya bak seorang putri kerajaan. Satu pun dari mereka tidak dikenal olehnya. “Selamat datang kembali, Nyonya!” ucap mereka bergantian. “Senang melihat Nyonya sudah sehat,” ucap salah satunya. Calvin meminta mereka segera menepi, tidak ingin istrinya merasa canggung. Rosita, asisten pribadi Jovanka diminta untuk mengantarnya ke ruangan. “Tuan, Nyonya besar dan Nyonya mertua ada di dalam,” kata Rosita. Calvin bingung, mungkinkah istrinya melupakan mereka juga? Kerisauan itu pun ditanya langsung olehnya setelah meminta semua orang bubar, hanya tinggal Rosita dan mereka saja. “Sayang, ada mamaku dan mamamu di dalam. Apa kau - mengingat mereka?” tanya Calvin hati-hati. Ayana yakin mereka adalah keluarga yang terkait dengan wanita yang bernama Jovanka. “Aku tidak memiliki orang tua lagi, semua sudah meninggal,” jawabnya. Calvin memejamkan mata setelah mendengarnya, merasakan aroma badai setelah ini. Rosita tidak mengerti dengan situasi yang terjadi. Namun, dia pun tak berani bertanya saat ini, hanya ingin melihatnya saja kemudian mempelajari semua yang terjadi pada istri majikannya. “Baik lah, begini Jovanka-“ Calvin memegang kedua bahunya dan mengajaknya bicara sebelum mereka masuk ke dalam. Posisi mereka masih di teras rumah. “Aku tidak akan memaksamu untuk bertemu dengan mereka saat ini. Aku mencoba memahami semua yang terjadi padamu, kenalkan ini namanya Rosita,” ujarnya menjelaskan sekaligus memperkenalkan asistennya. Ayana menoleh padanya tanpa ekspresi. “Dia yang akan membantumu selama kamu di rumah, dia asisten pribadi kamu.” Ayana mengangguk pelan. “Rosita akan membawamu ke kamar, aku yang akan menemui mereka dan menjelaskan semuanya.” “Aku juga ingin bicara padamu,” sambar Ayana. “Iya, Sayang. Aku akan ke kamar setelahnya. Istirahatlah,” sahutnya tersenyum kemudian mencium keningnya. Ayana sedikit menghindar, tapi tangan Calvin terlalu kuat untuk dilawan hingga mengharuskan wanita itu mengikuti niat hati Calvin. “Mari Nyonya, kita ke kamar. Hati-hati jalannya,” ucap Rosita membawa Ayana masuk kemudian langsung ke arah tangga menuju lantai atas. Dua wanita yang sudah menunggunya masuk langsung kaget melihat Jovanka tidak menegur mereka sama sekali. Mertua Jovanka tertawa miring. “Lihat lah anakmu, dia bahkan tidak punya tata krama untuk menyapa kita,” tandasnya. “Berhenti bicara seperti itu, Nyonya Smith.” Mama kandung Jovanka jelas marah saat anaknya dijelek-jelekkan. Calvin menghampiri kedua wanita itu dan menyapa serta memeluk mereka secara bergantian. “Apa kabar mamaku?” tanyanya pada mama kandungnya, Thalia Smith. Gelar belakangnya diambil dari nama suaminya sejak dia menikah dengan pria bernama Smith Arnold. “Baik, Nak!” Calvin menghampiri mama mertuanya, “Apa kabar, Ma?” “Sehat, Nak!” sahut Jenny, ibu kandung Jovanka. “Bagaimana kabar anakku?” tanyanya. “Sehat, Jovanka sudah lebih sehat, tetapi ada hal yang ingin aku sampaikan pada kalian,” ujarnya mengejutkan mereka. “Apa itu, Nak?” tanya Jenny. Calvin memintanya duduk, mereka pun sama-sama menyandarkan tumpuan tubuh ke sofa dengan perlahan. “Hal ini akan membuat kalian terkejut, tapi aku minta kerjasamanya.” Jenny dan Thalia saling menatap, satu dengan pandangan sedih dan satu lagi serius. “Katakanlah,” sahut Jenny. “Jovanka mengalami gangguan trauma pasca kejadian kemarin, menyebabkan memorinya hilang sementara. Dokter menduga bahwa dirinya mengalami tekanan mental.” Jenny tidak percaya akan hal itu. “Tidak mungkin, apa yang kau lakukan pada putriku, Calvin?” tanyanya sambil menarik kerah kemeja pria tersebut. “Hei, jaga sikapmu! Enak sekali kau main tarik-tarik Calvin!” tegur Thalia. Calvin menahan mamanya dengan tangan yang menegak serta pandangannya mendarat sejenak pada Thalia kemudian menyahut ucapan mertuanya, “Ma, aku menyayangi dia. Mencintai dia! aku tidak pernah sedikit pun berniat mencelakainya. Aku akan cari tahu alasan mengapa dia begitu tertekan di sini?” tegasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD