Dua

1427 Words
Sesekali, Ray ingin egois. Ray ingin mendapatkan apa yang dia inginkan. Ervan selalu berada di depannya sejak mereka berdua sahabatan dari SMP dulu. Lama-kelamaan, hal itu menumbuhkan rasa iri dalam diri Ray. Ervan punya sahabat perempuan dari kecil, yang tak lain adalah Livya. Seseorang yang mengerti akan Ervan. Lalu, pada saat SMA, Ervan dengan mudahnya mendapatkan seseorang yang juga Ray sukai dalam diamnya, yaitu Anita. Ervan juga menjadi ketua OSIS, kapten basket dan banyak hal lagi--membuat Ray merasa dirinya selalu saja didahului oleh sahabatnya itu. Ray kadang benci pada kenyataan bahwa semua hal bisa Ervan dapatkan. Tak terkecuali yang Ray inginkan juga. Mengenai Livya, Ray tak menganggap perempuan itu sebagai sahabatnya. Ingin seperti Ervan yang bebas berekspresi apa saja dengan Livya, Ray tidak bisa walau ingin. Semuanya tertahan karena Ray tahu perempuan itu menyukainya. Sedangkan Ray, sama sekali tidak memiliki rasa apa pun terhadap perempuan itu. Lelaki itu berdecih begitu membaca pesan Livya. Perempuan yang sudah dua kalinya menyatakan cinta padanya itu. Ray yakin, tidak ada persahabatan yang murni di antara kedua orang berbeda jenis kelamin. Jadi, mengingat Ervan dan Livya yang melanjutkan study mereka di luar negeri sana, Ray curiga jika Ervan bermain dengan Livya di sana. Ray tidak percaya pada ucapan Ervan yang akan mencintai Anita sampai kapan pun. Jemari Ray mengetik balasan pesan untuk Livya sebelum memblokir nomor perempuan itu. Ray akan fokus untuk mendapatkan Anita--seseorang yang dicintai Ervan. Dia ingin menang dari Ervan kali ini, perihal seorang perempuan. Bagus deh, lo emang seharusnya lupain gue Karena sampai kapan pun gue nggak akan pernah ngelirik elo. Ini terakhir kali gue bales chat dari lo. Bye! Sementara, Livya mendesah kecewa melihat balasan chat dari Ray. Dia hanya berkirim pesan yang menyebutkan akan berusaha melupakan Ray, namun balasan menyakitkan yang dia dapatkan dari lelaki itu. Padahal, Livya awalnya ingin tes Ray, ternyata lelaki itu benar-benar tidak menginginkannya. Livya mengusap air matanya pelan. "Livya, are you, okay?" Livya tersentak ketika mendengar suara seorang lelaki di dekatnya. Dia tidak tahu sejak kapan lelaki yang sedang mendekatinya itu datang dan berada di sebelahnya. Perempuan itu mengangguk sembari tersenyum tipis. "Mau lunch bareng?" "Boleh." Lelaki yang juga fasih berbicara Indonesia karena masa kecilnya tinggal di sana itu menatap Livya lekat. "Tapi, kamu baik-baik aja, 'kan?" tanyanya tampak khawatir. "Iya, aku baik-baik aja, kok. Barusan melow, tiba-tiba kangen mamaku," ujar Livya yang tentu saja berbohong. Tidak ingin lelaki itu tahu apa yang membuat dirinya sedih. Lelaki itu manggut-manggut. "Barusan habis teleponan sama mama kamu?" Livya mengangguk. "Makanya, aku jadi kangen. Cengeng banget ya, aku? Kangen mama aja sampe nangis." "Enggak, kok. Wajar aja. Maklum, ini kan baru pertama kalinya kamu tinggal berjauhan sama orang tua kamu." Lelaki bernama Frans itu menyentuh punggung tangan Livya. "Kalau lagi sedih, jangan sungkan untuk cerita sama aku. Kamu bisa cerita apa pun sama aku." "Terima kasih, Frans." Livya menghela napas. Menatap Frans yang telah melepaskan tangannya dari punggung tangan Livya. Perempuan itu mengingat kebaikan Frans dan bagaimana sikap yang ditunjukkan lelaki itu sejak pertama kali mereka kenal. "Kenapa?" tanya Frans yang merasa ditatap intens oleh Livya dari samping. "Umm... tentang permintaan kamu 2 hari yang lalu... " "Liv, aku nggak minta kamu untuk segera menjawab, loh. Take your time dan aku akan menunggu. Nggak perlu buru-buru." Livya menggeleng. "Aku rasa, aku udah mempunyai jawabannya sekarang. Aku... aku mau coba jalanin sama kamu... jadi pacar kamu." "Liv... kamu yakin?" Livya diam sejenak, sebelum akhirnya menganggukkan kepala. Walau di dalam hatinya masih tidak begitu yakin. Namun, dia berusaha meyakinkan diri siapa tahu jika bersama dengan Frans, bayang-bayang sosok Ray bisa menghilang dari benaknya. *** Tak terasa, sudah seminggu sudah Livya menjalin hubungan dengan Frans. Di mana, selain kuliah, dia sibuk menghabiskan waktu dengan kekasih barunya itu. Dan melupakan sosok sahabatnya, Ervan yang sedang patah hati juga sepertinya. Ervan yang lebih banyak mengurung diri di kamar apartemennya, sedangkan Livya mengobati patah hatinya dengan menerima perasaan cinta seorang lelaki yang menyukainya. Hari ini, Ervan balik ke Indonesia karena kakaknya kecelakaan, sementara Livya tidak mengetahui hal itu. "Minum nggak, Liv?" tanya Frans. Hari ini Livya diajak kekasihnya itu ke acara party kecil-kecilan temannya di sebuah resort pinggir Pantai Huntington. Mereka tidak ikut menginap seperti yang lain karena Livya tidak ingin dan Frans tidak memaksa kekasihnya itu. "Enggak, Frans. Aku enggak minum." Frans mengangguk paham. Karena tidak semua pelajar asal Indonesia yang suka minum bir. "Aku minum dikit aja, boleh, ya?" Livya mengangguk. "Boleh, tapi dikit aja. Kan kamu entar nyetir." "Iya, Sayang. Dikit aja, kok," ujar Frans sembari mengusap rambut Livya dengan lembut. Tak lama di sana, keduanya pulang. Seperti biasa, Frans mengantar Livya sampai di depan unit apartemen perempuan itu. "Liv, aku boleh mampir bentar nggak? Pengen ke toilet soalnya," ucap Frans saat Livya hendak meraih gagang pintu membuka unitnya. Selama tinggal di apartemen, hanya Ervan lah satu-satunya lelaki yang pernah memasuki apartemen Livya. Karena perempuan itu percaya kepada sahabatnya itu dan juga di antara mereka memang tidak ada hubungan apa-apa. Mereka paling mengerjakan tugas bersama atau Ervan yang menumpang makan di kala Livya memasak. Berbeda dengan Frans, walau sudah menjalin hubungan selama seminggu, Livya tidak pernah menawarkan lelaki itu untuk sekedar singgah. Livya tidak berani berduaan dengan seorang lelaki di dalam unitnya, kecuali Ervan. Livya diam, tampak sedang berpikir. "Ya udah deh, aku tahan aja sampai ke bawah," ucap Frans lagi karena tak kunjung mendapatkan jawaban dari Livya. "Ada toilet kan di area lobi?" "Di dalam aja, yuk masuk!" tukas Livya cepat. Merasa tidak enak dengan sang kekasih. Masa iya, pacarnya hanya menumpang ingin ke toilet saja tidak diperbolehkan? Livya mempersilahkan Frans untuk masuk ke toilet yang letaknya di dekat dapur. Beberapa saat kemudian, Frans keluar dari dari toilet dan melihat Livya yang sedang berada di dapur. "Lagi apa, Sayang?" tanya Frans dengan melingkarkan kedua tangannya hingga ke bagian perut Livya. Livya yang sedang mengaduk secangkir kopi, tentu saja terkejut. Dia agak merasa risih dipeluk oleh lelaki itu dari belakang. Perlahan, dia melepas kedua tangan Frans, lalu berbalik badan dengan meraih secangkir kopi di hadapannya. "Lagi bikin kopi buat kamu. Sebelum pulang, minum ini dulu." Frans menerima kopi tersebut dan langsung menyeduhnya. "Enak dan rasanya pas di lidah aku. Mungkin karena ini buatan kamu, jadi aku suka." Frans meletakkan cangkir kopi itu di belakang Livya. Livya tersenyum canggung. Dia masih merasa tidak nyaman dengan posisi Frans yang cukup intim dengannya. Livya mendorong dadanya Frans pelan agar menjauh darinya. "Sorry, Frans. Tapi... you have to go. Aku mau istirahat. Besok kita ketemu la-- " "Ngusir aku ceritanya?" Frans menyentuh dagu Livya. "Nggak pengen berduaan sama aku dulu di penghujung weekend ini, Honey?" Livya menepis tangan Frans lembut. "Besok kita masih bisa ketemu. Aku benar-benar capek. Pengen istirahat." Frans malah tertawa sinis. "Sahabat kamu yang tinggal di apartemen sini juga, bebas banget kayaknya keluar masuk unit kamu. Aku tahu hal itu tanpa kamu cerita. Tapi kenapa dengan aku yang notabene-nya pacar kamu sendiri, kamu kayak nggak bolehin aku masuk ke unit kamu?" "Frans, kenapa kamu malah bawa-bawa sahabat aku?" Livya mulai terpancing emosi. Kenapa Frans malah membahas Ervan? "Karena aneh aja. Aku selalu anterin kamu, tapi kamunya nggak pernah sekali pun sekedar basa-basi nawarin aku untuk mampir, walau cuma sebentar." "Aku... " Livya mendadak pucat di saat Frans kembali maju mengikis jarak di antara mereka--merapatkan tubuh mereka. Livya dapat melihat raut wajah Frans yang tidak seperti biasanya. Lelaki itu tampak sedang marah padanya. "Frans, kamu-- " Ucapan Livya serta gerakan tangannya yang ingin mendorong Frans terhenti karena lelaki itu mencium paksa bibirnya sembari memegang kuat kedua tangan Livya. Frans menggerayangi Livya tanpa peduli isak tangis perempuan itu. Dan tenaga Livya kalah kuat untuk melawan kekuatan lelaki itu. "Tolong jangan gini, Frans! Aku mohon... " Frans menulikan telinganya mendengar penolakan Livya. "Nggak usah munafik, Liv! Aku tahu kalau kamu udah sering tidur sama sahabat kamu itu." Frans kembali tertawa sinis sembari mengelap bagian bibirnya yang berdarah karena gigitan Livya yang keras. Ternyata Frans tidak jauh berbeda dari Ray--menuduh Livya pernah melakukan macam-macam dengan Ervan. Livya sungguh kecewa. "Sekarang... giliran aku yang kamu layanin." Frans membelai pipi Livya yang sekarang sedang meringkuk di dapur. Dia menggendong paksa Livya menuju kamar perempuan itu, merebahkan di atas kasur dan segera menindihnya. Frans sempat berhenti di saat menyadari bahwa Livya ternyata masih perawan, namun nafsunya tak dapat dibendung lagi. Kepalang tanggung, dia memilih untuk meneruskannya hingga menumpahkan cairannya di dalam tubuh Livya. Dan hari ini menjadi hari terburuk bagi Livya. Perempuan itu merasa hancur karena mahkota yang dia jaga untuk suaminya kelak, direnggut paksa oleh kekasihnya sendiri. Livya menangis terisak sembari menutupinya tubuhnya dengan selimut. Tak menyangka jika Frans tega melakukan ini kepadanya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD