Bab 8

1053 Words
“Coba jawab! Jangan diam saja!” Aku berkata dengan nada suara yang tetap dingin. “Aku, aku tidak seburuk itu, Mbak. Aku tidak akan meminta hal yang memalukan seperti yang Mbak Rasti katakan. Aku hanya butuh sosok ayah untuk Yasmin. Mas Danang adalah pria yang sangat tepat menggantikan sosok Mas Adrian sebagai ayah kandungnya. Mas Danang kakak kandung mendiang suamiku. Aku yakin, dia akan bisa dengan tulus menyayangi Yasmin. Sementara bila aku mencari lelaki lain, belum tentu dia akan bisa menerima Yasmin dengan tulus.” Ucapan Firna benar-benar membuat aku semakin didorong emosi. “Jadi, benar dugaanku, bukan? Kamu memang menikmati pernikahan ini?” “Aku hanya berusaha ikhlas dan berdamai menerima takdir, Mbak. Apapun yang menimpa kita, bukankah itu sudah menjadi sebuah garis hidup yang kita smeua harus mau menerimanya? Begitupun dengan aku dan Mbak Rasti. Kita ditakdirkan memiliki suami yang sama, Mbak. Kita ditakdirkan untuk berbagi cinta dan mendapat perlindungan dari orang yang sama. Aku saja yang usianya masih muda, bisa ikhlas menerima semua ini. Aku saja yang mempunyai keluarga lengkap, tidak bersikap egois seperti Mbak Rasti. Kenapa Mbak Rasti justru sebaliknya, Mbak? Kenapa Mbak Rasti seolah merasa menjadi orang yang paling tersakiti? Tidakkah kamu berpikir, Mbak? Aku berjuang keras untuk bisa menerima semuanya dengan ikhlas, dengan hati yang lapang. Kendalikan ego kamu, Mbak! berpikirlah yang realistis. Ini semua sudah terjadi. Jangan memelihara rasa yang hanya akan menghancurkan kebahagiaan kamu, Mbak. Ini mudah saja dilalui, kalau hati Mbak Rasti ada sebuah keikhlasan menerima takdir.” Firna berkata dengan penuh semangat. Aku dibuat terpaku dengan semua ucapannya. Hingga sejenak tak mampu untuk membalas perkataannya. “Firna. Luar biasa ternyata kamu. Aku tidak percaya. Wanita lembut yang telah aku anggap sebagai adikku sendiri. Kita dulu melakukan banyak hal bersama, tertawa bersama. Hari ini, kamu mengucapkan banyak kalimat yang sungguh di luar dugaanku. Ingat, Firna! Tidak ada wanita yang mau dimadu untuk alasan apapun. Bila ada wanita yang mau diperlakukan seperti itu, dengan ikhlas dan bahagia, maka dia termasuk dalam golongan wanita perebut suami orang!” tandasku keras. “Aku berbeda, Mbak! Aku lebih terhormat dari itu. Karena aku telah dipilih dan diminta sendiri oleh mertua kita untuk menikah dengan Mas Danang. Jadi, posisiku sangat terhormat sebagai menantu di rumah itu.” “Wow! Luar biasa Firna. Kamu memang luar biasa,” ujarku pelan. Otak ini benar-benar kehabisan kata-kata. “Mbak Rasti, maaf. Mbak rasti maaf sekali lagi. Aku telah menyakiti perasaan Mbak Rasti. Aku tidak berniat untuk membuat Mbak rasti terluka. Lupakan semua yang aku katakan tadi. Sebenarnya aku datang untuk menghibur perasaan Mbak Rasti. Tapi, aku sudah lepas kendali. Maaf, Mbak,” ujar Firna penuh penyesalan. Entah apa yang ada dalam wanita berkaus putih itu. Berbicara secara tidak konsisten. Napasku tersengal menahan emosi. Air mata membendung di pelupuk mata. Firna menatapku dengan penuh rasa iba. Namun, kami masih tetap membisu. Sampai akhirnya, sebuah mobil terdengar suaranya memasuki garasi rumah. Aku hapal, itu kendaraan Mas Danang. “Firna!” seru Mas Danang kaget. “Rasti. Ma, kamu kenapa, Ma?” tanya Mas Danang panik. Melihatku berlinang air mata. Aku menggeleng lemah. Mas Danang mendekap erat tubuhku. Ekor mataku melirik Firna. Ia terlihat menundukkan kepala. :”Betulkah kata Firna, Mas? Kalau aku wanita yang egois karena tidak menerima takir kalau aku kini sudah memiliki madu?” ucapku terbata. “Apa maksud kamu, Ma?” tanya Mas Danang bingung. “Apa yang kamu katakan sama Rasti, istriku, Firna?” Pertanyaan Mas Danang beralih pada Firna. “Tidak apa-apa, Mas. Aku ke sini karena berniat baik. Ingin berbicara dari hati dengan Mbak rasti. Maaf bila sudah membuat Mbak rasti sedih.” “Pulanglah! Dan jangan pernah kamu datang ke sini lagi,” usir Mas Danang. Aku tidak melihat bagaimana ekspresi Firna. Karena wajahku kupalingkan pada tempat lain. “Kenapa kamu pulang, cepat, Mas?” tanyaku berusaha mencairkan suasana. Apa yang dilakukan Firna, tidak sepatutnya menyalahakannya. Aku harus memenangkan hati Mas Danang. Karena tidak ada pihak yang mendukung. Tidak ada keluarga yang membelaku, sehingga dengan sikap lembutku, aku mencoba mempertahankan posisiku di hati Mas Danang. “Aku kangen kamu. Aku ingin menghabiskan waktu berdua selagi anak-anak pergi ke sekolah. Kamu tuidak apa-apa, ‘kan?” tanya Mas Danang lembut. Ah, bahagia rasanya diperlakukan oleh lelaki yang kucintai seperti sekarang ini. Andai tidak ada Firna yang hadir di tengah-tengah kami, tentulah, hati ini merasa tenang. Mas Danang membimbingku masuk kamar. Ia masih memperlakukanku dengan sangat lembut. Kami menghabiskan waktu hanya berdua. Terkadang, ia berusaha membuatku tertawa dengan lelucon yang tidak lucu. Aku hargai itu. Ia sosok yang sangat penyayang. Siang itu, kami melewati waktu dengan bercengkrama. Rasanya sangat berbeda dari sebelumnya. Syahdu, takut dan cemburu berburu manjadi satu dalam hati ini. Sehingga menghadirkan gairah yang lebih besar. Mas Danang menggodaku karena itu. Aku tersipu malu dalam dekapannya di balik selimut yang membungkus tubuh kami. *** Hubunganku dengan Mas Danang semakin mesra. Seolah ingin menghapus rasa curiga dan kekhawatiran, lelaki-ku itu selalu memberiku kabar dimanapun berada. Ia tak jarang melakukan panggilan video untuk membuatku lebih percaya. “Aku punya hadiah untukmu,” ucapnya pada suatu sore saat menjelang pulang. “Apa?” tanyaku penasaran. “Kamu pasti bahagia,” jawabnya penuh teka-teki. Hadiah yang dimaksud Mas Danang, ia berikan pada malam hari. Sebuah lingerie berwarna hitam. Ia langsung memaksaku memakainya. Dengan perasaan malu, kulakukan hal itu. Suamiku terlihat sangat bahagia. Selesai bercengkrama, aku tertidur pulas dalam dekapannya. Entah jam berapa aku terbangun. Tak kutemukan Mas Danang di sampingku. Pikiranku langsung mengembara jauh ke tempat Firna. Gegas, kupakai piyama dan melangkah keluar. Pintu kamar masih sedikit terbuka. Dan dari sana, aku mendengar percakapan Mas Danang dengan ayahnya. “Jangan memaksaku, Pak. Aku sangat mencintai Rasti. Bapak tahu itu. Apa yang aku lakukan pada Rasti, maksudku, menikahi dia, bukan atassebuah permintaan dari Bapak. Bukan karena cerita Bapak tentang ayah rasti. Tapi, ini murni sebuah rasa cinta. Jadi, aku tidak bisa membagi ini dengan Firna,” ucap Mas Danang terdengar jelas. “Aku tidak memintamu untuk berpisah dari Rasti. Hanya saja, Firna itu istri kamu sekarang. Aku pun tidak ingin lebih merasa bersalah terhadap mendiang orang tuanya bila dia berpisah dari kamu.” Seketika, hatiku merasa penasaran dengan apa yang diucapkan ayah mertuaku. Bukankah selama ini, mereka mengatakan aku yang berhutang budi? Mengapa sekarang berbicara kalau dirinya merasa bersalah bersalah dengan almarhum Bapak dan Ibu. adakah rahasia yang dia sembunyikan?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD